Sejak keran kebebasan pers dibuka, berbagai media di Indonesia muncul bak cendawan di musim penghujan. Kemunculan layanan internet di zaman globalisasi ini yang tumbuh subur seyogyanya pemerintah memberikan seluas-luasnya kesempatan menuju perubahan positif bagi masyarakat karena aspirasinya menjadi lebih mudah tersampaikan.
Di zaman Orde Baru jumlah media relatif sedikit karena sering mengalami pembredelan. Pemerintah melalui Mentri Penerangan melakukan seleksi secara ketat bagi media yang ada. Jika ada media yang berita-beritanya bermuatan provokatif untuk menentang penguasa, maka sudah jelas akan menyandang status pembredelan. Tetapi tidak dengan era reformasi sampai saat ini.
Kebebasan bukan di tawar?
Pada saat ini, kita sudah hidup dalam era kebebasan yang di iringin dengan masuknya layanan internet yang menyediakan jejaring social sebagai wadah berkomunikasi dan menyampaikan informasi atau pendapat secara cepat dan mudah bagi semua kalangan masyarakat. Salah satu hal yang membuktikan datangnya era kebebasan adalah diberikannya kebebasan oleh pemerintah pada masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Menyampaikan pendapat di muka umum telah dikuatkan dalam Undang-Undang secara khusus untuk mengaturnya. Yaitu, UU no 9 tahun 1998. Setiap orang mempunyai hak menyampaikan pendapat. Baik secara lisan maupun tertulis walau kadangkala pendapat kita berbeda dari orang lain. Itu merupakan hal yang biasa. Apalagi, Indonesia sekarang memasuki masa reformasi seringkali ada demokrasi.
Sebagai negara demokrasi pancasila, Indonesia memberikan kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat bagi warga negaranya. Hal ini secara jelas telah ditegaskan dalam UUD 1945 (amandemen) pada pasal 28E ayat (3), yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat”. Jaminan ini sangat penting bagi negara yang berkedaulatan rakyat.
Selain ditegaskan dalam UUD 1945, kemerdekaan mengemukakan pendapat pun tercantum dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak – Hak Asasi Manusia yang secara resmi diberlakukan di seluruh dunia, yang berbunyi :“ Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas.”
Begitupula dengan yang dicantumkan dalam UU Pers tahun 1999 yang memberikan kebebasan kepada wagra negara dalam menyampaikan informasi dan pendapat di muka umum melalui media cetak dan elektronik.
Kemerdekaan berpendapat merupakan salah satu ciri kebebasana yang dijamin oleh negara. Dengan adanya kemerdekaan berpendapat akan mendorong rakyat suatu negara untuk menghargai perbedaan pendapat. Perubahan struktur berpikir masyarakt yang diharapkan adalah pola pikir yg rasional dan berwawasan ke depan.
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban bertanggung jawab untuk: ‘Melindungi hak asasi manusia, Menghargai asas legilasi, Menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan Menyelenggarakan pengamanan. Aparatur pemerintah yaitu aparatur pemerintah yang menyelenggarakan pengamanan. Menyelenggarakan pengamanan yaitu segala daya upaya untuk menciptakan kondisi aman, tertib, dan damai. Termasuk pencegah timbulnya gangguan, baik fisik maupun psikis yang berasal dari manapun. Menjadi pertanyaan, Masihkah warga negara saat ini dalam kebebasan berpendapat?
Kebebasan dalam pertanyaan.
Sudah 18 tahun memasuki reformasi yang di barengi oleh masuknya layanan internet seyogyanya kebebasan bagi warga negara dalam berpendapat menjadi keharusan bagi pemerintah untuk melundungi, namun masih menjadi hal yang krusial.
Pemeritah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) pada maret 2008 silam disahkannya UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat melalui media elektronik (dunia maya) menjadi terbatas dengan adanya beberapa pasal yang ganjil dari 54 pasal didalamnya.
