Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Paradoks

8 Desember 2019   13:30 Diperbarui: 8 Desember 2019   14:02 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber dari wallpaperflare.com diakses 13:28 08-12-2019

Setelah ditandatanganinya surat pernyataan itu, kabar mengenai kegilaannya tiba-tiba menjalar cepat ke seluruh desa dan mungkin juga telah sampai pada pelosok-pelosok kecamatan. "Penerus Pak Kyai Hasyim gila. Dia tidak sanggup ditinggal oleh bapaknya." Sebuah isu yang hanya disandarkan pada kebiasaannya menutup diri di kamar. Bukan itu tepatnya yang membuat dirinya datang ke depan aula sambil berteriak. Melainkan sebuah perlakuan dari pamannya yang selalu memintanya untuk tidak mengajar dengan alasan kesehatan.

Sementara itu, Kalong terbang berhamburan di atas kepalanya. Mereka pergi mencari buah-buahan yang mungkin tumbuh di sisi lain hutan. Dia duduk di bawah pohon itu sambil membayang sosok Diogenes. "Perlukah aku menjadi Diogenes?"

Diogenes merupakan orang dengan aliran sinisme. Seseorang yang merasa muak dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan keduniawian. Diogenes mencoba menyuwarakan pandangannya denga lantang dan tidak mengkawatirkan apapun.Tetapi Dia justru memandang dunia sebagai alasan untuk meninggalkannya. Kekecewaan tentang perlakuan orang sekitarnya mendorongnya agar menjauhi tanggung jawab sosialnya sebagai manusia. Dia memilih untuk menutup diri, meninggalkan kehidupannya dan berbaik hati dengan semesta.

" Diro, kamu tidak perlu lagi melanjutkan perjalananmu. Dirikanlah sebuah gubuk dan buatlah padepokanmu di sini!."  Sebuah seruan gaib tiba-tiba terdengar nyata. Sebuah seruan layaknya panggilan spiritual yang mampu menyentuh hatinya. Dia menangis haru, sambil membungkukkan badannya ke semak. Bersujud syukur atas petunjuk yang telah di berikan Tuhan.

Dia membayangkan sebuah padepokan yang sangat terkenal berdiri di tengah hutan. Padepokan yang kelak akan membuat paman dan ibunya iri. Dia percaya diri mampu mencapai semua itu. Dia bayangkan pula ibunya datang ke tempatnya dan kemudian meminta maaf atas semua yang telah terjadi.

Tiba-tiba suara tembakan terdengar keras. Dia membalikkan badan dan tubuhnya terasa nyeri. Dari dadanya terlihat darah yang mengalir deras. Ranting-ranting dan dedaunan yang menghiasi langitpun mulai tampak buram. Dari kejauhan terdengar suara teriakan seorang lelaki.

" Kita salah sasaran. Itu bukan kijang." Teriak lelaki satunya.

" Owh, ini Diro. Anak Kyai Hasyim yang telah membunuh ibunya beberapa bulan lalu. " Teriak lainnya.

" Dia teman SMPku." Lelaki lainnya lagi menangis. " Aku santri bapaknya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun