Mohon tunggu...
SAHRU ROMADON
SAHRU ROMADON Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keluarga, Poros Pembentuk Karakter Anak

13 Juni 2016   22:43 Diperbarui: 15 Juni 2016   01:19 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah dan Ibu Bimbinglah Kami Untuk Menemukan Kebaikan-Kebaikan Yang Sejati

Saat anak memiliki kecerdasan budi yang baik, ia dapat mengadakan budi pekerti yang baik, sehingga dapat mewujudkan kepribadian dan karakter yang kokoh. Begitulah perkataan bapak pendidikan modern kita “Ki Hajar Dewantara”. Dan beliau pun telah mengejawantahkan gagasannya melalui aspek pandang Tri Sentra Pendidikannya (Keluarga, Sekolah Dan Lingkungan Masyarakat). Namun munculah pertanyaan, apakah masing-masing sentra sebagai ekosistem pendidikan itu sudah memainkan perannya dengan baik, dalam upaya serius pembentukan karakter anak di Negara kita selama ini . . ?

Kita rasa sangat  menarik semua ini untuk ditakar, agar muncul sebuah sikap dan pemahaman yang baik, dari setiap orang yang selama ini memandang persoalan pendidikan hanya dari satu sisi, tanpa menganggap korelasi antara satu sisi dengan sisi lainnya itu sama pentingnya. Dan diharapkan kita semua dapat mengambil peran dalam mengevaluasi masalah ini, dengan menelurkan pemikiran konstruktrif buah dari kegundahan terhadap realitas pendidikan yang ada.

Secara fundamental kita semua bersepakat, bahwa pendidikan itu memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi berpengetahuan atau cerdas (Kemampuan Kognitif) dan memiliki prilaku berbudi (Kecerdasan Karakter), itulah capaian yang diinginkan dalam proses pendidikan. Tapi, apakah mungkin capaian besar itu terealisasikan hanya melalui peran sekolah? Tentu saja tidak, diawal tulisan ini telah di sampaikan, bahkan puluhan tahun lalu penggiat pendidikan di Indonesia telah mengingatkan ada tri sentra pendidikan yang harus diperhatikan untuk bisa mencapai kesempurnaan proses pendidikan, oleh karnanya semua itu harus dikelola dengan semangat yang baik agar nilai-nilai karakter positif yang diharapkan pada anak dapat muncul dengan maksimal.

Setidaknya secara sederhana kita semua paham, bahwa pendidikan karakter itu diartikan sebagai proses membentuk tabiat, perangai, watak dan kepribadian seseorang, dengan cara menanamkan nilai-nilai luhur, sehingga menyatu dalam hati, pikiran, ucapan dan perbuatan serta menampakkan pengaruhnya dalam realitas kehidupan. Dan bicara jauh dalam bingkai pembentukan anak menjadi generasi yang cerdas (Kognitif), tentu harus dicapai dengan kedisiplinan (Karakter)  mengkaji ilmu pengetahuan. Dan begitu pula ketika berbicara anak yang berkarakter, anak pun harus memiliki kecerdasan kognitif sebagai pisau analisa atau penerjemah keadaan disekitarnya. Artinya, kemampuan Kognitif dan kecakapan Karakter anak itu memiliki hubungan yang erat.

Lalu, bagaimanakah kita bisa menakar tingkat keberhasilan atmosfir keadaan tri sentra pendidikan yang disampaikan “Ki Hajar Dewantara”, dan bagaimanapula kita bisa memunculkan satu sentra dominan yang bisa menjadi pusat penentu dan pengarah dari semua sentra yang ada, sampai mencapai sistematisasi proses pembentukan karakter anak yang berhulu pada keluarga dan bermuara dengan melahirkan banyak karakter dihilirnya.

Secara alami bisa kita liat, bahwa proses perkembangan anak dimulai dari keluarga, sebuah kelompok sosial masyarakat terkecil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya keluarga sebagai tempat belajar pertama dengan orang tua sebagai pendamping, sebelum anak tersebut terjun lebih luas di dalam sekolah formal dengan guru-guru sebagai pendidik, serta di masyarakat bertemu dengan orang-orang disekitar, sebagai lawan tanding terhadap karakter diri yang di bentuk dalam keluarga dan karakter baru disekitarnya.

