Mohon tunggu...
Atika Hayati
Atika Hayati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pejuang pena

Tak ada yang mustahil jika Allah telah berkehendak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa di Indonesia Learning poverty Cukup Tinggi?

14 Oktober 2023   23:47 Diperbarui: 15 Oktober 2023   00:01 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dilaporkan dari Bank Dunia, anak-anak di beberapa kawasan negara Asia Timur dan Pasifik tidak memiliki kemampuan pendidikan dasar walaupun mereka menempuh sekolah dasar. Ternyata di Indonesia ketidakmampuan belajar atau learning poverty cukup tinggi. Ini disebabkan kualitas pendidikan masih tergolong rendah, khususnya di daerah pedesaan dan daerah miskin.

Terdapat 14 Negara dari 22 Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang memiliki tingkat learning poverty di atas 50%, antara lain Myanmar, Kamboja, Filipina, Laos, termasuk Indonesia. Sebagai Negara menengah atas Malaysia tercatat di atas 40% learning poverty-nya. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan Negara-negara yang berpengasilan atas, seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan yang hanya berkisar antara 3-4 learning poverty nya. (Republika)

Istilahlearning poverty digunakan untuk mengukur ketakmampuan seorang anak pada usia 10 tahun dalam membaca dan memahami bahan bacaan yang sesuai dengan usianya. Karena kegagalan dalam membekali anak dalam ketrampilan dasar akan menghambat kemampuan anak tersebut untuk memiliki ketrampilan di tingkat yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, kemampuan dasar ini dianggap sebagai modal awal seseorang dalam mendapatkan pekerjaan serta keluar dari lingkaran kemiskinan, dimana pada gilirannya akan dapat mengangkat status dari Negara dengan berpendapatan menengah menjadi tinggi. Misalnya di SMPN 11 Kota Kupang, berdasarkan hasil asesmen kognitif awal, 21 pelajar diketahui tidak bisa membaca dan menulis, parahnya ada yang tidak bisa membedakan huruf abjad. (Tribun News).

Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, sebab seharusnya pada usia jenjang SMP mereka sudah mampu memahami bacaan. Namun nyatanya, bagaimana bisa memahami, jika membaca saja masih mengalami kesulitan? Lantas, apa yang salah dengan hal ini dan bagaimana agar Indonesia dapat keluar dari krisis pendidikan yang semakin hari terus menurun? Setidaknya ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingginya learning poverty ini, yaitu:

Pertama, Kualitas Guru yang Rendah

Berdasarkan hasil riset Bank Dunia pada tahun 2020, kuwalitas guru di Indonesia masih terkategori rendah, baik dalam kompetensi maupun kemampuan mengajarnya. Di antara faktor penyebabnya yaitu rendahnya gaji guru serta minimnya program pelatihan dan pengembangan.

Fakta memperlihatkan masih banyak guru honorer yang dibayar dengan gaji yang sangat minim, terutama di pedesaan dan daerah yang tergolong miskin. Hal ini tentu saja akan menyebabkan para guru tidak fokus dalam mengajar dikarenakan harus mencari penghasilan sampingan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga inilah yang mengakibatkan guru kehilangan gairah untuk terus berinovasi dalam pengajaran.

Selain itu juga, minimnya program pelatihan dan pengembangan untuk para guru, terutama guru-guru di pelosok yang masih gagap terhadap teknologi. Sedangkan pengajaran pada era digitalisasi pada saat ini memaksa mereka harus adaptif terhadap teknologi. Ini juga akan menjadikan kualitas kompetensi guru kian rendah.


Kedua, Kurikulum Sekuler

Tidak dapat dipungkiri bahwa sekularisme yang menyingkirkan peran agama dari kurikulum pendidikan, telah menjadikan sistem pendidikan bagaikan mesin yang memproduksi barang. Para pendidiknya hanya mengajar karena tuntutan profesi, begitu pula anak didiknya, hanya belajar untuk tuntutan nilai dan materi. Alhasil, kualitas dalam pendidikan hanya terbatas pada seberapa besar pendidikan mampu meraup materi.

Tidak sedikit para guru yang mengajar hanya karena motif pemenuhan ekonomi. Jika sudah begitu, sesuai logika ekonomi kapitalisme jika pengeluaran sedikit demi mendapatkan sebanyak-banyak manfaat. Guru akan perhitungan terhadap tenaga dan pikiran yang dikeluarkan untuk kualitas generasi, dikarenakan harus sesuai dengan benefit yang ia didapatkan. Bukankah ini pangkal dari merosotnya kualitas guru?

Begitu pula dengan anak didik, ia akan menjadi murid yang malas-malasan untuk belajar membaca dan menulis karena tidak ada motivasi ruhiah, serta tidak didapatkannya teladan terbaik dari guru-gurunya. Kurangnya ilmu agama menjadikan keseharian mereka tersibukkan dengan mencari kesenangan di dunia tanpa memikirkan masa depan dirinya, apalagi masa depan bangsa.

Ketiga, Dukungan Pemerintah

Pada kenyataannya, dukungan sistem dari pemerintah kian lemah. Misalnya, pendistribusian guru ke pelosok, bukan lagi rahasia jika faktor minimnya guru di pelosok adalah distribusi yang kurang baik dari pemerintah. Guru banyak menumpuk di kota-kota besar saja, tetapi minim di pedesaan.

Inilah kondisi klasik yang hingga kini belum terselesaikan. APBN yang defisit menjadikan alokasi anggaran untuk pendidikan begitu kecil sehingga negara tidak memiliki kekuatan dalam pendistribusian guru. Andai saja insentif dan kehidupan layak para guru dijamin negara, persoalan terkait pendistribusian guru pun selesai.

Begitu pula dengan fasilitas sekolah yang harusnya mumpuni, lagi-lagi akibat minimnya anggaran. Menjadikan anak-anak di daerah pelosok harus pasrah belajar dengan fasilitas seadanya. Bukankah ini dapat mejadikan anak untuk makin tidak bersemangat ke sekolah?

Selain hal tersebut, ketidak berhasilan pemerintah dalam mengentaskan persoalan kemiskinan dan menjaga kesehatan masyarakat sangat memengaruhi kualitas generasi. Mengakibatkan anak lambat berpikir dan tidak semangat belajar dikarenakan faktor gizi buruk yang erat kaitannya dengan kesehatan dan kemiskinan masyarakat.

Walhasil, selama pemerintah belum mampu mengentaskan kemiskinan dan menjaga kesehatan masyarakat, sistem pendidikan akan kesulitan menghadirkan generasi berkualitas.

Akidah sebagai Pondasi, Syariat Pedomannya

Islam telah memosisikan pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun peradaban manusia. Dari sistem pendidikan yang baik, akan lahir generasi yang gemilang dan terbaik yang siap menyinari bumi dari gelapnya kebodohan. Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah Islam sebagai pondasinnya dan syariat sebagai pedomannya, hasilnya kurikulum yang dibuat akan sesuai dengan tujuan penciptaan manusia.

Islam juga mengajarkan hakikat hidup manusia adalah sebagai abdun (hamba Allah Taala) dengan tugasnya di dunia untuk semata beribadah kepada-Nya. Inti dari proses ajar-mengajar adalah bentuk ikhtiar dalam melahirkan individu yang berkarakter Islam, yaitu berpola pikir Islam dan beramal sesuai tuntunan syariat dan kemaslahatan umat.

Dari pemahaman ini, akan melahirkan semangat belajar yang tinggi dari para murid karena motivasi ruhiah menjadikan mereka serius dalam menimba ilmu. Mereka akan bersungguh-sungguh dalam belajar membaca dan menulis, hal itu merupakan gerbang menuju amalan tertingginya, yaitu bermanfaat untuk umat manusia.

Begitu pula dengan pengajarnya, didasari motivasi ruhiah, mereka akan memberikan usaha terbaiknya untuk menjadi guru yang kompeten. Mereka akan terus mencari cara terbaik dalam proses mengajarnya supaya anak didik paham dengan apa yang diberikan. Ini dikarenakan ilmu yang bermanfaat merupakan amalan jariah yang tidak akan terputus walaupun seseorang telah masuk liang lahat.

"Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya." (HR Muslim No. 1631).

Khatimah

Islam telah menjadikan Negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan rakyatnya, termasuk masalah pendidikan. Terlebih pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat yang harus dijamin Negara. Alhasil, Negara harus memastikan betul supaya seluruh warganya mendapatkan pendidikanyang layak dan berkualitas.

Dengan ditopang kekuatan dari baitulmal, Negara mampu mewujudkan sistem pendidikan terbaik dan merata, baik di desa maupun kota. Distribusi guru akan benar-benar diurus juga kesejahteraan mereka. Kemiskinan dan kesehatan pula akan dijamin sehingga anak didik dalam kondisi siap dan semangat dalam belajar.

Namun, pendidikan gratis dan berkualitas yang dilandaskan pada akidah Islam ini mustahil terwujud dalam sistem sekuler hari ini. Negara yang menerapkan sistem sekuler tidak pernah menjadikan agama sebagai pedoman dan pengurus umat. Oleh karena itu, agar Indonesia dapat keluar dari krisis pendidikan termasuk learning poverty, urgen bagi umat untuk segera menerapkan sistem pendidikan Islam yang didukung penuh oleh sistem pemerintahan Islam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun