[caption id="" align="aligncenter" width="447" caption="Ilustrasi/blogspot.com"][/caption]
Situasi pendidikan Indonesia saat ini mengalami kondisi darurat! Berbagai peristiwa menyedihkan bermunculan ke media yang menggambarkan bobroknya kualitas pendidikan. Sebulan terakhir Indonesia dikejutkan dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak TK di JIS (Jakarta International School). Korban yang berumur enam tahun harus mengalami trauma berat akibat tindakan sodomi yang dilakukan karyawan sekolah Internasional tersebut. Peristiwa ini sontak meriuhkan pemberitaan media dan serta-merta mengejutkan masyarakat. Belum selesai penanganan kasus tersebut, peristiwa lebih menyedihkan terjadi di SDN 09 Pagi Makasar, Jakarta Timur. Adalah Renggo Kadapi yang tewas digebuki kakak kelasnya. SY (kelas VI SD), hanya karena tak sengaja menjatuhkan makanan seniornya (Pisang Coklat). Walau telah meminta maaf, emosional SY tak juga reda. Malah SY dibantu beberapa teman sekelasnya berkomplotan menyiksa juniornya tersebut hingga babak belur. Mirisnya lagi, penganiayaan ini dilakukan persis di sebelah ruang kepala sekolah. Namun karena sedang jam istirahat, disebut tidak ada guru yang sedang berada di kantor. Penyiksaan yang dilakukan anak berusia 13 tahun ini berakhir tragis dengan kematian Renggo pada Minggu (4/5) dini hari sekitar pukul 01.00 WIB di RS POLRI setelah sebelumnya mengalami kejang-kejang dan muntah darah.
Korban Pedeofil di TK JIS dan Renggo menjadi bukti nyata buruknya pendidikan kita saat ini. Bagaimana tidak? Kedua kasus tersebut terjadi di lingkungan sekolah, dimana seharusnya anak-anak menuntut ilmu. Dimana seharusnya anak-anak aman dengan ketersediaan guru sebagai pengajar sekaligus pelindung murid. Sekolah sebagai media belajar formal sudah wajib mengemban tugas untuk membentuk generasi-generasi penerus bangsa yang cerdas dan berakhlak. Kenyataannya, mencuatnya beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah belakangan ini mengubah persepsi tersebut. Rahasia-rahasia kelam dalam dunia pendidikan terkuak, Sekolah menjadi persembunyian predator pedeofil dan menjadi sarang preman cilik. Dalam beberapa kasus ini, Sekolah benar-benar gagal mewujudkan misinya ‘mendidik’ dan ‘aman’.
Lalu siapa pihak yang seharusnya bertanggungjawab?
Pada kasus TK di JIS, pelaku adalah petugas kebersihan sekolah tersebut. Secara tidak sadar, pihak sekolah turut serta melancarkan aksi kekerasan dengan perekrutan pelaku menjadi pekerja di JIS. Walau JIS juga tak menginginkan hal ini, tetapi agak kurang logis apabila sekolah Internasional yang mahal mempekerjakan karyawannya yang notabene outsorching sedikit sembrono. Bahkan seorang pedeofil buronan FBI pun pernah bekerja selama 10 tahun di JIS. Jelas kecolongan ini juga menunjukkan bukti kecerobohan rekrutasi karyawan di JIS.
Berangkat ke kasus Renggo, sangat menyedihkan mengetahui bahwa anak SD tega menganiaya dan bahkan membunuh hanya karena makannanya dijatuhkan secara tidak sengaja. Lebih miris lagi, penganiayaan tersebut terjadi di sebelah ruang kepala sekolah saat jam istirahat. Kemana semua guru-gurunya? Apa tidak ada satupun yang mengawasi? Sedikit banyaknya, pihak pengajar sekolah ini wajib dimintai pertanggungjawabannya.
Kedua kasus tersebut sebenarnya bermuara pada satu permasalahan, yakni kurangnya perhatian guru kepada muridnya. Kasus pelecehan TK di JIS terjadi di toilet yang berada agak jauh dari kelas belajar siswa. Ketika pedeofil-pedeofil tersebut beraksi, tentunya memakan durasi beberapa menit. Lalu, apa tidak ada kecurigaan pengajar melihat lamanya siswa di Toilet?. Tentunya ekspresi dan mood dari siswa TK yang mengalami kekerasan itu akan berubah drastis, lalu apa guru tidak merasakannya?.
Kasus Renggo terjadi di sebelah ruang kepala sekolah saat jam istirahat. Tidak mungkin tak ada satupun guru yang berada di Sekolah. Bukankah istirahat (break time) hanya 15 menit? Mungkinkah tak ada guru yang berada di halaman sekolah dan mendengar kejadian itu? miris sekali.
Guru adalah tokoh penting dalam pendidikan. Peran guru di lingkungan sekolah mencakup lingkup yang sangat luas. Selain, Sebagai pendidik, pengajar, teladan dan motivator, guru seyogyanya juga mampu berperan sebagai pendamping siswanya. Guru juga harusnya mampu menjamin keamanan proses belajar mengajar di Sekolah. Jadi bukan hanya menjadi teman pada jam belajar, kemudian jam istirahat menjadi orang asing. Lebih dari itu, guru sebagai orang tua siswa di Sekolah harus berperan layaknya orang tua yang memperhatikan anaknya.
Kesuksesan suatu pendidikan juga ditentukan oleh kualitas guru yang menabur ilmu. Tak hanya kognitif, pendidikan moral dan akhlak wajib menjadi materi pokok yang harus diajarkan. Bisa jadi, berkembangnya kasus kekerasan dunia pendidikan seperti saat ini dipicu karena pendidikan moral yang lama kelamaan memudar. Pendidikan sekarang dipacu dengan materi-materi yang menunjang intelektual, ironisnya pendidikan akhlak malah dikesampingkan. Terbentuklah anak didik yang menjadi kriminalis dan selanjutnya memanfaatkan kemampuan kognitifnya untuk merencanakan hal-hal yang lebih buruk. Sudah seharusnya Guru memberikan perhatian khusus untuk hal ini, bagaimanapun mencuatnya kasus-kasus kekerasan di sekolah telah menunjukkan kegagalan didikan mereka.
Guru memang disebut Pahlawan Tanpa tanda jasa. Tetapi, hendaknya Guru tetap konsisten untuk mencetak generasi-generasi hebat penerus bangsa ini. Karena masa depan bangsa ini berada di tangan generasi muda. Dan masa depan generasi muda bangsa ini juga dipengaruhi oleh kualitas guru-guru di negara kita. Jangan sampai ada lagi Renggo yang baru lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H