Mohon tunggu...
Sahrul Ramdani
Sahrul Ramdani Mohon Tunggu... Freelancer - PKBM INTAN

Harapan terbaik untuk kita semua.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Melampaui Batas Rupa

25 Februari 2024   16:14 Diperbarui: 25 Februari 2024   16:20 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn.pixabay.com/photo/2016/11/19/06/38/woman-1838149_960_720.jpg

Wajah cantik jelita bagai bidadari, tubuh atletis bak dewa Yunani. Gambaran ideal tentang penampilan ini kerap kali bercokol di benak kita, membentuk standar yang sempit dan tak jarang melahirkan intoleransi terhadap mereka yang tak sesuai. Di Indonesia---negeri yang kaya dengan keberagaman suku, agama, dan budaya---nyatanya praktik intoleransi fisik masih menjadi noda hitam yang perlu dihapus.

Dalam ruang lingkup inilah, wacana tentang toleransi fisik mengemuka. Bukan sekadar menerima perbedaan, tetapi melangkah lebih jauh dengan menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi segala bentuk dan rupa yang dianugerahkan alam kepada manusia. Ini bukan tentang mengabaikan standar estetika, melainkan memahami bahwa kecantikan sejati terpancar dari kedalaman jiwa, bukan semata-mata terkurung pada bingkai kesempurnaan fisik yang ilusif.

Jejak intoleransi fisik

Menelusuri jejak intoleransi fisik, yang lebih dikenal dengan istilah "body shaming", di Indonesia, kita akan dihadapkan pada beragam bentuknya. Mulai dari kegendutan (fat shaming), terlalu kurus (skinny shaming), ataupun dianggap jelek (ugly shaming), dan lain sebagainya.

Fat shaming, misalnya, dapat berupa bentuk komentar yang merendahkan seseorang yang memiliki berat badan lebih dari rata-rata, mengaitkannya dengan stereotip negatif tentang kebersihan, disiplin diri, atau bahkan kepribadian mereka. Di sisi lain, skinny shaming melibatkan pelecehan terhadap seseorang yang memiliki tubuh yang kurus, dengan menganggap mereka tidak sehat atau tidak menarik. Selain itu, ugly shaming mencakup komentar yang merendahkan penampilan fisik seseorang, termasuk bentuk wajah, struktur hidung, atau fitur lain yang dianggap tidak sesuai dengan standar kecantikan yang dianut oleh masyarakat.[1]

Data dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menunjukkan bahwa pada tahun 2018, terdapat 966 kasus penghinaan fisik atau body shaming yang dilaporkan dan ditangani di seluruh Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa intoleransi fisik masih menjadi masalah serius di masyarakat kita. Dari jumlah tersebut, sebanyak 347 kasus telah diselesaikan. Namun, angka ini mungkin hanya mencerminkan sebagian kecil dari kasus sebenarnya, mengingat banyaknya kasus yang mungkin tidak dilaporkan atau diselesaikan di luar sistem hukum formal.[2]

Peristiwa terbaru mencuat di Trenggalek, di mana seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) melaporkan adanya dugaan body shaming yang dilakukan oleh salah satu pemberitaan media. Pelapor, yang bernama Hesti, mengungkapkan bahwa informasi tersebut diperolehnya langsung dari salah satu penulis. Dia sangat terkejut mengetahui bahwa foto dirinya dipublikasikan tanpa izin di media daring tersebut. Menurut Hesti, pemberitaan tersebut melanggar unsur kode etik jurnalistik. Lebih lanjut, Hesti juga menyebutkan bahwa salah satu penulis terlibat dalam tindakan intimidasi. Pelaporan resmi atas insiden ini dilakukan pada Selasa, 30 Januari 2024.[3]

 

Faktor pembentuk stereotip

Siapa saja yang menjadi faktor adanya stereotip tentang penampilan fisik? Pertanyaan ini muncul karena stereotip tersebut tidak hanya dibentuk oleh pihak media, tetapi juga oleh audiens yang menerima dan menyebarluaskan konten tersebut. Media memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk pandangan publik melalui narasi dan representasi yang mereka sajikan. Penekanan pada penampilan fisik tertentu atau penggunaan gambar yang merendahkan dapat memperkuat stereotip tentang keberagaman fisik. Stereotip tersebut dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap keberagaman fisik. Di sisi lain, pandangan yang sempit terhadap keberagaman fisik semakin diperkuat oleh masyarakat yang menerima dan menyebarkan konten yang merendahkan. Hal ini terjadi karena setiap tanggapan atau interaksi mereka terhadap konten tersebut secara tidak langsung memvalidasi stereotip yang ada.

Budaya patriarki berkontribusi juga pada pembentukan stereotip dengan menempatkan nilai-nilai tertentu pada penampilan fisik perempuan dan laki-laki. Nilai-nilai tersebut menciptakan tekanan pada individu untuk sesuai dengan norma-norma tertentu, yang sering kali tidak realistis dan membatasi keberagaman penampilan fisik. Standar kecantikan yang ditanamkan oleh media dan budaya patriarki juga memainkan peran penting. Standar-standar ini dapat menciptakan lingkungan yang mempersempit pandangan masyarakat terhadap penampilan fisik seseorang.

Kultur digital, dengan kemudahan publikasi dan penyebaran informasi, memfasilitasi proses penyebaran konten-konten yang merendahkan terhadap penampilan fisik. Tindakan-tindakan sepele seperti mengomentari atau membagikan foto yang mengandung pesan-pesan merendahkan dapat dengan cepat menyebar dan mempengaruhi persepsi banyak orang. Bahkan, dalam beberapa kasus, konten-konten tersebut bisa menjadi viral dalam waktu singkat, meningkatkan tekanan sosial bagi seseorang yang menjadi target dari stereotip tersebut.

 Harapan untuk perubahan

Meski intoleransi fisik masih menjadi masalah serius, secercah harapan terus berbinar. Di tengah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang sempit dan stereotip yang merendahkan, gerakan sosial yang menyuarakan pentingnya toleransi fisik semakin banyak. Kampanye-kampanye body positivity, penerimaan terhadap disabilitas, dan apresiasi terhadap keberagaman etnis terus digaungkan dengan semangat yang membara. Sosok-sosok inspiratif yang berani tampil apa adanya, dengan segala ketidaksempurnaan fisiknya, menjadi beacon of hope dan role model yang menantang stereotip, serta membuka mata masyarakat akan keberagaman yang seharusnya dipeluk dengan penuh cinta dan penghargaan.

Di tengah lautan stereotip dan prasangka, setiap langkah kecil menuju toleransi fisik adalah langkah yang bernilai besar. Saat kita membuka ruang untuk mendengar dan memahami pengalaman orang lain, kita tidak hanya membentuk hubungan yang lebih kuat di antara kita, tetapi juga memperkuat pondasi sebuah masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Tidak ada keberagaman yang lebih kaya daripada keberagaman fisik yang kita lihat di sekitar kita setiap hari. Dari perbedaan warna kulit hingga bentuk tubuh, setiap individu membawa keunikan yang berharga dan patut dihargai. Dengan memahami bahwa keberagaman fisik adalah kekayaan yang memperkuat, bukan kelemahan yang harus dihakimi, kita dapat membentuk masyarakat yang mampu melampaui stereotip dan memeluk keberagaman dengan penuh cinta.

 

 

 Daftar Pustaka

Kusrini, I., Satiningsih. (2023). Proses Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Body Shaming. Jurnal Penelitian Psikologi, 10(2), 506---521. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/53876

Santoso, A. (2018, 28 November). "Polisi Tangani 966 Kasus Body Shaming Selama 2018", detik.com, hlm. 1.

Zamz, R. (2024, 30 Januari). "ASN Trenggalek Lapor Polisi karena Body Shaming", kabartrenggalek.com, hlm. 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun