Mohon tunggu...
Sahel Muzzammil
Sahel Muzzammil Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Laman untuk berbagi pemikiran tanpa bermaksud menggurui

Bercita-cita menjadi pembelajar sampai akhir hayat

Selanjutnya

Tutup

Money

Harapan Untuk Sang Merah Putih. Indonesia Merdeka!

17 Agustus 2015   00:00 Diperbarui: 18 Januari 2020   01:25 1593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu demi waktu berlalu. Bangsa Indonesia mungkin sudah mulai melupakan rasa sakit yang ditimbulkan dari penyakit yang pernah dideritanya. Sampai-sampai tidak ada yang menyangka, penyakit itu datang lagi pada bangsa ini.

Pepatah mengatakan, ikan busuk dimulai dari kepalanya.. Mungkin itulah yang juga terjadi pada Bangsa Indonesia kala itu. Pemimpin negara, (di samping jasa-jasa yang diberikan pada bangsa dan negeri ini) pada akhirnya juga sering mementingkan diri dan kelompoknya sendiri.. Pristiwa G30S/PKI sering dianggap sebagai suatu akibat dari sikap salah satu pemimpin yang hanya mementingkan apa yang diyakininya, atau sebagai suatu upaya pemimpin berikutnya untuk memperoleh kekuasaan dari pemimpin sebelumnya, sehingga bisa memperoleh keuntungan daripada kekuasaan itu sendiri. Tentu saja banyak pendapat lain tentang peristiwa itu. Namun, poin penting yang ingin saya sampaikan dari dua penyebab itu adalah bagaimana akibat dari adanya sikap mementingkan diri sendiri. Hal lain, tentu kita masih ingat bahwa selama kurang-lebih 30 tahun kita berada di bawah kepemimpinan suatu rezim. Tidak perlu disebutkan bukti-bukti bahwa hal itu terjadi karena ada sikap mementingkan diri sendiri. Semuanya cukup jelas... .

Kali ini tidak perlu waktu yang lama untuk menyadari negeri ini sedang sakit (setidaknya tidak selama waktu yang dibutuhkan untuk menyadari penyakitnya saat masih terjajah). Pengobatan kembali dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk negerinya ini. Dan hasil yang (mungkin) baik pun akhirnya terlihat, hasil yang (mungkin) baik itu kita sebut saja sebagai Reformasi 98.

Sejak reformasi 98, berjalanlah suatu era yang masih berlangsung sampai saat ini. Begitu banyak hak-hak yang lahir dari banyak tuntutan. Kebebasan sangat diagung-agungkan. Pemimpin tak bisa lagi bertingkah seperti di masa lalu, karena saat ini rakyat yang paling berkuasa.

Kembali mengutip pepatah yang telah saya sebut sebelumnya, bahwa ikan busuk dimulai dari kepalanya. Maka saya memiliki keraguan hari ini (semoga dalam hal ini saya salah) jangan-jangan reformasi 98 tidak berhasil mengobati 'kepala' yang busuk itu, dan tanpa kita sadari, kebusukannya telah menjalar sampai ke 'ekor'. Atau dengan kata lain, bangsa dan negeri ini masih sakit.

Apa buktinya?

Tentu kita berpikir mudah sekali membacakan hal-hal yang membuktikan bangsa dan negeri ini masih sakit, atau bertambah kronis penyakit yang sedang dideritanya. Tapi tentu pembaca tidak berkeberatan jika saya dalam tulisan ini kembali mengemukakan hal-hal yang membuktikan itu.

Jika pada masa yang lalu korupsi hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi negara, maka hari ini pejabat-pejabat ditingkat yang lebih rendah juga bisa melakukan tindakan hina itu. Otonomi daerah yang menjadi bagian dari tuntutan reformasi ternyata tidak hanya mendesentralisasikan roda pemerintahan, melainkan juga mendesentralisasikan peluang korup.

Jika pada masa yang lalu hukum diperalat pemegang kekuasaan negara, maka hari ini bukan hanya pemegang kekuasaan negara yang memperalatnya, melainkan juga oleh orang-orang yang punya uang. Mengapa bisa demikian? Silahkan ditanyakan pada para penegak hukum di negeri ini. Karena, kunci untuk membuka peluang memperalat hukum ada pada mereka. Jika mereka hanya memikirkan perut, tentu bukan keadilan yang mereka hasilkan. Karena keadilan berasal dari hati, bukan dari perut.

Jika pada masa yang lalu tulisan pada dua paragraf di atas terjadi sebagai akibat dari penyelewengan para pejabat dan pemegang kekuasaan negara, maka hari ini tampaknya peran rakyat atas terciptanya kondisi demikan harus juga diperhatikan. Mengapa demikian? Tanyakan pada rakyat, apakah ketika mereka memberikan suara dalam pemilu untuk terpilihnya seorang calon pejabat, mereka menimbang berdasarkan kualitas calon pejabat itu sendiri? Atau mereka memilih karena uang suap yang diberikan oleh si calon pejabat? (saya sebagai bagian dari rakyat menjawab jujur, bahwa saya baru memasuki usia persyaratan ikut memilih tahun ini. Namun, jika saya suatu saat akan memilih seorang calon pejabat, saya pastikan suara yang saya berikan bukan keluar karena uang suap) pembaca diperkenankan untuk menjawab itu dalam hati.

Dalam bahasa demokrasi, dikatakan bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Saya sepenuhnya sependapat dengan pandangan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun