Mohon tunggu...
SAHRIL
SAHRIL Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Sebatang pena yang lahir di pulau terpencil pagerungan besar-Sumenep Madura. "Biarkan nama tercatat bukan hanya dibatu Nisan yang akan pudar oleh masa" @SahrilPGB

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sambungan: Kun Anta

3 April 2016   00:16 Diperbarui: 3 April 2016   01:04 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kun Anta Karya Sahril"][/caption]Sunyi membentang, melirik-menatap kaku, sembari senyum, rona mata menatap tajam, mengais hati, bergejolak rasa dalam diri sepasang insan yang kian berebut rindu dan malu, rasa bersalah dan pasrah memeluk, bibir jadi kaku.


“Sudahlah! Aku memang naif dalam berbicara cinta, ku gambarkan kesederhanaan di antara hiruk-pikuk orang bicara modis, sementara aku terbawa suasana, terseret pada kebimbangan. Malu saat orang bicara tentang kau yang kolot, ketinggalan zaman,” tutur Murdin, menepis sunyi, saat ketegangan memberontak membuat hati tak karuan.


“Apa maksudmu bicara demikian?” sergah Kikah, “lupakah kau dengan omonganmu? Kak, sudah aku katakan, jika hatimu masih berat untuk berjalan denganku, maka pergilah dariku, karena aku takkan melepas keyakinanku dalam menutup aurat supaya di anggap cantik dan tak kolot. Lebih baik aku kehilangan cinta dari seorang kekasih yang ingin melihat kecantikanku dipoles dengan pernik-pernik gaya rambut dibiarkan terurai, celana semakin ke atas, baju kekurangan kain, daripada kehilangan keyakinanku, dan kehilangan cinta dari sang Ilahi, memajang paha di muka umum, aurat di pertontonkan. Cukuplah Kak! Cukup suamiku kelak yang akan melihat semua itu, dari sehelai rambutku hingga ujung kuku kakiku.”


“Aku tak lupa,” jawab Murdin kaku, “Mungkin saja hati ini yang sedang bimbang, tak kuat mendengar omongan orang tentang engkau yang aku cinta. Semua temanku mengatakan hal yang jelek kau sembunyikan di balik pakaianmu itu.”


“Kau peduli dengan kata mereka, atau kau mencitaiku karena keindahan tubuh, cantik rupa yang seiring waktu berjalan akan menua dan keriput.”
“Tidak! Aku mencintaimu karena hati ini yang membawa, tiada kekayaan bahasa dan keindahan selain cinta yang benar tulus mencintai,” Murdin mencoba meyakinkan Kikah atas cintanya, mencoba untuk menenangkan suasana dan mengalihkan pembicaraan karena sudah kehilangan akal atas apa yang telah terlanjur ia tuturkan.


“Jangan laknat aku dengan majasmu, jangan pecundangi aku dengan rayuanmu. Sudahlah, Kak! Biarlah ini berjalan pada keadaannya, jika aku bukan pilihan, lantas buat apa memaksa untuk memilih, sementara pilihan masih banyak di luas sana yang mungkin takkan membuatmu malu.”
Murdin kembali terdiam kaku mendengar apa yang di lontarkan Kikah, hatinya semakin menepi pada rasa yang tak karuan. Ia menarik napas pajang, duduk menundukkan kepala, merasa terpojokkan.


“Maaf atas kelancanganku telah bicara yang ingin merontokkan segala keyakinanmu. Maaf atas diri ini yang lebih mementingkan kata orang daripada kata hati, hingga lancang diri ini bicara dan meminta demikian. Aku benar-benar mencintaimu, cinta yang tiada kata akhir. Percayalah, maaf aku takkan goyah lagi.”


“Tiada cinta yang abadi, keabadian hanya milik Allah, cintailah aku karena Allah agar kita melebur dalam keabadian cinta itu,” tutur Kikah dengan rendah hati, “aku memaafkanmu atas khilafmu, tapi aku takkan membenarkan cintamu, selain hanya berujar semoga.”


“Iya, semoga. Maka izinkan aku yang menemanimu di pelaminan.”


“Tiada yang lebih berharga dari janji sepasang kekasih selain ijab kabul, tiada rayuan yang manis selain kau sebut namaku di atas ayat suci dengan sumpahmu menjagaku, saat jabat tangan, kau menerima amanah orang tuaku untuk bertanggung jawab atas hidupku,” kata Kikah, “saat itulah kau jadi imamku, bawalah aku melangkah yang tak pandai berdandang di muka umum, tapi pandai mengabdi menjadi orang berguna bagi bangsa dan agama. Biar aku memoles diri ini, di dalam rumah yang di mana hanya ada kau dan aku.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun