Mohon tunggu...
Sahroha Lumbanraja
Sahroha Lumbanraja Mohon Tunggu... Teknisi - Masih percaya dengan Cinta Sejati, Penggemar Marga T..

When You Have nothing good to say, Then Say nothing!!! Email: Sahrohal.raja@ymail.com IG: @Sahroha

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Solusi Macet, Polantas Harus Bisa Menjadi Hakim Lalin yang Disegani

27 September 2015   12:33 Diperbarui: 27 September 2015   15:37 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Salah satu Polantas Wanita/djurnal.com"][/caption]

Kemacetan memang sudah menjadi persoalan klasik yang sejak lama menjadi salah satu faktor ketidaknyamanan di Ibukota. Seiring perkembangan zaman, Jakarta sebagai kota sentral pembangunan di Indonesia begitu dinamis dan selalu berubah mengikuti tren. Sebagai salah satu kota metropolitan, Jakarta begitu padat dengan manusia diikuti segala aktivitasnya. Pembangunan Infrastruktur pun tak henti-hentinya dicanangkan. Sebagai pusat ekonomi, berbagai perusahaan domestik hingga luar negeri seakan berlomba untuk memiliki perkantoran di ibukota.

Padatnya pembangunan infrastruktur ditambah penghuni Jakarta yang selalu bertambah membuat Ibukota terasa sempit dan sesak. Belum lagi kepemilikan angkutan pribadi yang begitu mudah di Negara ini semakin memperburuk wajah lalu lintas di Jakarta. Sudah sesak dengan gedung-gedung yang tidak berhenti pembangunannya, lalu lintas masih dipenuhi beraneka ragam mobil, bus kota, Kopaja, Trans Jakarta, sepeda motor dan masih banyak lagi. Alhasil mobilitas menjadi sangat susah, Kemacetan semakin lama semakin buruk saja.

Simpul-simpul kemacetan tak hanya di titik-titik tertentu saja, namun sudah mengepung di sepanjang jalan ketika jam sibuk (Pagi dan sore hari). Polisi lalu lintas sebagai hakim yang bertanggungjawab menertibkan lalu lintas belakangan menjadi bulan-bulanan objek yang disalahkan akan ketidaknyamanan ini. Di lain pihak masyarakat pengguna jalan justru memilih bungkam dan menerima keadaan Jakarta yang dianggap sebagai imbas dari kemajuan Zaman. Akhirnya kemacetan jadi dianggap tradisi yang tidak akan pernah mendapat solusi. 

Berbicara mengenai Solusi, sebenarnya bukan sedikit kebijakan yang telah dibuat untuk menerangi persoalan kemacetan Jakarta. Sebut saja, barisan Polantas yang siaga di berbagai pos di jalan-jalan yang rawan macet dan kecelakaan. Ada pula NTMC Polri yang menjadi pusat kendali informasi lalu litas untuk memonitoring sejumlah titik-titik rawan dengan secara real time mengakumulasi data dari CCTV yang di pasang di titik tersebut. Dengan berintegrasi kepada Polri, Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan, Perindustrian dan Riset & Teknologi, NTMC tentu saja seharusnya mampu memberikan data akurat tentang kondisi jalanan yang bisa digunakan untuk antisipasi persoalan lalu lintas.

Bahkan dari Pemerintah sendiri telah mencanangkan busway terintegrasi TransJakarta dengan kualitas yang nyaman dan memiliki jalur tersendiri agar terbebas dari kemacetan guna menjadikannya alternative utama masyarakat dalam bepergian. Sayang semua itu tak cukup untuk membendung kemacetan di Ibukota. Apa kelemahannya? Apa kebijakan-kebijakan ini memang benar-benar tidak memiliki kelebihan yang harusnya solutif? 

Jawaban dari pertanyaan ini seharusnya Solutif. Kurang brilian apa layanan NTMC, siaga polisi di pos-pos hingga penyediaan layanan transportasi massa yang nyaman dengan jalur pribadi. Tetapi kembali lagi, apakah kebijakan ini dilakukan maksimal? Layanan Trans Jakarta misalnya, apa mampu menjawab kebutuhan transportasi warga yang selalu terkejar waktu? Apa bebas dari kemacetan dan jalurnya benar-benar dipatuhi? Nah ini yang perlu dibenahi dan ditegaskan kembali. Ketika transportasi massa sudah menjadi pilihan utama, maka Polisi mungkin akan lebih ringan tugasnya karena volume mobil pribadi hingga motor di jalan raya akan berkurang.

Hal kecil yang juga mungkin bisa diterapkan adalah dengan tidak mengizinkan anak sekolah menyetir sendiri ke sekolahnya. Sehingga sedikit lebih mengurangi volume kendaraan di jalan raya. Alternative lain dengan mengundi jam terbang pengguna mobil pribadi di jalan raya. Sebut saja, dengan mengkotak-kotakkan kendaraan yang bisa keluar di hari hari tertentu berdasarkan warna atau tipe. Dengan menaikkan pajak kepemilikan kendaraan pribadi juga akan ampuh untuk masyarakat mempertimbangkan sebelum membeli kendaraan pribadi. Jika BBM naik, masyarakat protes maka tidak akan berlaku bila pajak kepemilikan kendaraan pribadi dilakukan. 

Jika tidak, populasi masyarakat yang lebih memilih memiliki alat transportasi pribadi akan terus meningkat. Belum lagi, prosedur pembelian mobil di Indonesia begitu mudah asal memiliki Uang saja maka bisa memiliki berapa mobilpun tanpa batasan. Tak heran, perusahaan otomotif berlomba ekspansi bisnis di Negara ini.

Jadinya kemacetan ini berakar dari dulu, transportasi massa tak bisa diandalkan akhirnya masyarakat berlomba membeli alat transportasi pribadi, perusahaan otomotif berlomba menjual produk di Indonesia dengan harga terjangkau, Jalanan pun sesak dan peraturan pemerintah hanya ‘angin lalu’. Semua berlomba cepat dan saling adu keras di jalanan. Jadilah Lalu lintas tak hanya macet namun kadang menimbulkan perkelahian. Poinnya adalah kesadaran masyarakat juga menjadi faktor aktif yang harusnya mampu mengurangi kemacetan. Buruknya, hingga sekarang masyarakat pengguna jalan raya lebih sering merasa ‘masa bodoh’ dengan kemacetan tersebut. Hingga tak ada perkembangan positif dari persoalan lalu lintas Jakarta. 

Di sinilah perlu peranan polisi untuk tidak hanya mengawasi namun mampu merangkul dan mengedukasi para pengguna jalan. Dimulai dari penerbitan SIM (Surat Izin Mengemudi) yang menjadi wewenang Kepolisian. Sebagai pemberi ijin menggunakan jalan raya, Polisi harus benar-benar mengasah pengetahuan hingga mental calon pengemudi. Jangan dengan mudah memberikan SIM hanya dengan pertimbangan skill. Tetapi harus lulus pula secara mental.

Sebelumnya Polisi juga mungkin perlu membuat aturan keras mencabut SIM apabila pengguna tercatat malanggar lalu lintas atau mengakibatkan kecelakaan. Sebagai hakim di jalanan, Polisi jangan hanya memberikan tilang saja ketika menjumpai pelanggar lalu lintas. Namun perlu mengumpulkan mereka untuk mengedukasinya di kantor agar jera dan tidak mengulanginya lagi. Tak hanya hakim jalan raya, Polisi juga harus mampu menciptakan citra pelopor ketertiban berlalulintas. Jadi tak kurang, Polantas harus mampu memberikan training atau pelatihan bagi para pelanggar lalu lintas.

 [caption caption="Polantas sedang Razia/image:antaranews.com"]

[/caption]

Singkatnya, Polantas harus bisa tampil sebagai hero yang bisa diandalkan masyarakat. Tak hanya sebagai pemberi kartu kuning atau kartu merah, Polantas juga harus mampu turun tangan membantu masyarakat ketika memerlukan bantuan sebut saja mobil/motor mogok di jalan karena akan turut menyumbang kemacetan. Jadi jangan terlalu bersikap bossy dengan duduk di pos-pos dan melihat saja. Dengan berhasil mengambil simpati masyarakat pengguna jalan, maka polisi juga secara otomatis akan dipatuhi dan disegani bukan ditakuti.

Di zaman serba internet dan media sosial ini, polisi juga memungkinkan untuk mengadakan kampanye massif demi ketertiban lalu lintas di media sosial pasti akan lebih efektif. Intinya, Polisi harus bisa menjadi ‘hakim’ dan teman bagi pengguna jalan. Dengan hubungan dan citra yang baik dengan masyarakat, kita percaya maka masyarakat akan mendengar dan mematuhi apapun kebijakan Polantas untuk ketertiban bersama. Dengan aksi-aksi tersebut Polisi akan menjadi sutradara yang baik untuk menciptakan rekayasa lalu lintas yang tertib.

Kemacetan Jakarta memang bukan persoalan mencari kambing hitam. Siapa yang salah dan siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Kemacetan lalu lintas seyogyanyanya menjadi tugas bersama yang harus diatasi bersama pula. Masyarakat menjadi objek yang diawasi seharusnya lebih sadar dan saling mengingatkan apabila rekannya melanggar lalu lintas bukan malah mengikutinya. Semua orang pasti ingin memanfaatkan waktunya dengan maksimal, tak ada satupun orang yang ingin berlama-lama terjebak dalam kemacetan. Untuk itu masyarakat pengguna jalan raya harus saling perduli dan meredam ego masing-masing.

Selanjutnya Polisi sebagai subjek yang mengawasi ketertiban lalu lintas harus mampu professional, tegas dan humanis tentunya. Selain menghukum pelanggar, polisi harus tetap membuat imejnya menjadi personal yang dekat dan ramah dengan masyarakat. Kita tahu Polantas memang bukan manusia sempurna yang bisa mengatasi semuanya, kekuatan mereka juga tentunya terbatas dalam mengatasi kemacetan. Namun bukan berarti Polantas tak memiliki kekuatan atau power dalam menertibkan jalan raya. Semoga saja Polantas semakin disegani dan mampu menjadi hakim lalu lintas yang  dicintai oleh pengguna jalan raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun