Mohon tunggu...
Sahel Muzzammil
Sahel Muzzammil Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Laman untuk berbagi pemikiran tanpa bermaksud menggurui

Bercita-cita menjadi pembelajar sampai akhir hayat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pejabat vs Aktivis: Sebuah Refleksi di Alam Demokrasi

8 Oktober 2021   11:26 Diperbarui: 8 Oktober 2021   11:33 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/photos/h4elZPxUXLU?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink

Bergulirnya reformasi 23 tahun silam telah membawa berkah bagi kita warga negara Indonesia yang hari ini menikmati kehidupan lebih demokratis. Meski belum 100% sempurna, berkah ini wajib kita syukuri karena setidaknya transisi berjalan lebih baik ketimbang di sejumlah negara lain. Tanggung jawab kita selanjutnya tentu adalah menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi yang telah dicapai, sehingga segenap bangsa Indonesia dapat memetik dan menikmati hasilnya.

Dalam rangka menjalankan tanggung jawab menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi, penting bagi masing-masing pihak untuk menyadari peranannya dan bertindak proporsional dalam peranan tersebut. Masyarakat sipil perlu bersikap partisipatif, proaktif serta kritis dalam dan untuk kepentingan publik. Sementara pejabat publik harus bersikap terbuka, responsif, dan tulus melayani. Dengan menyadari peranan masing-masing, hiruk pikuk di alam demokrasi mestinya akan menghasilkan kohesi, alih-alih ketegangan atau disharmoni.

Berpegang teguh pada sikap ideal di atas, meski terdengar sederhana, pada kenyataannya bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih bagi sebuah bangsa yang pernah lama hidup dalam suasana otoritarianisme -- seperti Indonesia, watak primitif bisa muncul seketika sebagai reaksi ketidaksiapan menghadapi hiruk pikuk demokrasi. Apa yang terjadi belakangan di Indonesia, dimana sejumlah pejabat memproses hukum lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan para aktivis karena keresahan publik yang disuarakannya, adalah satu contoh kemunculan watak primitif tersebut.

Tentu, proses hukum bukan jalan yang haram ditempuh di alam demokrasi. Tetapi ketika pejabat publik menempuhnya guna menjerat LSM dan aktivis yang lantang menyuarakan keresahan publik, hal ini menjadi ancaman serius terhadap demokrasi.

Di alam demokrasi, menyuarakan keresahan publik tidak semestinya menjadi persoalan hukum, tidak dengan alasan pencemaran nama baik atau dengan alasan apapun. Ketika keresahan tersebut menyangkut figur pejabat, kewajiban sang pejabat adalah menjawabnya baik dengan penjelasan maupun tindakan, yang kesemuanya harus berlandaskan itikad baik. Sekali lagi, pola hubungan ini ialah sesuatu yang normal dalam demokrasi.

Memang, tidak seperti di masa otoritarianisme dimana pejabat publik biasa dipandang dengan tatapan ramah yang palsu, di masa demokrasi pejabat publik harus berbesar hati menerima pandangan jujur penuh curiga. Tidak peduli betapa baiknya seorang pejabat, postulatnya sederhana, yakni power tends to corrupt (kekuasaan berpotensi untuk menyimpang). Karena itu suara keresahan publik yang menyangkut figur seorang pejabat tidak pernah kehilangan arti pentingnya.

Di negara seperti Indonesia, seluruh konstruksi di atas semestinya juga terlihat lebih alami. Bukan sekedar karena Indonesia menganut demokrasi, melainkan karena di Indonesia juga masih lazim terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (abuse of power). Berdasarkan indikator indeks persepsi korupsi saja, dalam skala 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih), tahun lalu Indonesia hanya berhasil meraih angka 37. Angka tersebut lebih rendah dari skor rata-rata global (180 negara) yang menyentuh angka 43 (data dari Transparency International). Dengan begitu, bagaimana mungkin masyarakat dapat memendam keresahan mereka akan potensi penyimpangan pejabat publik?

Pada situasi terpuruk sebagaimana tengah dialami Indonesia, yang terbaik yang dapat dilakukan masyarakat justru adalah segera menyuarakan setiap indikasi atau potensi penyimpangan yang mereka temukan dalam kelangsungan hidup bernegara. Tidak terkecuali jika indikasi atau potensi penyimpangan itu menyangkut figur seorang pejabat. Di bawah bendera kepentingan publik, tidak ada kata "prematur" atau "salah" untuk mengambil sikap semacam ini. Paling buruk, suara keresahan tersebut benar-benar terjadi. Sebaliknya, yang tentu menjadi harapan masyarakat, suara keresahan tersebut dapat menjadi pengingat bagi para penyelenggara negara.

Demikianlah cara demokrasi menghasilkan negara yang bersih. Jadi, alih-alih membungkam, Indonesia justru membutuhkan lebih banyak lagi warga masyarakat yang kritis dan lantang menyuarakan keresahan publik.  Dalam kasus pejabat publik yang memproses hukum lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan para aktivis, maka sudah sepatutnya aparat penegak hukum menghentikan proses tak wajar tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun