Mohon tunggu...
Sahari Enwe
Sahari Enwe Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak 2020. Telah menerbitkan 4 buku tunggal dan 22 buku antologi bersama.

Sahari Enwe adalah nama pena dari Sahari Nor Wakhid, guru di SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Dunia literasi ditekuninya dengan membina teater, menulis, dan videografi. Puluhan naskah drama dan pementasan sudah dilakukannya. Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak 2020. Buku yang ditulisnya adalah kumpulan puisi 'Pesan Seorang Wanita' (2021), kumpulan cerpen 'Tanpa Nama Sekolah' (2021), kumpulan puisi 'Lidah Api' (2023), kumpulan cerpen 'Aku Saja yang Gila' (2023), dan 22 buku antologi bersama. Beberapa karya tulisnya pernah dimuat di media cetak, online, atau memenangkan perlombaan. Video praktik terbaiknya mendapat nominasi finalis pada kategori Kepala SMP Inspiratif dalam rangka Hari Guru Nasional tahun 2021 oleh Kemendikbudristek. Inovasi di bidang literasi juga mengantarkannya sebagai juara 2 pada ajang Teacher Literacy Award nasional tahun 2021 oleh Nyalanesia. Kiprah dalam literasi juga menjadikannya sebagai Sosialisator Program Literasi (SPL) Nasional dan Pengajar Praktik Tahun 2022, Narasumber berbagi praktik baik (NSBPB) tahun 2023, Fasilitator program pendidikan guru penggerak tahun 2023, Praktisi Mengajar tahun 2023. Selain itu, juga berperan sebagai ketua komunitas belajar ETAM tahun 2023. Ia berharap semua karyanya dapat bermanfaat sehingga bisa terus konsisten berbuat dan berkarya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pentingnya Pendidikan Toleransi di Sekolah

26 Desember 2023   12:20 Diperbarui: 26 Desember 2023   12:40 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENTINGNYA PENDIDIKAN TOLERANSI DI SEKOLAH
Sahari Nor Wakhid

Toleransi merupakan hal yang masih diperjuangkan di Indonesia. Bagaimana tidak, banyak kasus intoleransi yang masih kita jumpai saat ini. Kasus intoleransi di dunia pendidikan terjadi di beberapa wilayah Indonesia sejak 2014. Ada beberapa sekolah negeri yang melarang penggunaan jilbab. Ada pula yang mewajibkan seluruh siswi memakai jilbab. Padahal sejatinya, sekolah harus dapat menaungi semua kalangan dari berbagai suku dan agama. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa."
Menurut KBBI, toleransi berasal dari kata "toleran" yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menjelaskan bahwa toleransi meliputi sikap saling menghormati secara tulus, penerimaan dan akomodasi, menghormati perbedaan pribadi dan budaya, resolusi konflik yang damai, dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya, menghormati kelompok minoritas dan orang asing, memiliki selera humor, sopan, ramah, dan keterbukaan pikiran.

Cakupan toleransi yang dikemukakan oleh UNESCO dapat dikatakan sangat lengkap untuk menggambarkan arti toleransi secara sederhana. Cakupan sikap tersebut menjadi cerminan dari sikap toleransi di tengah masyarakat yang beraneka ragam budaya, bahasa, adat istiadat, agama, dan kepercayaan.
Pendidikan toleransi sejatinya dipraktikkan dalam proses pembelajaran dan menjadi budaya dari dunia pendidikan. Sekolah dan lembaga pendidikan lainnya seharusnya menjadi tempat yang aman dalam menghadirkan serta mendukung nilai dan sikap toleransi. Setiap insan pendidikan, baik guru maupun siswa, harus memiliki prinsip menghargai perbedaan, mengapresiasi keragaman, dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan.

Para guru dapat memasukkan unsur pendidikan toleransi pada mata pelajaran apa pun, tidak hanya pelajaran pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan agama saja. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 tentang Penilaian, yang mengamanatkan bahwa setiap mata pelajaran memberikan nilai sikap spiritual dan sosial yang di dalamnya memuat nilai toleransi. 

Selain itu, pendidikan toleransi tidak hanya dikemas sebagai teori saja tetapi juga dipraktikkan sehingga para siswa dapat melihat dan merasakan secara langsung bentuk dari toleransi itu sendiri.

Selain para guru, sekolah juga dapat memberikan pendidikan toleransi melalui penguatan pendidikan karakter (PPK). Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pasal 3 yang berbunyi, "PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meiiputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab."
Penguatan pendidikan karakter di sekolah inilah yang kiranya dapat menjembatani pendidikan toleransi. 

Dengan menguatkan karakter siswa akan toleransi, secara tidak langung akan membentuk pola pikir siswa akan arti toleransi yang sebenarnya. Oleh karena itu, wadah yang tepat untuk membentuk pola pikir siswa adalah dengan pendidikan. Karena sejatinya, pendidikan merupakan sarana yang mampu mengubah pola pikir anak bangsa dan turut menciptakan agen-agen pencipta perubahan (agent of change). Pendidikan yang ideal menjunjung tinggi sikap toleransi akan keberagaman, kesetaraan, kreativitas, dan daya inovatif. Pendidikan toleransi dinilai sebagai cara yang efektif dalam menumbuhkembangkan kesadaran untuk menghargai keberagaman.

Pendidikan toleransi di sekolah perlu diprogramkan secara khusus agar pembiasaannya dapat diawasi dan dievaluasi. Program yang dibuat di sekolah perlu disepakati bersama dengan para guru. Program ini mengacu pada nilai toleransi apa saja yang nantinya akan diterapkan. Misalnya, tidak membuat gaduh suasana sekolah, menghargai perbedaan pendapat teman, mematuhi tata tertib sekolah, menghargai teman yang sedang beribadah, tidak membedakan suku, agama, ras, dalam menjalin pertemanan, dan masih banyak lagi aspek yang dapat diterapkan.

Setelah program tersebut disepakati bersama, selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Dalam pelaksanaan, perlu strategi tertentu agar tidak sekadar berbentuk pengamatan. Pelaksanaan inilah yang menjadi poin terpenting pembiasaan atau penguatan karakter toleransi. Siswa memerlukan pengalaman belajar agar dapat diingat sepanjang hidupnya. Bukan sekadar teori saja. Jadi, aspek nilai toleransi yang akan dilaksanakan harus hadir dalam proses pembelajaran dan dapat dipraktikkan.

Misalnya, guru ingin menerapkan aspek 'tidak membedakan suku, agama, ras, dalam menjalin pertemanan'. Dalam proses pembelajaran, guru dapat membagi kelompok belajar secara acak dengan menyiapkan kertas bernomor satu sampai empat. Selanjutnya, kertas bernomor digulung atau dilipat. Guru menggenggam kertas tersebut dan meminta setiap siswa mengambil nomor secara bergantian. Siswa membuka dan menyebutkan nomor yang didapat. Hal terakhir, guru meminta siswa mengelompok sesuai dengan nomor yang didapat tadi. Terciptalah empat kelompok yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa guru sudah menerapkan nilai toleransi dalam pembelajaran.

Tidak hanya itu, misalnya, guru ingin menerapkan aspek 'menghargai perbedaan pendapat teman'. Dalam proses pembelajaran, guru dapat berperan sebagai fasilitator dengan menjadi moderator saat diskusi atau presentasi, baik kelompok maupun individu. Ketika terjadi perbedaan pendapat, guru dapat menengahi sekaligus meluruskan permasalahan yang terjadi.  

Di tengah pandemi covid-19 ini, proses pembelajaran secara langsung pun terkendala. Tentunya daya inovasi dan kreasi para guru sangat diharapkan dalam pembelajaran jarak jauh. Peralihan pembelajaran dari dunia nyata ke dunia maya tidak dapat dimungkiri. Terkait dengan nilai toleransi, bentuk tolerasi yang dapat dipantau oleh guru adalah rasa empati siswa terhadap siswa yang terpapar covid-19. Guru dapat memantau siswa yang memiliki empati dengan mengecek whatsapp grup. Siapa saja siswa yang memberikan perhatian, semangat, dukungan, bahkan doa terhadap temannya yang sakit. Sikap empati dari para siswa inilah yang dapat membuka batas perbedaan jenis kelamin, suku, bahkan agama. Sikap empati juga bertalian erat dengan nilai toleransi.    

 Berdasarkan beberapa contoh pelaksanaan pendidikan toleransi di atas, guru dapat menyiapkan instrumen dalam pengawasan atau pembiasaan sikap toleransi. Setelah tersedia instrumen, guru hanya tinggal memberikan pengalaman belajar pada siswa saat proses pembelajaran. Tentu akan didapatkan siswa yang masih kurang memiliki sikap toleransi. Oleh karena itu, masih diperlukan pengulangan nilai atau aspek yang sama pada pertemuan selanjutnya. Dengan mengulangi proses yang sama, siswa yang masih kurang dapat ditingkatkan dan yang sudah semakin terbiasa.

Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah mengevaluasinya. Dari program yang sudah dibuat, sudah sejauh mana aspek-aspek toleransi yang sudah dibiasakan, persentase pencapaian siswa, dan aspek yang belum dibiasakan. Aspek yang belum dibiasakan menjadi bahan tindak lanjut apakah akan tetap diterapkan atau mengantinya dengan aspek yang lain. Selain itu, evaluasi juga dapat dijadikan masukan kepada guru pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama yang akan memberikan penilaiaan sikap spiritual dan sosial pada rapor siswa. Dengan demikian, penilaian sikap yang didapat siswa akan mengikuti pembiasan atau penguatan karakter dalam proses pembelajaran sehari-hari.

Tentunya masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh sekolah dalam memberikan pendidikan toleransi. Tantangan tersebut harus dihadapi secara bijak dan cerdas sehingga fungsi sekolah sebagai tempat pelayanan pendidikan dapat tercapai. Sekolah atau para guru berperan sangat penting dalam memberikan pengalaman belajar kepada siswanya. Pengalaman belajar yang diterapkan oleh sekolah akan secara langsung membentuk pola pikir siswa tentang toleransi. Pola pikir inilah yang menjadi dasar terbentuknya karakter. Dengan pembiasaan karakter toleransi di sekolah, nilai toleransi akan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan toleransi menjadi jembatan menuju kehidupan yang penuh kedamaian. Kehidupan yang damai memiliki jalan yang panjang. Jalan itu dimulai dari lingkungan sekolah. Dari sekolah, siswa akan membawanya ke lingkungan keluarga. Bersama dengan keluarga, pendidikan toleransi akan berkembang di masyarakat. Dengan masyarakat yang damai, pendidikan toleransi menuju kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun