“Ehm…” pria itu menghela napas pelan, mencoba mencari kata-kata. “Mungkin ini nggak banyak bantu, tapi biar saya bayarin kopi baru buat kamu.”
Liora menggeleng cepat. “Nggak perlu, serius. Ini masih banyak kok, cuma sedikit tumpah.”
“Tapi, kayaknya kamu lagi... nggak baik-baik aja, ya?” tanyanya hati-hati. Nadanya lembut, seperti seseorang yang benar-benar peduli.
Liora menoleh, terkejut dengan pertanyaan itu. Bukan karena dia tersinggung, tapi karena pria asing ini seakan bisa membaca dirinya dengan tepat. Biasanya, orang lain hanya melewatkannya tanpa banyak perhatian. Dia tidak langsung menjawab, hanya mengangkat bahu.
“Maaf, saya nggak maksud gimana-gimana,” pria itu menambahkan cepat. “Kadang saya juga suka ngerasa berat, jadi… ya, saya ngerti rasanya.”
Kalimat itu entah kenapa membuat Liora terdiam. Ia menatap pria itu sekilas—seorang lelaki dengan jaket hitam dan kacamata tipis, wajahnya terlihat tenang, tapi matanya menyiratkan pengalaman yang sama.
“Thanks, tapi gue fine,” ujar Liora akhirnya, dengan suara yang hampir seperti bisikan. Ia mengambil kopinya, lalu mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih sebelum berbalik menuju pintu keluar.
Namun, langkahnya terhenti sejenak saat pria itu berkata, “Kalau butuh temen ngobrol, coba cari seseorang. Kadang, kita cuma butuh didengar.”
Liora tak menoleh lagi, tapi kalimat itu terus bergema di kepalanya saat dia berjalan pulang di bawah gerimis. Ada sesuatu yang berbeda sore itu—bukan dari kopinya, bukan dari cuacanya, tapi dari pertemuan singkat dengan pria asing tadi. Entah kenapa, meski hanya sesaat, ia merasa sedikit lebih dipahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H