Dikarenakan dalam pembahasan ini menyangkut mengartikan keembali kewibawaan para birokrat olehnya itu penulis menekankan pada bagiaman etika ini menjadi batasan yang selama ini kewibawaan birokrasi dibangun dengan menggunakan etika perorangan maka dalam pembahasan ini penulis lebih melihat etika secara organisasi dimana di bangun dari sistim yang kita gunakan dan juga dari bagaimana tipe kepemimpinan yang digunakan oleh pemimpin saat ini.
Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk kepentingan kita, harus diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan baik yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia -manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan. [6]
Beliau juga menambahkan bahwa Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, birokrasi kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial, yang akan tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan oleh pandangan regime value, birokrasi kita harus berpegang teguh kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, birokrasi harus menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang bertentangan dengan konstitusi.
D. Akuntabilitas Birokrasi (Jangan Menunggu Masyarakat Bertanya)
Sebagaimana yang diuraikan dalam etika birokrasi diatas bahwa saat ini birokrasi kita terlalu dekat dengan politik sehingga seringkali mngabaikan proses pertanggung jawaban (Acountability) kepada masyarakat. Dalam sistem pemerintah yang dipamahami penulis adalah bahwa pertannggung jawaban lembaga eksekutif akan dilakukan di depan lembaga legislatif yang notabene adalah perwakilah masyarakat sehingga ini menjadi sebuah pertanggung jawaban politik karena di lembaga ini kepentingan politik-lah yang menjadi terdepan, terkadang para anggota legislatif juga salah mendefenisikan kehadirannya pada lembaga ini karena dia adalah perwakilan rakyat bukan perwakilan parpol sehingga kepentingan yang harus diniatkan adalah kepentingan rakyat tetapi permasalahan ini saling bertabrakan jika partai memiliki kepentingan yang dititipkan pada perwakilannya sehingga anggotanya di legislatif menjadi delematis untuk memutuskan kepentingan mana yang didahului.
Bagi penulis bahwa akuntabilitas merupakan ukuran atau sarana pembuktian kepada masyarakat tentang aktivitas birokrasi atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan harapan masyarakat atau belum, selain itu akuntabilas juga nantinya bisa melihat bahwa pelayanan yang di lakukan sudah mengakomodir kebutuhan rakyat secara kolektif atau belum.
Yang menjadi fokus penulis dalam pembahasan ini adalah bagaimana birokrat melakukan akuntabilitas kebawah dalam artian akuntabilitas kepada masyarakat dimana terkait dengan konsep partisipasi, bahwa aktifitas politik dan pelayanan publik harus memiliki kaitan dengan proses konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dan masyarakat pada tingkat yang paling bawah.
Kalau membicara tentang sejauh mana birokrasi kita melakukan pertanggung jawaban mungkin banyak jawaban yang telah disiapkan tetapi saat kita melirik pada kualitas dari akuntabilitas tersebut kita akan nampak beberapa hal didalamnya, sebelum jauh tentang kualitas tersebut terlebih dahulu penulis meminjam pandangannya Denhardt (1998 : 18) mengatakan bahwa pada umumnya literaur mengenai akuntabilitas di satu pihak menyebutkan tentang pentingnya kualitas subjektif, berupa rasa tanggung jawab para pejabat publik dan di lain pihak banyak yang menyebutkan pentingnya kontrol struktural untuk menjamin pertanggung jawaban tersebut.[7]
Yang selama ini dilaksanakan pertanggungjawaban adalah sebagaimana yang telah dituangkan dalam aturan-aturan sehingga kekakuan dalam pertanggungjawaban selalu terlihat, selain itu lemahnya kontroling dari lembaga legislatif sehingga menyebabkan sebuah akuntabilitas tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Lemahnya akuntabilitas ini juga dikarenakan karena lemahnya pengawasan, dari lembaga legislatif sehingga pemerintah merasa seenaknya melakukan kepentingannya, lemahnya peranan legislatif diakibatkan pertempuran kepentingan politik di dalamnya sehingga parpol yang berkualisi dengan eksekutif merasa pantas untuk mempertahan apa yang dilakukan oleh eksekutif tersebut.
Yang diperlukan sekarang ini adalah reorientasi pejabat publik agar benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik. Tidak lupa juga prinsip Checks and balances juga harus diperkuat pada lembaga-lembaga pemerintahan. Terlepas dari itu elemen-elemen civil society dalam masyarakat juga semakin keras menyampaikan aspirasi masyakarat, jika sekarang ini malah terbalik kejadiannya dimana banyak sekali komponen masyarakat yang menyuarakan aspirasinya tetapi sifat apatis dari pemerintah masih saja tetap ada ditambah lagi semakin dimintai pertanggung jawaban malah di ada sebagian pemimpin yang mengira itu sebagai sebuah tindakan inpacment padahal inilah kondisi demokrasi sebenarnya. Jadi sebaiknya pemerintah berpikir tentang akuntabilitas ini agar kedepannya tidak lagi menunggu masyarakat bertanya tetapi tunjukkan dan pertanggungjawaban itu dilaksanakkan sebelum masyarakat bertanya.
DAFTAR PUSTAKA