LITERASI DASAR MENUJU MERDEKA BELAJAR
Sahari Nor Wakhid
Pemerintah melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 mengenai penumbuhan budi pekerti sudah mengamanatkan sekolah untuk dapat melakukan gerakan literasi, khususnya literasi dasar membaca dan menulis. Hal ini sebagai salah satu bentuk kesadaran pemerintah akan pentingnya membangun budaya literasi dalam dunia pendidikan supaya tercipta budaya membaca dan menulis di lingkungan sekolah.
Membaca dan menulis merupakan fondasi awal dari proses pembelajaran literasi. Fondasi itu yang akan mengantarkan pada kompetensi literasi yang utuh. Kemampuan literasi akan sangat memengaruhi penalaran. Penting kiranya hal ini dipahami oleh pemangku kebijakan, terutama berkait dengan pendidikan. Sehingga, pendidikan yang di selenggarakan di sekolah-sekolah akan bisa memberi ruang lebih untuk pengembangan literasi.
Selanjutnya, kebijakan "Merdeka Belajar" yang dirancang oleh pemerintah untuk membuat lompatan besar dalam aspek kualitas pendidikan telah diluncurkan. Kebijakan itu memang harus dilakukan agar mampu menciptakan sumber daya manusia unggul untuk menghadapi tantangan masa depan yang penuh ketidakpastian. Kebijakan "Merdeka Belajar" bukan sekadar harapan, melainkan harus menjadi gerakan semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan transformasi pendidikan.
Kebijakan tersebut sangat berpihak pada guru yang akan menghadirkan pembelajaran secara merdeka di ruang kelasnya. Sementara, murid akan merasakan dampaknya menerima dan mengembangkan potensinya secara merdeka juga. Harapan itu akan akan lebih mudah diwujudkan jika dikuatkan kompetensi literasi dasarnya. Dengan memberi ruang lebih pada pengembangan literasi dasar di sekolah, esensi merdeka belajar akan lebih cepat diwujudkan.
Problematika Literasi Dasar
Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan bahwa peringkat nilai Indonesia berada dalam urutan bawah. Nilai kompetensi membacanya berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Selanjutnya, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan data persentase minat baca anak Indonesia berada di angka 0,01 persen. Hal ini berarti, dari 10.000 anak Indonesia, hanya satu anak yang senang membaca. Tentunya hal ini sangat memprihatinkan.
Untuk ketersediaan buku atau tulisan, Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, menyampaikan bahwa UNESCO menentukan standar bahwa setiap orang idealnya minimal membaca 3 buku baru setiap tahun. Dengan perkiraan jumlah penduduk Indonesia 270 juta, berarti dibutuhkan 810 juta buku beredar di masyarakat setiap tahun. Namun, total jumlah bahan bacaan nyatanya hanya mencapai 22, 3 juta eksemplar dengan rasio nasional 0,0098 atau tidak mencapai 1 persen.
Dengan kata lain, rendahnya budaya baca ini dikarenakan tidak disiapkannya buku yang beredar di masyarakat. Rendahnya budaya baca inilah yang menjadikan masyarakat tidak punya kebiasaan membaca buku sejak kecil. Pada akhirnya, akan berpengaruh pada kompetensi lainnya, yaitu kurangnya memiliki keterampilan bernalar kritis. Hal ini menjadi tugas banyak pihak, mulai dari penyelenggara negara, penulis, hingga penerbit.
Hal lainnya yang terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah adalah jumlah guru yang masih memiliki kemauan tetap melakukan literasi dasar relatif sedikit. Guru yang diharapkan memberikan teladan, telah kehilangan semangat membaca dan menulis lagi. Jika guru di sekolah sudah seperti demikian, sungguh sangat disayangkan. Karena, murid akan belajar dari gurunya. Ketika guru telah kehilangan kemauannya untuk memberikan contoh literasi dasar, dari siapa lagi murid akan mengambil contoh?
Merdeka Belajar: Harapan dan Kesiapan
Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, memaparkan bahwa "Merdeka Belajar" dihadirkan pemerintah agar seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan hak akan pendidikan berkualitas. Program ini bersumber dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang berfokus pada asas kemerdekaan dalam menerapkan materi esensial dan fleksibel sesuai dengan minat, kebutuhan, serta karakteristik murid. Melalui "Merdeka Belajar", peran pendidik juga diperkuat untuk merancang metode pembelajaran berbasis proyek untuk memacu kreativitas murid.
Hal ini dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif, berkelanjutan, dan menyeluruh. Terobosan ini akan menciptakan perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, peran guru diakui penting untuk perbaikan pendidikan. Para guru harus bisa berkolaborasi dan bersinergi dengan semangat gotong royong untuk bertukar gagasan dan praktik baik demi menghadirkan pembelajaran bermakna dan relevan bagi murid.
Konsep atau karakteristik utama dari Kurikulum "Merdeka Belajar", yaitu pembelajaran berbasis proyek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Berikutnya, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Terakhir, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan murid dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Ironisnya, muncul tantangan yang dihadapi oleh guru yang belum siap menerapkan kebijakan ini. Pertama, guru tidak memiliki pengalaman dengan kemerdekaan belajar. Kedua, keterbatasan referensi. Ketiga, akses yang dimiliki dalam pembelajaran. Keempat, manajemen waktu lebih untuk belajar lagi supaya dapat adaptif dengan tuntutan perubahan yang diharapkan. Kelima, kompetensi (skill) yang memadai.
Kemerdekaan Sejati Melalui Literasi
Dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang merdeka, literasi dasar bisa menjadi salah satu jalannya. Penguatan literasi dasar ini sudah pernah ditunjukkan dari biografi para tokoh besar negara yang mengawali kemerdekaan Indonesia. Literasi dasar menjadi benang merah dalam menemukan konsep dan pemikiran untuk mencapai cita-cita bangsa. Ir. Soekarno misalnya, sudah menulis beberapa buku dan menguasai lebih dari lima bahasa. Moh. Hatta, yang memilih diasingkan ke mana saja asal jangan dipisahkan dengan buku-bukunya. Kedua Bapak Proklamator Indonesia itu sudah memberikan contoh ini sejak awal. Semestinya, penerus kemerdekaan bangsa ini tidak melupakan apa yang sudah diajari. Kehadiran literasi dasar telah ikut menjadi fondasi kemerdekan bangsa ini.
Najeela Shihab dan Komunitas Guru Belajar telah memberikan banyak contoh praktik baik literasi di lingkungan sekolah. Pengajaran literasi yang ditulis oleh guru-guru tersebut sangat menginspirasi dan kontekstual. Segala informasi dan peristiwa memerlukan literasi. Contohnya, guru harus memiliki literasi dalam membaca kebutuhan, profil belajar, dan kecerdasan muridnya. Selanjutnya, guru menyesuaikan gaya mengajarnya sesuai dengan gaya belajar murid.
Begitu juga kegelisahan yang dialami oleh Munif Chatib dan dituangkan dalam buku berjudul Sekolahnya Manusia. Penulis melihat hingga saat ini di Indonesia masih banyak sekolah yang berpredikat sebagai sekolah robot yang cenderung memasung kreativitas muridnya. Akibatnya, banyak potensi murid yang seharusnya dapat dikembangkan justru terabaikan.
Seharusnya, dengan menghadirkan ruang pengembangan literasi dasar, sekolah mampu mengenali potensi seperti Agatha Christie, penulis novel misteri dari Inggris yang sangat sukses. Ia didiagnosis mengalami learning disability, sangat lambat menerima pelajaran. Nyatanya, ia justru memiliki kecerdasan linguistik yang melampaui orang lain. Begitu juga penulis novel Harry Potter, J.K. Rowling, yang baru menemukan kondisi akhir terbaiknya di usia 43 tahun. Hakikat kecerdasan yang bisa dikatakan terlambat disadari karena tidak mendapatkan ruang untuk mengembangakan potensi.
Sudah saatnya kemerdekaan sejati bisa diberikan melalui literasi. Literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menalar dan memproses informasi. Belajar untuk membaca berbeda dengan membaca untuk belajar. Belajar untuk membaca berkaitan dengan kemampuan bahasa, sedangkan membaca untuk belajar adalah menempatkan membaca sebagai alat untuk memahami dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan.
Selain itu, membaca berhubungan dengan kompetensi lainnya, yaitu menulis. Salah satu cara paling efektif meningkatkan kemampuan menulis adalah belajar dari bacaan berkualitas. Semakin beragam bacaan, pada akhirnya akan mengantarkan pada kemahiran dalam dua kemampuan sekaligus, yakni membaca dan menulis.
Dapat disimpulkan bahwa kehadiran literasi dasar akan semakin memperkokoh kualitas diri seseorang. Sejalan dengan kebijakan "Merdeka Belajar", perwujudan setiap murid untuk memperoleh kemerdekaannya dalam belajar akan bisa dicapai dengan memberi ruang lebih untuk peningkatan literasi dasar. Dengan literasi dasar, upaya menuju merdeka belajar akan lebih mudah diwujudkan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika literasi dasar ini akan menjadikan setiap anak manusia merdeka sejak dalam pikiran, terangkat harkat dan martabatnya. Pada akhirnya, anak-anak Indonesia akan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
DAFTAR PUSTAKA
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Jakarta: Kaifa, 2009.
Shihab, Najeela & Komunitas Guru Belajar; editor Bukik Setiawan (et al.). Literasi Menggerakkan Negeri. Ciputat: Literati, 2019.
https://www.kompasiana.com/yollachelsia1958/62dd3896a51c6f48de1b9093/kurangnya-literasi-belajar-untuk-anak-sekolah-dasar-di-indonesia
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/05/24/mendikbudristek-merdeka-belajar-bukan-sekadar-kebijakan-tapi-gerakan-bersama?status=sukses_login&status_login=login
https://edukasi.kompas.com/read/2021/02/23/121757771/perpusnas-jangan-hakimi-anak-indonesia-yang-rendah-budaya-baca?page=all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H