Beberapa hari kemudian, di sore yang masih diguyur gerimis, Liora memutuskan untuk keluar membeli kopi di kafe dekat apartemennya. Liora melirik papan nama kafe yang direkomendasikan Hana kemarin. "Ground Brew Café", nama itu terpampang di atas pintu kaca yang sedikit berembun. Dari luar, dia bisa melihat kehangatan cahaya lampu yang lembut, serta beberapa orang yang duduk dengan kopi di tangan, tampak tenggelam dalam obrolan santai atau buku favorit mereka.
Kafe itu kecil tapi terasa nyaman, dengan musik akustik pelan mengalun di latar. Liora melihat-lihat menu yang terpajang di papan tulis dekat meja kasir. "Cappuccino... hm, sounds good," pikirnya. Dia ingat Hana bilang bahwa menu di kafe ini memang terkenal enak.
Gerimis sore itu membuat jalanan di sekitar kafe terasa lebih lengang. Liora mengenakan jaket tipis dan menundukkan kepala sambil berjalan cepat. Udara dingin membawa aroma tanah basah, dan entah kenapa, ia merasa sedikit lebih ringan dibanding hari-hari sebelumnya. Mungkin benar kata Hana—keluar rumah dan menikmati hal-hal kecil bisa sedikit membantu.
Setelah masuk ke kafe, Liora langsung menuju kasir dan memesan cappuccino. "Dine in atau take away, Mbak?" tanya barista dengan senyum ramah.
“Take away aja,” jawab Liora singkat. Dia berdiri di sudut ruangan dekat meja pengambilan pesanan, matanya melirik ke jendela besar yang memperlihatkan gerimis di luar.
Tak lama, seorang pria yang berdiri di sebelahnya melangkah maju untuk mengambil pesanannya. Saat itu juga, pelayan memanggil nama Liora. Ia maju setengah langkah, tanpa sengaja bertabrakan dengan pria itu.
“Oh, maaf!” seru pria itu, sedikit panik. Namun, lengannya menyenggol cangkir kopi Liora yang baru saja diambil, membuat beberapa tetesnya tumpah ke permukaan meja.
Liora menghela napas pendek. “Nggak apa-apa,” katanya pelan sambil tersenyum tipis, meski lebih terlihat seperti senyuman kelelahan. Ia meletakkan cangkirnya kembali ke meja, memeriksa bagian tutupnya yang sedikit basah.
Pria itu menggaruk belakang kepalanya, merasa bersalah. “Beneran, saya minta maaf. Mungkin saya lagi buru-buru, tapi tetep aja nggak sengaja begini.”
“It’s fine,” jawab Liora singkat. Dia mengangkat bahu, menunjukkan bahwa dia tidak terlalu peduli.
Namun, pria itu memandangnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu di mata Liora—tatapan kosong yang seolah mengatakan, “Aku terlalu capek untuk marah.” Senyum tipisnya seperti topeng, dan energi rendahnya terpancar begitu nyata.