Secara garis besar isi UU ITE terbagi menjadi 2 bagian yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Disini akan sedikit menerangkan tentang berbagai kejahatan dunia maya yang bisa disebut melanggar atau biasa disebut Cybercrime. Didalam dunia internet terdapat beberapa jenis Cybercrime yaitu diantaranya : ‘Unauthorized Access : merupakan kegiatan menyusup jaringan komputer tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik, contohnya seperti Probing dan Port, Illegal Contents : adalah penyebaran informasi data yang tidak sopan dan menyalahi aturan (norma agama dan masyarakat), contohnya pornografi,
Penyebaran Virus Secara Sengaja, contohnya melalui email ataumessage, Data Forgery, merupakan kejahatan dengan memalsukan data penting yang terdapat di internet, contohnya memalsukan data pada dokumen-dokumen penting, Cyber Espionege, merupakan kejahatan internet dengan memata-matai pihak lain dan bersifat merugikan, Sabotage and Extortion merupakan kejahatan dengan merusak data-data pada sistem komputer pihak lain, Cyberstalking, seperti mengganggu atau melecehkan pihak lain, Carding, misalnya pencurian nomor kartu kredit melalui internet, Hacking, misalnya merusak situs instansi tertentu, Cybersqutting dan Typosquatting, yaitu menggunakan domain mirip orang lain untuk kepentingan persaingan bisnis, Cyber Terorism, misalnya mengancam keamanan suaru negara melalui dunia maya.
Selain hal – hal diatas ada juga jenis Cybercrimeyang dikelompokkan kedalam jenis Malware : Malware adalah suatu program yang berbahaya dan tidak diinginkan karena dapat merusak sistem komputer, menghambat akses internet, dan mencuri informasi penting dari komputer. Malwaremerupakan alat yang digunakan dalam Cybercrime. Berikut ada beberapa jenis Malware : ‘Browser Helper Object, Worm, Dialer, Wabbit, Spyware adware, Trojan, Virus Komputer, Keylogger dan Rootkit.
Dalam isian UU ITE tersebut persoalan yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak pribadi milik pengelola situs semisalkan websait yang menyimpan dan meyebarkan gagasan pemikiran untuk kemajuan bangsa dan negara, misalnya penyebaran buku yang dikatakan aliran kiri, video, dan lain-lain di jejaring social, mengenai ini sering kali diblokir oleh pihak pemerintah yang di nilai negative. Yang padahal hal tersebut juga merupakan hak warga negara dalam mengunakan jaringan internet.
Menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), setidaknya ada 40 kasus kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah di dunia maya (internet) pada 2015. Sementara menurut laporan Amnesty International tahun 2015, kata Supriyadi, paling tidak ada 85 orang yang telah dilaporkan ke polisi terkait penyampaian pendapat dan kebebasan berekspresi di internet. Dari awal kemunculan UU ITE sejak tahun 2008 hingga sekarang sudah ada 118 korban. Dari total jumlah tersebut, 90 persennya merupakan korban dari penggunaan UU ITE Pasal 27 ayat 3, tentang pencemaran nama baik," ujar Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet di Bakoel Koffie, Jakarta, Senin, 30 November 2015.
Di Nusa Nenggara Barat sepanang bulan Agustus sampai September 2016 tercatat sudah 3 kasus yang di laporkan kepada pihak kepolisian atas pencemaran nama baik , diantaranya 9 Mahasiwa STMIK Bumi Gora Mataram yang di nilai kampus mencemarkan nama baik kampus dengan mengaplud selebaran di media Facebook yang berisikan ajakan kepada mahasiswa untuk membaca kondisi kampus, kedua terkait dengan 3 warga yang mengkritik pembangunan hotel di Cakra Negara melalui media Facebook di laporkan dan tanpa penyidikan langsung di jebolakan dalam sel, ketiga aparat penegak hukum yakni Satuan Polisi Pamung Praja ikut terseret atas pencemaran nama baik pula. Hal ini tidak berbanding lurus dengan amanah konstitusi yang lebih tinggi kedudukannya serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara universal.
Sejak tahun 2015 sudah di usulkan oleh beberapa lembaga untuk di revisi karena terindikasi mengancam kebebasan warga negara dalam menyampaikan pendapat, yang dimana yang di ajukan dalam revisi tidak banyak hanya pada pasal 27 ayat 3 terkait pencemaran nama baik dan pemidanaan terhadap pelangaran tersebut karena dalam UU KUHP pasal 310 dan 311 sudah di atur terkait pencemaran nama baik dengan denda 400-500 ribu dan sanksi penjara 9 bulan. Dalam pembahsan revisi Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mulai di canangkan untuk di bahas pada bulan maret 2016. Dalam proses pembahasan revisinya digelar secara tertutup oleh pemerintah, hal ini menuai kritikan dan mengundang paradigm masyarakat pada kecurigaan, bagiaman tidak pembahasan produk hukum publik dilakukan secara tertutup.
Berdasarkan Informasi hasil Rrancangan Undang-Undang (RUU) perubahan UU ITE tahun 2008 selama 5 kali pembahasan di gedung DPR, akhirnya menyelesaikan pembahasan RUU Perubahan UU ITE pada Selasa 30 Agustus 2016 lalu. Revisi UU tersebut dengan tetap mempertahankan pasa 27 yang dinilai sebagai pasal karet hanya saja penurunan atas sanksi yang di berikan pelaku dari 6 tahun penjara dengan denda 1 Milliar menjadi 4 tahun penjara dengan denda 700 juta.
Sewalaupun pada bulan September 2016 kemarin, sudah rampung dibahas revisi atas UU ITE yang mengancam kebebasan warga negara dalam berpendapat, “Revisi pasal 27 (3) UU ITE tidak akan mengubah paradigma, UU ITE masih tetap mengancam kebebasan Ekspresi dan Demokrasi ”
Dalam kesepakatan antara pemerintah dan DPR tersebut, Pembahasan RUU Perubahan UU ITE menghasilkan beberapa hal yaitu : PertamaMenurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3) dari 6 tahun menjadi 4 tahun, sehingga tidak ada potensi utk dilakukan penahanan. Menegaskan bahwa pidana pencemaran nama baik adalah delik aduan dan merujuk pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Kedua Menegaskan bahwa pidana pengancaman (Pasal 27 ayat 4) /pemerasan merujuk pada Pasal 368 & 369 KUHP. KetigaMenurunkan ancaman pidana ancaman kekerasan dan menakut-nakuti secara pribadi (Pasal 29) dari 12 tahun menjadi 4 tahun. KeempatMengharmoniskan ketentuan penangkapan-penahanan, penggeledahan-penyitaan dengan KUHAP. Kelima Memasukkan ketentuan cyber bullying (perundungan di dunia siber) sebagai pidana Pasal 29.
Hal demikian tidak berbanding lurus dengan apa yang menjadi amanah ketentuan hukum yang mengikat secara universal dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi serta masih belum singkron dengan ketentuan hukum yang sudah ada.
Pemerintah dalam hal ini DPR sebagai perwakilan rakyat harus memberikan kebebasan kepada masyarakat melalui legalitas formal sebagaimana yang di atur dalam konstitusi yang lebih tinggi kekuatannya, kedua dalam pengamilan keputusan terkait dengan kepentingan public dalam hal ini pembahasan revisi UU ITE bukan malah dilakukan secara atau dengan konsep hukum yang ortodoks tetapi lebih dari itu dan sesuai dengan aturan seharusnya di agendakan/dibahas secara terbuka karena menyangkut kepentingan publik yang akan menerimanya sebagaimana konsep hukum yang responsive progresif,
Hal ini merupakan kemunduran dan mencederai semangat dari para pimpinan DPR untuk membuat DPR yang modern, transparan, dan akuntabel, keempat dalam produk hukum yang dibuat bukan secara sempit tetapi lebih konferhensif agar supaya tidak terjadi paradigma masyarakat yang subyektif sebagaimana dalam UU ITE tidak ada satu pasal yang mengatur atas hak warga negara yang di blokir alamat websaitnya yang dinilai memberikan efek negatif oleh pemerintah sendiri, seperti penyebaran buku yang dinilai aliran kiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI