Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jodoh?

11 Mei 2020   03:44 Diperbarui: 11 Mei 2020   03:47 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu suara ceramah di masjid  terdengar jelas dari kamarnya. " Jodoh itu tidak perlu kalian kawatirkan! Karena jodoh itu ada di tangan Tuhan." sebuah pernyataan yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa dalil yang tidak mampu diingatnya.

Mungkin karena kegalauannya sehingga dirinya mampu mendengarkan dengan jelas suara ceramah itu. Mungkin juga karena mendadak dirinya terbangun oleh suara tinggi dari penceramah saat mengatakannya. Dia tentu tidak mau ambil pusing dengan apa yang didengarnya atau penyebab bagaimana dirinya pagi itu dapat mendengarnya dengan jelas. Meskipun biasanya, dia tidak pernah terbangun oleh suara Toa masjid di pagi hari. Dia kembali menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya.

Usianya sekarang 40 tahun, rambutnya telah tumbuh uban. Tubuh kurusnya tampak dilapisi otot-otot hasil dari latihan rutinnya . Dia memiliki nama asli Feri tetapi sering dipanggil Ceking. Panggilan yang disematkan padanya karena postur tubuhnya.

"Hei Ceking, kau harus segera menikah! Biar kerjamu ada gunanya. " Ujar temannya. "Untuk apa kamu bekerja keras kalau tidak ada orang yang kamu perjuangkan."

Terkadang yang lain menambahkan, " Jangan-jangan nanti saat kamu ngajak anakmu jalan dikira orang-orang jalan sama cucumu, kalau kamu terlambat menikah."

Ejekan-ejekan semacam itu memang sering kali didengarnya. Ketika dirinya berkumpul dengan teman-temannya. Mereka mengatakan itu seolah pernikahan menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Terkadang Ceking berpikir juga jika mereka ingin menjebaknya. Mungkin pernikahan yang mereka jalani kurang membahagiakan sehingga ingin mengajaknya bergabung dalam kesengsaraan itu.

Setidaknya, tampilan yang ingin diperlihatkan teman-temannya adalah betapa menyedihkan dirinya yang sampai usia empat puluh tahun masih belum menikah dan hal itu berhasil. Ceking selalu memasang wajah menderita saat semua itu berlangsung, tetapi sebenarnya dirinya menikmati semua itu. " Mereka akan sedih jika aku tampak santai dan tidak menghiraukan perkataannya. Aku pikir  berpura-pura sedih untuk membahagiakan mereka sebagai sesuatu yang mulia." Ujarnya pada terapisnya. Seorang terapis perempuan yang usianya sepuluh tahun di bawahnya dan juga masih belum menikah.

" Ya. Aku juga sering melakukannya."

Sayangnya, Terapisnya itu tidak mau disebutkan namanya. Kita sebut saja terapis B, karena sifatnya yang baik, huruf  B dirasa dapat mewakili kebaikannya.

" Kalau boleh tahu, bagaimana pertemananmu dengan badrul?" Tanya Terapisnya.

Badrul teman sekolahnya, seorang dengan berbagai hobi rahasia. Konon dalam ceritanya, saat masih kecil, Badrul menyukai lidi. Sebuah lidi yang dipotong-potong itu menurutnya indah dan menarik. Lidi itulah yang kemudian menghiasi meja belajarnya, yang tiap pagi dan sore dia bersihkan dengan tisu basah yang dibelinya dengan uang jajannya. Dia pula orang pertama yang memanggil Feri dengan nama Ceking.

" Kami masih sering ketemu bu." Jawab Ceking sambil merundukkan kepalanya.

"Aku harap memang demikian. Kapan terakhir kamu menemuinya?"

" Minggu lalu saat badrul mengantar anaknya Les."

***

Tempat Les anaknya Badrul berada di samping cafe Cangkir. Di cafe Cangkir itulah biasanya Ceking menunggu Badrul yang menemani anaknya Les. Ceking selalu memilih tempat duduk di sayap kiri cafe dengan tulisan besar di pintunya "Smoking Area" dengan di temani secangkir kopi Americano.

" Ah sorry, Aku terlambat Fer. Anakku tadi gak mau Les. Aku harus membujuknya dulu."

" Kamu tidak mengantarnya ke dalam?"

"Biar dia jalan sendiri. Semakin nakal saja dia Fer."

" Kayak Kau dulu." Ceking memperhatikan tampilan Badrul yang saat itu mengenakan sebuah kaos oblong warna merah kekecilan dan membuat perutnya tampak sangat buncit. " Semakin gemuk saja kau."

" Bisa aja kamu." Badrul memanggir pramusaji dan memesan minuman. "Sudah lama kau di sini Fer?"

"Basa-basimu basi." Ceking tertawa. " Kau ngapain aja minggu ini?"

" Bekerja dan merawat anak seperti biasalah. Kamu pasti tahulah kesibukan bapak-bapak macam aku." Badrul tertawa. " Kemarin Jeje menelponku. Katanya hpmu mati."

" Owh, itu aku sedang terapi. Memang prosedurnya harus mematikan HP."

" Kalian masih bersama?"

Ceking menggelengkan kepala. " aku dan dia tidak pernah memiliki hubungan resmi."

"Terapismu tahu tentang Jeje?"

**

" Bagaimana dengan Jeje?" Tanya Terapis B.

Ceking tertawa, dia seolah kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya. "Emmm..." Cukup lama buatnya menyusun kata-kata. "Kami masih berhubungan. Pertama tentu sebagai teman kantor dan teman main tentunya. Minggu lalu dia berkunjung ke rumahku."

" Owh, hubungan kalian makin intim?"

" Kami hanya ngobrol sampai pagi, tentang teman-teman perempuannya. Dia mempunyai pacar baru. Seorang perempuan yang ...." Dia menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Aku rasa itu urusan pribadinya."

" Owh baik-baik. Cinta segitiga kalian sangat rumit. Kamu perlu menguraikannya agar dapat segera menikah."

***

" Aku tidak pernah menceritakannya rul." Ceking tertawa terbahak-bahak.

" Bagimana mungkin kamu menyembunyikan Jeje darinya?"

" Aku bilang saja kalau Jeje itu Lelaki. Aku tidak ingin orang-orang mengetahui kalau Jeje itu perempuan selain dirimu dan pembantuku tentunya."

" Jadi Terapismu menganggapmu homo?"

Ceking tertawa, "aku suka membuatnya berpikir seperti itu." Keduanya mengisap rokok masing-masing. " Sebenarnya aku punya pacar Rul, sudah hampir empat bulan."

" Siapa dia?"

" Anak bos yang masih SMA."

Keduanya tertawa.

" Jeje mengetahuinya?"

" Justru sebenarnya, dia itu pacar Jeje. Mereka sering main ke rumah, ya karena hubungan keduanya itu. Jeje merasa tidak bisa membawa pacarnya pulang ke rumahnya karena ada orang tuanya. jadi dia sering membawanya ke rumahku. Tetapi masalahnya, kami sekarang saling jatuh cinta."

" Harusnya kamu ceritakan pada terapismu! Aku kawatir kamu mengalami seperti sebelumnya. Menunggu pacarmu siap menikah dan ketika sudah siap dia menikah dengan orang lain."

" Ya berarti bukan jodohku Rul."

"Jodoh?"

***

" Anda tidak percaya mengenai jodoh?" Terapisnya kembali menanyakan pertanyaan yang selalu diulang tiap akhir sesi.

" Jelas percaya."

"Lantas mengapa tidak kamu pilih salah satu perempuan yang kamu temui sebagai jodohmu? Bukankah jodoh itu sebuah pilihan?"

" Jika saja aku bisa meilih ibu sebagai istriku, tentu aku akan sangat bahagia." Setelah pertemuan yang ke delapan, baru kali ini dia mencoba menjawab dengan jawaban lain. Biasanya dia akan bilang kalau jodoh ada di tangan tuhan.

Terapis itu tersipu malu. Dia berpura-pura membuka laci dan mencari sesuatu untuk menyembunyikan perasaannya.  " Tentu tidak bisa, aku di sewa ibumu untuk membuatmu agar berani menikah."

"Aku tidak takut menikah, Aku hanya masih belum ingin. Tolong sampaikan itu ke ibuku!"

****

Kring.. kring.. kring...

Suara nada panggilan di HP Ceking. " Halo, ada apa Je?"

" Ayo segera berkemas! Aku tunggu di rumahmu."

" Kemana kita pergi?"

" Terserah, yang penting kita keluar kota ini malam ini."

" Ada apa?"

" Bos mengetahui kalau anaknya pacaran sama kita."

" Brengsek, kok bisa?"

" Anak tolol itu meminta ijin ke orang tuanya untuk menikah denganmu setelah lulus sekolah."

" Aduh, terus dia juga cerita tentang hubungannya denganmu?"

" Cepat pulang! Nanti aku ceritain. Sepertinya kita perlu mengungsi ke desa. Aku sudah ambil uang kantor untuk bekal perjalanan kita."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun