Belakangan ini skandal pemecatan sejumlah pegawai KPK menghiasi headline berbagai surat kabar di Indonesia. Presiden Joko Widodo diminta menganulir pemecatan tersebut sebab konon, di antara mereka yang akan terusir dari lembaga anti rasuah itu, adalah orang-orang terbaik yang kiprahnya dalam mengungkap kasus korupsi tidak diragukan lagi. Sebut saja Novel Baswedan misalnya, penyidik senior KPK yang masyhur dengan keberaniannya itu, juga masuk dalam daftar.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat meminta agar pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) -- sebuah tes yang sejak awal bermasalah dan menjadi akar skandal ini -- tidak serta-merta dipecat. Namun belakangan, ketika permintaannya tersebut nampak tak diindahkan, sikap Presiden Joko Widodo di hadapan publik pun berubah. Presiden seolah mengambil sikap "tak mau ikut campur" atas apa yang terjadi di internal KPK. "Jangan apa-apa ke Presiden", ujarnya.
Perubahan sikap Presiden tersebut sontak menjadi buah bibir. Banyak kalangan menilai tidak sepatutnya Presiden Joko Widodo lepas tangan dalam permasalahan ini. Tentu, dengan premis awal pegawai KPK yang tersingkir adalah orang-orang terbaik di institusi tersebut, maka sikap tinggal diamnya Presiden menjadi insentif untuk semakin merajalelanya aksi korupsi di tanah air. Karenanya muncul pertanyaan, apakah memang Presiden tidak terbebani kewajiban untuk menjamin keberhasilan pemberantasan korupsi?
Tulisan ini akan berupaya menjawab pertanyaan krusial di atas, yang semestinya menjadi pertimbangan Presiden dalam menentukan sikap. Rujukan pertama untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu adalah UUD NRI 1945. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UUD NRI 1945, Presiden disebut "memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar."Â
Rumusan ini mengandung pengertian bahwa Presiden berada di puncak eksekutif membawahi organ eksekutif lainnya, termasuk yang bertugas menegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan juga KPK (Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017). Kedudukan tersebut tidak berarti Presiden boleh mengintervensi kerja keseharian mereka, akan tetapi Presiden wajib memastikan bahwa jajaran di bawahnya itu dapat bekerja dengan maksimal.
Terkait agenda pemberantasan korupsi, artinya berdasarkan konstitusi Presiden bertanggungjawab secara tidak langsung untuk menjamin keberhasilannya. Dengan begitu membiarkan masalah yang saat ini tengah menimpa KPK selesai dengan sendirinya, dengan hasil KPK kehilangan pegawai-pegawai berkinerja terbaik, adalah sikap yang sama sekali tidak bijaksana -- untuk tidak menyebutnya sebagai pengabaian terhadap kewajiban konstitusional.
Lebih jauh, Presiden juga perlu mempertimbangkan apa yang disebut dengan "semangat reformasi". Telah menjadi pengetahuan umum bahwa reformasi di Indonesia bergulir karena, salah satunya, maraknya perilaku korupsi di tubuh pemerintahan. Sementara itu kepala eksekutif tidak memimpin pemberantasannya dan bahkan menjadi bagian dari permasalahan.Â
Karenanya memasuki era reformasi kehadiran Presiden yang berkomitmen memimpin perang melawan korupsi menjadi keharusan. Bukan tanpa alasan dalam singkatnya rumusan tentang pemakzulan Presiden di UUD NRI 1945 (yang muncul pasca amandemen) korupsi dan penyuapan menjadi sebab yang disebutkan secara eksplisit. Hal tersebut mewakili pandangan bahwa korupsi -- dan suap -- merupakan salah satu musuh terbesar yang harus dilawan Presiden.
Manakala pemecatan pegawai-pegawai terbaik KPK hari ini dipandang dalam semangat reformasi, Presiden semestinya dapat menyatakan sikapnya sebagaimana ia menolak wacana 3 periode masa jabatan Presiden, yakni bahwa dirinya adalah produk reformasi, dan bahwa pihak tertentu hendak menjerumuskan atau menampar wajahnya.Â
Kedua kasus ini serupa dalam kaitannya dengan kesetiaan terhadap agenda reformasi, kecuali tentu, perubahan UUD sepenuhnya merupakan domain MPR, sementara menjamin keberhasilan pemberantasan korupsi sepenuhnya domain Presiden, yang berarti bahwa reaksi tegas Presiden bahkan lebih relevan dalam skandal pemecatan ini.
Akhirnya, skandal pemecatan sejumlah pegawai KPK bukanlah sekedar tentang sejumlah orang yang kehilangan pekerjaannya. Lebih dari itu hal ini berhubungan dengan keberlanjutan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari sudut pandang tersebut maka campur tangan Presiden menjadi penting. Presiden Joko Widodo memiliki lebih dari cukup alasan untuk melakukannya, bahkan tanpa rekomendasi dari Komnas HAM dan Ombudsman RI -- dua lembaga yang telah menyatakan TWK KPK bermasalah. Juga, Presiden Joko Widodo memiliki waktu setidaknya hingga tanggal 1 Oktober 2021, sebelum para jagoan pemberantas korupsi itu resmi terusir dari KPK.