Tentu kita yakin, semua orang tua tidak menyadari perannya yang sangat strategis itu, namun pada hakekatnya peran keluarga dengan orang tua sebagai pendamping bagi anak sangatlah penting. Karna, orang tua harus mampu menjadi model dan teladan dalam memaksimalkan setiap fase tumbuh kembang anak untuk dapat menanamkan dan membentuk nilai-nilai dasar karakter yang positif.  Baik itu nilai-nilai karakter dalam bersikap (kejujuran, ketegasan, kedisiplinan, keberanian) dan bersosial (gotong royong, simpati, empati) ataupun nilai-nilai lainnya.

Hal ini jelas selaras dengan apa yang disampaikan oleh (Gunarsa, 2001),ia menyampaikan bahwa: “Masa kanak-kanak merupakan masa yang begitu penting untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian (karakter) yang akan memberi warna ketika seorang anak kelak menjadi dewasa”. Karena itu, kualitas pada pola-pola perkembangan masa anak adalah sangat penting. Dan jauh-jauh hari pula, para Khalifaur Rasyidin (Kepemimpinan Para Sahabat) baik itu Umar Bin Khatab ataupun Ali Bin Abi Tahalib telah mewasiatkan, betapa amat pentingnya mendidik anak dalam keluarga, bahkan dengan metode-metode pendidikan yang penuh keseriusan disetiap fase usianya. Sebagai mana Ali Bin Abi Thalib berkata “Didiklah anakmu selayaknya tawanan perang; penjagaan penuh, dengan segala ketegasan dan komitmen yang tinggi dalam menerapkan segala aturan”.

Oleh sebab itu, keluarga harus jadi garda terdepan, poros utama dalam upaya pembentukan karakter anak, dengan mentranfer sebuah karakter bukan hanya dengan lisan tetapi juga dengan sebuah keteladanan. karna sekolah dan lingkungan tidak akan memiliki porsi besar untuk dapat membentuk karakter anak, sebab sekolah melalui guru sebagai pendidik dan lingkungan hanya akan memainkan peran sebagai pengembangan karakter dalam sebuah diri anak yang awalnya sudah terbentuk oleh keluarga.

Sebagai mana seorang anak boleh diumpamankan seperti sehelai kertas yang sudah ada tulisannya, tetapi semua tulisan itu tidak jelas/kabur, dan tulisan kabur itu adalah sebuah  karakter-katakter dasar yang terbentuk dalam ruang keluarga. Sehingga keluarga, sekolah dan lingkungan bisa terus mengawal tulisan-tulisan kabur tersebut, serta dapat memilih dan memilah mana tulisan karakter baik yang akan ditebalkan (dikembangkan) dan mana tulisan kabur yang buruk untuk dihilangkan atau diperbaiki, agar kelak nampak sebagai budi pekerti.

Jadi dapat dikatakan, sekolah dan lingkungan tidak dapat membentuk karakter namun hanya dapat mengembangkan atau memperbaiki bahkan meniadakan karakter-karakter yang muncul pada anak. Karna sejatinya, pembentukan karakter itu terjadi dan dilakukan oleh keluarga dengan orang tua dan saudaranya sebagai contoh teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Dan menilik simbiosis tri sentra pendidikan (keluarga, sekolah dan lingkungan) yang ada saat ini, terlalulah sangat menohok bahwa, bingkai realitas yang ada sangat minim dari contoh keteladan. Bagaimana tidak, keluarga  yang seharusnya bisa berperan sangat maksimal dengan memunculkan sebuah karakter baik, melalui keteladanan yang dibiasan. Tetapi, malah berharap memuncul kan karakter anak hanya dari sebuah himbawan atau bahkan perintah. Secara sederhana dicontohkan, dengan mengharapkan karakter yang berbudi pekerti ada pada seorang anak, dengan prilaku penggunaan sebuah gadget secara baik. Maka, orang tua mentransfer nilai karakter tersebut melalui nasehat atau perintah, tetapi sering orang tua sebagagai pembimbing anak malah menggunakan gadgetnya tanpa kenal waktu. Begitupun dengan sebuah pengharapan agar anak memiliki nilai karakter kedisiplinan melaksanakan ibadah sholat lima waktu, namun orang tua sendiri tanpa kesadaran dan keteladanan untuk melaksanakan. Bagaimana keluarga akan mampu memunculkan sebuah karakter-karakter positif kalau kultur budaya keluarga semacam ini yang terbangun.

Begitu pula dengan sekolah dengan guru sebagai pendidik, yang masih menekankan prestasi anak hanya dari sebuah pencapaian nilai Kognitif, tanpa berpandangan untuk mengelaborasikan pentingnya penilaian Apektif dan Psikomotorik secara serius, yang sejatinya merupakan sebuah ruh dari sebuah perkembangan karakter anak. Dan kalau ditakar secara serius pula, yakinlah dedikasi guru sebagai pendidik masih ada yang hanya sebatas lisan dan tulisan namun belum begitu maksimal dalam keteladanan.

Begitupun ketika kita takar, sebuah aspek sentra lingkungan masyarakat terhadap pembentukan karakter anak, pastilah memiliki peranan tersendiri. Kalau kita merujuk pada  nasehat penuh hikmah dari sang seniman kata bangsa yang namanya eksis dikalangan anak muda (Mario Teguh), bahwa untuk membentuk Karakter seseorang ada tigal faktor yang memiliki peran, dan masing-masing diberikan presentase (25%) faktor dari diri sendiri (25%) faktor keluarga dan (50%) faktor lingkungan. Yang artinya penjelasan tersebut menekankan pada faktor lingkunganlah yang memiliki peran utama. Namun, ketika kita rasionalisasikan pernyataan tersebut dari kacamata seorang intelektual awam, tentulah masih banyak hal yang bisa dikritisi. Karna, mungkin saja lingkungan yang dimaksud adalah gabungan dari lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. 

Tetapi terlepas dari itu semua, harus kita sikapi bahwa memang lingkungan begitu berperan dalam pembentukan karakter anak terutama pada masa usia tujuh tahun pertama. Dimana sebuah penelitian (Derektorat PAUD, 2004). Menyatakan bahwa pada usia ini merupakan fase golden age (usia emas) yang menempatkan satu-satunya otak yang berkembang sempurna adalah “otak reptile” seperti yang dimiliki seekor hewan, karna pada karakter otak seperti ini lah kemampuan pertahanan diri anak diuji dari rangsangan. Dan demikian pula ketika anak masuk pada fase usia tujuh tahun kedua ataupun ketiga, proses perkembangan karakter pada anak terkadang mulai terkena radiasi nilai negatif dari lingkungan. Karna, pada usia ini anak sudah mulai bersikap rasional dan serba ingin tau.

Maka dari itu, arti penting dari semua proses pembentukan karakter anak yang saling memiliki kaitan, antara satu sentra dengan sentra lain adalah, harus ada kesiapan dan kesanggupan melalui sebuah keteladanan yang dibiasakan sampai menjadi kedisiplinan, dengan orang tua sebagai pendidik utama. Serta orang tua harus mampu membekali diri dengan sebuah metodologi-metodologi atau tols-tols yang dapat dimengerti dan diterima oleh anak disetiap fase perkembangannya. Agar dapat sebisa mungkin mengembangkan bibit-bibit kepribadian baik dan mengcountere bibit-bibit karakter buruk yang akan muncul, baik itu dari pengaruh lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Maka,  Janganlah sampai  orang tua sebagai pendidik terpenting, tetapi malah orang tua itu sendiri menjadi pendidik yang tak tersiapkan.

Kalau boleh kita analogikan, keluarga menjadi seperti gedung, tentu kita dapat ibaratkan sebagai pondasi dan sekolah sebagai tembok yang menghiasi serta lingkungan sebagai atap yang menutupi. Kita akan mendapati betapapun indah dan tinggi tembok-tembok itu menjulang dengan atap sebagai keindahan lainnya. Namun, tanpa pondasi yang kuat, yakinlah akan hancur jua. Dan ketika sebegitu buruk tembok dan atap yang ada pada sebuah gedung, namun ketika ia memiliki sebuah pondasi yang kokoh, pasti ia akan tetap nampak gagah.

Hingga akhirnya kita bisa menyatakan bahwa, ketika sebuah pondasi sudah kokoh, maka dengan kekokohan sebuah pondasi itu lah ia akan dapat memilih, menentukan dan mengontrol sebuah aspek lain yang akan diletakkan untuk memperindah karakter-karakter pada setiap aspek yang ada pada dirinya. Begitulah sederhana, pesan penting sebuah keluarga melalui analogi bangunan,  yang menerangkan bahwa keluarga sebagai poros utama dalam pembentukan karakter ataupun control dari setiap perkembangan karakter yang ada pada diri anak.

Sampai sedemikian rupa, pemikiran yang larut pada instrument-instrumen  tri sentra pendidikan diharapkan memberi kesadaran bahwa, setiap nilai prilaku pendidik anak hari ini haruslah berpandangan besar, sebagai proses pembentukan karakter anak yang akan menentukan masa depan karakter bangsanya.

Penulis : Sahru Romadon (Mahasiswa Semester Enam_Prodi Ilmu Pemerintahan__FISIPOL_Universitas Muhammadiyah Lampung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun