Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengenang Said untuk Munir

8 Oktober 2019   12:50 Diperbarui: 8 Oktober 2019   13:04 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kedatanganmu ke rumah kecilku ini tidak akan merubah keputusanku. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu ketika kamu mendatangiku di warung dekat lapangan sepak bola samping kantor kecamatan dengan menyodorkan anggur gepengan padaku, sebagai teman kita berbincang. Memang kantor kecamatan telah dipindah dan aroma anggurnya telah menguap, tetapi keputusanku sebagai seorang lelaki tetap tidak dapat berubah. Bukankah seorang lelaki harus selalu memegang kata-katanya?

Kamu terus saja memaksaku untuk bergabung. Katamu "Seorang lelaki harus mengambil jalan perjuangannya." Akupun sepakat denganmu. Pendapatku itu telah aku jelaskan pula padamu bahwa sebagai pejuang, diriku tidak perlu kamu ragukan lagi.

Kita sama-sama dibesarkan di lingkungan pejuang. Kepribadian kita sebagai pejuang telah ditempa sejak masih belia. Ketika kita masih sama-sama hidup bersama keluarga. 

Sebagai anak dari tokoh masyarakat tentu kamu memahami dengan jelas apa yang aku maksudkan. Tiap hari orang tua kita selalu mencontohkan agar mendahulukan kepentingan masyarakat katimbang pribadi. Aku rasa itulah pendidikan paling pokok atas peran individu dalam masyarakat yang menjadi pondasi perjuangan kita.

Waktu  SMA kita juga berusaha tumbuh layaknya pejuang. Mengkritik sesuatu yang tidak patut dan membenarkan sesuatu yang salah. Membaca buku-buku filsafat layaknya para pemikir. Menonton film-film para aktivis yang mimiliki jalan berbeda dari lingkungannya.

Kamu tentu ingat momen-momen saat pertama kalinya kita menonton Schindler's List di ruang Osis. Kita bertiga berpura-pura mengerjakan proposal untuk mendapatkan waktu khusus memakai komputer Osis. Tepat ketika tengah malam saat tukang kebun sekolah telah tidur terlelap, Said tersenyum sambil menyodorkan sebuah kaset CD. "Kaset apa ini Id? Kenapa harus menontonnya semalam ini?" Tanyamu penasaran.

"Film Bokep. Aku mendapat hadiah dari kakak sepupuku yang kuliah di kota." Said tersenyum.

Aku segera mengambil kaset itu dengan harapan isinya sesuai. Hanya saja, ternyata isinya berbeda. Film mengenai Perang Dunia II itu terasa menyiksa pikiranku. Bahkan momen ketika adegan-adegan erotis dipertontonkanpun terasa tidak menggoda. Pikiranku lebih terfokus pada sosok anggota Nazi yang mencoba menyelamatkan orang Yahudi dengan mendirikan sebuah perusahaan. Aku masih mengingat jelas ekspresi wajahmu yang terkagum-kagum menyaksikan kebaikan Liam Neeson, yang memerankan Oskar Schindler.

Kembali pada malam kunjunganmu ke rumahku dua minggu lalu. Ketika Kamu mengangkat cangkir kopi yang telah dihidangkan oleh istriku dengan mata penuh kekhawatiran, segera aku simpulkan bahwa dirimu takut mengalami apa yang telah menimpa Said. Maka aku yakinkan dirimu bahwa permohonanmu akan dipertimbangkan, barulah kamu minum kopi itu. "Maaf, aku orang yang harus mendapatkan jawaban sebelum memakan atau meminum sajian yang diberikan tuan rumah." Katamu tertawa.

Said memang teman terbaik kita. Berkat dia nama kita dikenal oleh seluruh sekolah. Dia selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang di sekitarnya, yang memudahkannya untuk bergaul dengan siapapun yang dia inginkan. Namanya begitu cepat terkenal di manapun kita berada.

 "Aku tidak ingin seperti  Said,"  Terangmu kepadaku. Kamu angkat kaki kananmu dan melipatnya di atas kak kirimu. "Bukankah kamu ingin melanjutkan semua perjuangan Said?" Bisikmu menggoda.

Aku selalu tertarik untuk meneruskan perjuangan Said. Menjadi pembela utama atas permasalahan yang tidak banyak dilirik orang. Aku sangat terobsesi dengan keagungan tindakan nyata untuk perubahan dunia. Kamu pun tahu aku rela mati seperti  Marielle Franco untuk mencapainya.

Sepertinya terlalu jauh jika aku sebutkan nama Marielle, harusnya aku sebutkan nama Said tua yang menjadi idola teman kita. Said tua mungkin sudah patut disejajarkan dengan Marielle. Setidaknya keduanya memiliki mimpi dan akhir yang sama. Walaupun keduanya mati dengan cara yang berbeda. Said kita sebenarnya selangkah lagi akan menyamai keduanya.

Kamu pun tertawa saat mendengar pernyataanku itu. "Semua orang memiliki kedudukan yang sama. Tidak harus dibedakan atau disamakan hanya karena mimpinya. Perbedaannya hanya pada bagaimana mereka hidup dan penghargaan yang di berikan setelah kematiannya." Tegasmu.

Aku sepakat denganmu. Aku selalu memperingati kematian Said tua bersama dengan yang lainnya, pada tanggal yang sama dengan kematiannya. Sebagaimana dulu yang dilakukan oleh Said kita. Mungkin peringatan itu yang kamu maksud penghargaan. Mungkin pula sesuatu yang lebih dari itu. Aku sendiri telah mengistimewakan kematian Said tua sebagaimana kematian Marielle. Sejenak aku melakukan pengheningan cipta untuk keduanya.

Kamu minum kembali kopimu dan menyalakan sebatang rokok dari sakumu. "Sama seperti sebelumnya, kali ini pun aku memberikan tawaran kepadamu untuk bergabung denganku. Jika kamu ingin berjuang layaknya Said tua, aku tidak ingin dirimu mengalami peristiwa serupa yang dialaminya. Aku ingin hidupmu terlindungi dan seandainya pun gugur dalam bertugas, di nisanmu tersemat sebuah tanda penghargaan yang sepadan dengan resiko yang kamu ambil. Aku yakin Said pun akan setuju denganku."

Aku menghargai semua niatan baikmu. Aku tidak bisa menolaknya. Seorang sahabat akan mencoba memberikan yang terbaik untuk sahabatnya. Hanya saja penghargaan itu bisa dibuat oleh siapapun. Seperti halnya politik yang membutuhkan pengakuan, penghargaan pun tergantung pada siapa yang memiliki kuasa.

Aku tidak ingin bilang kalau tawaran yang kamu sampaikan itu masih memiliki sisi ketidakjelasan yang perlu dipikirkan kembali. Semua kebaikan telah jelas tergambar di depan mata tanpa kamu terangkan lebih rinci. Aku percaya denganmu sebagaimana kepercayaanku dulu. Hanya saja diriku sekarang tidak lagi sama seperti dulu dalam mengambil keputusan.

"Setidaknya sekarang kamu mau mempertimbangkan permohonanku. Tidak seperti dulu yang langsung menolaknya."

Sama sepertimu, sebenarnya luka akibat kematian Said masih membekas di Hatiku. Itulah mengapa aku menikahi Reva, setelah semua yang menimpa Said. Kamu tentu ingat bagaimana kebencianku padanya setelah tahu bahwa Said kecelakaan sepulang dari pertemuan dengannya. Said meninggal dengan membawa ungkapan cinta yang belum terjawab oleh Reva.

Setahun setelah kepergiannya, aku putuskan untuk melanjutkan cinta Said yang belum berbalas itu menanggalkan semua perjuangan lain yang telah kita rintis bersama. Aku berharap dengan memastikan cintanya menjadi milikku akan mampu mengurangi penderitaannya di alam sana. Dengan begitu aku mengambil perannya untuk menjaga Reva sepanjang hidupku.

"Kamu masih belum percaya kalau Said meninggal bukan karena kecelakaan melainkan dibunuh oleh orang yang merasa kepentingannya terancam olehnya?"

Pikiran semacam itu akan menimbulkan dendam. Aku tidak ingin menumbuhkan dendam dalam sisa hidupku. Dendam kerap kali menggiring kita berjalan di luar kendali. Jika Reva saja yang sejatinya mencintai Said mampu memaafkan dirinya karena menunda jawabannya, aku merasa tidak memiliki alasan untuk menjaga prasangka itu.

Aku masih menyimpan data pelanggaran HAM yang dilakukan oleh para pejabat. Aku akan terus menyimpan data yang kita dapatkan dengan susah payah itu sampai pada saat yang telah ditentukan. Mungkin sampai saat Reva telah siap aku tinggalkan. Sudah dua Said terbunuh karena data semacam itu. Akupun tidak bisa menjamin keselamatan diriku sebagai Thalib muda. Aku berharap ketika Thalib muda terbunuh menyusul Thalib tua, semua telah terencana dengan baik.

"Kapan kamu memberikan jawaban?" Tanyamu sambil berpamitan.

Dua Minggu Lagi kita akan bertemu di dekat kantor gubernur.

Seperti itulah kiranya rangkuman dari percakapan kita waktu itu. Kali ini aku telah menepati janjiku datang menemuimu dan kemudian memberikan jawaban yang menjadi bukti atas keteguhan hatiku. 

Jika kamu telah menemukan surat ini di dalam saku celanaku, maka berarti aku telah ditemukan terbujur kaku di mobil dan sekarang jasadku berada di ruang otopsi. Seorang dokter dengan baju putih telah memberikan sebuah surat kepadamu yang menyatakan penyebab kematianku adalah serangan jantung.

Sejak dulu aku sudah tahu pembunuh Said. Sekarang pun aku terbunuh olehnya dengan cara yang lebih halus. Cepat kamu hapus air matamu, tegakkan badanmu dan sampaikan kepada atasanmu bahwa tugas telah selesai!

Untukmu Munir, teman terbaikku.

Salam hormat

Thalib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun