Mohon tunggu...
Sahel Muzzammil
Sahel Muzzammil Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Laman untuk berbagi pemikiran tanpa bermaksud menggurui

Bercita-cita menjadi pembelajar sampai akhir hayat

Selanjutnya

Tutup

Money

Harapan Untuk Sang Merah Putih. Indonesia Merdeka!

17 Agustus 2015   00:00 Diperbarui: 18 Januari 2020   01:25 1593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamu'alaikum Wr, Wb.
Selamat pagi/siang/sore/malam.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Om Swastiastu.

Pertama, saya ingin mengucapkan selamat untuk Indonesia yang hari ini telah genap berusia 70 tahun.

Kedua, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya kepada para pahlawan yang telah memperjuangkan lahir dan berdirinya negara ini. Semoga yang kalian perjuangkan di bumi ini menjadikan kalian ditempatkan di sisi terbaik Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin.

Ketiga, saya ucapkan rasa terima kasih kepada kalian, orang-orang baik yang telah ikut serta mempertahankan berdirinya negara ini serta mengharumkan namanya.

Dengan tiga hal di atas yang saya utamakan, maka akan saya mulai pokok tulisan ini.

Di hari ulang tahun, biasanya ada lantunan harapan baik untuk masa depan. Itulah pokok tulisan (pertama) saya di Kompasiana ini. Harapan baik untuk Indonesia. Harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Indonesia yang lebih baik karena mau mengambil pelajaran dari tanahnya sendiri.

Jika saya tidak keliru dalam mempelajari sejarah, jauh sebelum berdirinya negara Indonesia, bangsa-bangsa yang sekarang kita sebut sebagai bangsa Indonesia sudah ada. Setiap bangsa memiliki karakteristik kebudayaan tersendiri. Walau bangsa-bangsa itu terpisah dalam petak-petak kerajaan, ada pendapat ilmiah bahwa pada masa kerajaan Majapahit, Nusantara pernah bersatu. Nusantara pernah berada dalam satu kejayaan, dan kekuatan bangsa-bangsa di Nusantara tidak diragukan ketika dalam persatuan.

Sayangnya, sepertinya ada satu penyakit yang sering diderita bangsa-bangsa Nusantara ini, penyakit tanpa nama yang menjadi kelemahan bersama. Yang terjadi saat bangsa-bangsa ini sakit adalah orang-perorangan mementingkan dirinya sendiri, kelompok-kelompok mementingkan kelompoknya sendiri, kerajaan-kerajaan mementingkan kerajaannya sendiri, dan bangsa-bangsa mementingkan bangsanya sendiri.

Sadar atau tidak, penyakit itulah yang menjadi latar belakang terjadinya penderitaan bangsa-bangsa ini. Sadar atau tidak, penjajah menyadari lebih awal adanya penyakit yang sama dalam tubuh bangsa-bangsa ini. Apa buktinya? Politik Devide Et Impera menjadi senjata ampuh para penjajah. Belanda mengandalkannya untuk berkuasa selama tiga setengah abad di tanah ini. Dan bangsa-bangsa yang sedang sakit pun terlambat menyadari penyakitnya. Sebuah keterlambatan yang harus dibayar mahal. Walau demikian, setidaknya ketika bangsa-bangsa ini menyadari penyakit yang dideritanya, mereka mulai mencoba mengobati.

Pengobatan dalam proses yang panjang akhirnya membawa bangsa-bangsa nusantara ini ke dalam keadaan yang lebih baik. Mereka pada akhirnya mengerti bahwa kekuatan mereka ada ketika mereka bersama dan bekerjasama. 17 Agustus 1945 adalah momen yang membuktikan upaya penyembuhan yang mereka lakukan.

[Dan mulai paragraf berikutnya, bangsa-bangsa Nusantara yang sering saya sebutkan di atas kita ubah sebutannya menjadi "bangsa Indonesia".]

Waktu demi waktu berlalu. Bangsa Indonesia mungkin sudah mulai melupakan rasa sakit yang ditimbulkan dari penyakit yang pernah dideritanya. Sampai-sampai tidak ada yang menyangka, penyakit itu datang lagi pada bangsa ini.

Pepatah mengatakan, ikan busuk dimulai dari kepalanya.. Mungkin itulah yang juga terjadi pada Bangsa Indonesia kala itu. Pemimpin negara, (di samping jasa-jasa yang diberikan pada bangsa dan negeri ini) pada akhirnya juga sering mementingkan diri dan kelompoknya sendiri.. Pristiwa G30S/PKI sering dianggap sebagai suatu akibat dari sikap salah satu pemimpin yang hanya mementingkan apa yang diyakininya, atau sebagai suatu upaya pemimpin berikutnya untuk memperoleh kekuasaan dari pemimpin sebelumnya, sehingga bisa memperoleh keuntungan daripada kekuasaan itu sendiri. Tentu saja banyak pendapat lain tentang peristiwa itu. Namun, poin penting yang ingin saya sampaikan dari dua penyebab itu adalah bagaimana akibat dari adanya sikap mementingkan diri sendiri. Hal lain, tentu kita masih ingat bahwa selama kurang-lebih 30 tahun kita berada di bawah kepemimpinan suatu rezim. Tidak perlu disebutkan bukti-bukti bahwa hal itu terjadi karena ada sikap mementingkan diri sendiri. Semuanya cukup jelas... .

Kali ini tidak perlu waktu yang lama untuk menyadari negeri ini sedang sakit (setidaknya tidak selama waktu yang dibutuhkan untuk menyadari penyakitnya saat masih terjajah). Pengobatan kembali dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk negerinya ini. Dan hasil yang (mungkin) baik pun akhirnya terlihat, hasil yang (mungkin) baik itu kita sebut saja sebagai Reformasi 98.

Sejak reformasi 98, berjalanlah suatu era yang masih berlangsung sampai saat ini. Begitu banyak hak-hak yang lahir dari banyak tuntutan. Kebebasan sangat diagung-agungkan. Pemimpin tak bisa lagi bertingkah seperti di masa lalu, karena saat ini rakyat yang paling berkuasa.

Kembali mengutip pepatah yang telah saya sebut sebelumnya, bahwa ikan busuk dimulai dari kepalanya. Maka saya memiliki keraguan hari ini (semoga dalam hal ini saya salah) jangan-jangan reformasi 98 tidak berhasil mengobati 'kepala' yang busuk itu, dan tanpa kita sadari, kebusukannya telah menjalar sampai ke 'ekor'. Atau dengan kata lain, bangsa dan negeri ini masih sakit.

Apa buktinya?

Tentu kita berpikir mudah sekali membacakan hal-hal yang membuktikan bangsa dan negeri ini masih sakit, atau bertambah kronis penyakit yang sedang dideritanya. Tapi tentu pembaca tidak berkeberatan jika saya dalam tulisan ini kembali mengemukakan hal-hal yang membuktikan itu.

Jika pada masa yang lalu korupsi hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi negara, maka hari ini pejabat-pejabat ditingkat yang lebih rendah juga bisa melakukan tindakan hina itu. Otonomi daerah yang menjadi bagian dari tuntutan reformasi ternyata tidak hanya mendesentralisasikan roda pemerintahan, melainkan juga mendesentralisasikan peluang korup.

Jika pada masa yang lalu hukum diperalat pemegang kekuasaan negara, maka hari ini bukan hanya pemegang kekuasaan negara yang memperalatnya, melainkan juga oleh orang-orang yang punya uang. Mengapa bisa demikian? Silahkan ditanyakan pada para penegak hukum di negeri ini. Karena, kunci untuk membuka peluang memperalat hukum ada pada mereka. Jika mereka hanya memikirkan perut, tentu bukan keadilan yang mereka hasilkan. Karena keadilan berasal dari hati, bukan dari perut.

Jika pada masa yang lalu tulisan pada dua paragraf di atas terjadi sebagai akibat dari penyelewengan para pejabat dan pemegang kekuasaan negara, maka hari ini tampaknya peran rakyat atas terciptanya kondisi demikan harus juga diperhatikan. Mengapa demikian? Tanyakan pada rakyat, apakah ketika mereka memberikan suara dalam pemilu untuk terpilihnya seorang calon pejabat, mereka menimbang berdasarkan kualitas calon pejabat itu sendiri? Atau mereka memilih karena uang suap yang diberikan oleh si calon pejabat? (saya sebagai bagian dari rakyat menjawab jujur, bahwa saya baru memasuki usia persyaratan ikut memilih tahun ini. Namun, jika saya suatu saat akan memilih seorang calon pejabat, saya pastikan suara yang saya berikan bukan keluar karena uang suap) pembaca diperkenankan untuk menjawab itu dalam hati.

Dalam bahasa demokrasi, dikatakan bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Saya sepenuhnya sependapat dengan pandangan itu.

Sakitnya negeri ini adalah sebuah siklus dari manusia-manusia "pementing diri sendiri" yang hidup di dalamnya.

Dalam memperjelas apa yang dimaksud siklus itu, izinkan saya mengemukakan imajinasi saya untuk menggambarkannya.

Ketika rakyat sebagai individu mementingkan dirinya masing-masing, mereka akan memilih calon pejabat yang menguntungkan bagi mereka (bahkan demi keuntungan jangka pendek, seperti menerima uang suap). Jika calon pejabat itu terpilih, maka ia akan berupaya mengembalikan modalnya dan memperoleh keuntungan. Tentu saja ketika tujuan itu muncul, segala hal yang terjadi akan merugikan rakyat. Sebab, jabatan negara pada dasarnya bukanlah profesi untuk memperkaya, melainkan profesi untuk mengabdikan diri pada nusa dan bangsa. Siapa yang akhirnya kembali menderita jika keadaan itu yang terjadi?
.
.
.
.

Masalah yang dialami negeri ini memang tidak hanya bertumpu pada hal-hal yang saya tuliskan di atas, selalu ada masalah yang bersumber dari alam dan kegilaan manusia yang tak mampu dinalar akal sehat. Saya sangat menyadari itu. Namun, menurut saya, sebagian besar masalah yang kita alami utamanya bersumber dari hal-hal-hal yang saya jabarkan di atas.

Hancurnya perekonomian, pengangguran, kemiskinan, rendahnya kualitas kesehatan, minimnya kualitas pendidikan, kriminalitas, bentrok antarumat beragama, dll. Merupakan masalah dipermukaan yang memiliki variabel kausal dengan segala akibat dari adanya sikap mementingkan diri sendiri yang dimiliki oleh manusia Indonesia.

Jika budaya mementingkan diri sendiri ini masih terus dipertahankan, maka masalah fundamental yang dialami rakyat tidak akan pernah selesai bahkan sampai pada zaman anak cucu kita nanti. Bangsa kita akan terus sakit.

Saya sebagai setitik bagian dari negeri dan bangsa ini selalu memimpikan Indonesia suatu saat akan menjadi negeri yang berbahagia di kemudian hari. Tidak ada lagi manusia di tanah ini yang tidur dalam keadaan lapar karena seharian atau lebih belum mendapatkan makan. Tidak ada lagi orang tua yang berpisah dengan anaknya selama bertahun-tahun karena harus mencari nafkah di negeri orang. Tidak ada lagi anak-anak yang terlantar dijalanan tanpa pendidikan, yang menyanyi, membawa sampah, lusuh, dan kotor, sambil tertawa dengan sesamanya bukan karena mereka sudah cukup bahagia, melainkan karena mereka tidak pernah tahu bahwa mereka pantas memperoleh yang lebih layak dalam kehidupannya. Tidak ada lagi orang-orang berusia lanjut sebatang kara yang bahkan untuk bergerakpun sudah sulit, harus duduk di kursi pengadilan karena berupaya mempertahankan hidupnya. Tidak ada lagi di setiap jengkal negeri ini orang takut untuk beribadah sesuai keyakinannya karena sikap toleransi yang mulai terkikis.

Saya yakin di negeri ini masih banyak orang-orang yang baik. Hanya saja saat ini menjadi baik saja tidak cukup, kita juga harus peduli. Sadarlah bahwa pada kondisi kita saat ini, bersikap tidak acuh dan hanya mementingkan diri sendiri adalah sebuah kejahatan. Kejahatan yang tak terlihat, kejahatan yang terbebas dari hukum.

Marilah kita bersama-sama memajukan negeri ini dengan ciri "kegotong-royongan" bangsa kita yang telah dikenal dunia. Jika pepatah mengatakan kebaikan tidak akan pernah menang melawan kejahatan yang terorganisir, mengapa kita tidak mau mencoba mengorganisirkan kebaikan?

"tempat tergelap di neraka disiapkan untuk mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral terjadi" -Dante Alighieri, penyair Italia di abad pertengahan.

Sekian tulisan yang berisi harapan ini saya sampaikan.
Semoga bisa membuka mata dan hati kita semua mengenai apa yang harus kita mulai untuk perbaikan bangsa dan negeri ini. Sekali lagi, Happy Independence Day for our country, Indonesia. :)

Wassalamu'alaikum Wr,Wb.
Selamat pagi/siang/sore/malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun