Mohon tunggu...
Atika Hayati
Atika Hayati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pejuang pena

Tak ada yang mustahil jika Allah telah berkehendak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harapan dan Kecemasan Korban Gempa Cianjur, Begini Islam Menangani Bencana

28 Desember 2022   16:12 Diperbarui: 28 Desember 2022   16:32 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu bulan sudah tragedi Gempa di Cianjur, akan tetapi hingga selasa (20/12/2022) belum semua warga dapat kembali hidup normal dan kembali ke rumahnya, jumlah korban meninggalpun sudah mencapai 635 orang. BBC Indonesia (22/12/2022) mewartakan bahwa di Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, terdapat warga yang terpaksa tinggal di tenda pengungsian dikarenakan masih belum menerima dana bantuan stimulan perbaikan rumah. Mereka terpaksa bertahan di tenda yang hanya beralaskan tikar dan beratapkan terpal. 

Dana tersebut terlambat dicairkan dan harus didata ulang dikarenakan proses pendataan yang kurang akurat. Perasaan ketidakpastian mulai menyelimuti warga, apakah mereka akan terdapat relokasi atau tidak mengingat Cibeureum termasuk desa yang dilewati patahan sesar aktif Cugenang. 

Gempa yang terjadi pada 21 November lalu berdampak parah di desa Cibeureum, mayoritas rumah rusak dengan tembok retak dan atap roboh, ditambah masih kerap terjadinya gempa sususan. Ini mengakibatkan warga takut kembali ke rumah dan memutuskan untuk bertahan di pengungsian. Hidup dalam pengungsian tentu jauh dari layak, mereka harus hidup seadannya meskipun kebutuhan makanan dan minuman terpenuhi. 

Dalam kondisi tersebut menyebabkan sebagian dari mereka harus mengalami demam, batuk, dan gatal-gatal akibat kepanasan dan kedinginan, apalagi anak-anak dan balita. Dalam kondisi tersebut membuat warga menjadi jenuh dan tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun mereka berharap segera dapat hidup normal kembali. Akan tetapi harapan mereka belum bisa terwujud dikarenakan belum adanya kepastian dana relokasi yang turun. 

Bukti bahwa riayah (pengurusan) terhadap korban gempa berjalan tidak optimal. Melihat hingga kini kondisi warga dalam pengungsian belum menerima dana bantuan dan tanpa kejelasan relokasi. Negara seharusnya cepat bertindak dalam melakukan relokasi dan perbaikan rumah warga sehingga nasib warga tidak terkatung-katung. 

Warga butuh dan berhak untuk segera hidup normal sebagaimana warga lainnya. Apalagi lagi korban gempa yang masih anak-anak dan balita. Hidup di dalam pengungsian tentu bukan kondisi yang ideal bagi tumbuh kembang mereka. Masalah kejiwaan sebagaian wargapun tak dapat dihindari, akibat terlalu lama tinggal di pengungsian. 

Pemeriksaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur telah menemukan setidaknya ada 61 pengungsi dari 16 kecamatan yang mengalami gangguan kejiwaan, serta 21 orang di antaranya dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan yang berat. Tak hanya itu, terdapat tiga orang yang harus dirujuk ke rumah sakit jiwa karena menunjukkan gejala yang serius. (Kumparan, 22/12/2022). 

Melihat fakta tersebut kesigapan dalam menangani bencana tersebut merupakan perkara penting yang harus dilakukan pemerintah dan tidak boleh diabaikan. Kita juga masih ingat, tak lama setelah kejadian Gempa di Cianjur, ada seorang pejabat tinggi Negara justru mengadakan temu sukarelawan di Gelora Bung Karno. Acara tersebut berjalan dengan sangat meriah. Sungguh miris bukan, mengingat tragedi gempa yang dahsyat baru saja terjadi dan korbanpun masih merasakan duka. Namun, begitulah realitas penguasa di Negeri saat ini. Pada hakikatnya, penguasa adalah pengurus dan penanggung jawab atas rakyatnya, bukan hanya sekadar orang yang menempati jabatan tertentu. 

Dalam sabda Rasulullah saw, "Pemimpin masyarakat adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR Bukhari dan Muslim). Seharusnya seorang penguasa harus sigap dan cekatan dalam mengurusi urusan rakyatnya. Jika penguasa tersebut lalai dan menunda - nunda dalam mengurusi urusan rakyatnya, berarti dia termasuk dalam orang yang tidak amanah. Penguasa yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya itu. Dalam sabda Rasulullah saw, "Tidaklah seseorang yang diberi amanah mengurusi rakyatnya, lalu tidak menjalankannya dengan penuh loyalitas, melainkan dia tidak mencium bau surga." (HR Bukhari). 

Berikut beberapa wujud dari sikap amanah yang seharusnya penguasa lakukan dalam konteks gempa Cianjur di antaranya sebagai berikut: 

1. Melakukan evakuasi korban, baik yang sehat, sakit, maupun meninggal. Warga yang mengalami sakit mendapatkan layanan kesehatan secara layak, sedangkan warga yang meninggal dimakamkan secara layak. 

2. Menyediakan tempat untuk pengungsian yang layak untuk warga, sehingga kebutuhan dasar terpenuhi, yaitu baik berupa kebutuhan fisik, psikis, maupun rohani. Gedung pemerintahan dan fasilitas publik dapat dimanfaatkan untuk pengungsian, daripada warga harus tinggal di tenda. 

3. Melakukan pembersihkan puing-puing, sehingga tidak menghalangi dalam proses pembangunan tempat kembali. 

4. Segera membangun rumah warga yang rusak sehingga dapat dengan segera ditempati kembali. 

5. Segera merelokasi warga yang rumahnya berada di lokasi yang tidak aman dan membangun rumah di tempat baru yang aman untuk mereka tempati. Selain itu, yang tak kalah pentingnya yaitu aspek pencegahan, dengan membangun infrastruktur tahan gempa. 

Akan tetapi, realitas hari ini mayoritas infrastruktur dibangun tanpa memperhitungkan aspek kegempaan. Padahal, apabila infrastruktur dan bangunan publik tahan gempa, maka dalam kondisi bencana yang terjadi tidak akan ikut roboh, ini akan memudahkan dalam melakukan evakuasi, bahkan bisa saja menjadi tempat untuk mengungsi yang jauh lebih baik daripada mengunakn tenda. Beberapa abad yang lalu, Khilafah Utsmaniyah telah mampu membuat bangunan tahan gempa di Istanbul. 

Dengan sang arsitek yang bernama Mimar Sinan mampu membangun masjid dengan konstruksi beton bertulang yang kokoh, dengan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata. Masjid diletakkan di lokasi dimana berdasarkan penelitian cukup stabil. Dengan demikian, meskipun pada masa berikutnya sering terkena gempa besar, masjid masih kokoh berdiri dan tidak mengalami dampak serius. Selain itu Khalifah juga memerintahkan Sinan untuk membangun bangunan tahan gempa lainnya, antaranya yaitu jembatan, sekolah, dan saluran air. 

Selain kecanggihan arsitektur, adapun salah satu kunci kekuatan dalam bangunan pada era Kekhalifahan Utsmaniyah adalah di aspek pembiayaan. Negaralah yang membiayai semua proyek pembangunan fasilitas publik, termasuk masjid, dari Baitulmal. Sultan memerintahkan kepada arsitek untuk "tidak berhemat" demi bangunan yang berkualitas dan mumpuni. Sehingga hasilnya, hingga hari ini bangunan tersebut masih kokoh meskipun telah diguncang oleh gempa berkali-kali. 

Tak hanya dalam aspek arsitektur, untuk meminimalkan jumlah korban, pemerintah seharusnya membekali warga dengan skill tanggap darurat, yakni latihan secara berkala agar warga bisa bersikap tepat saat bencana terjadi. Perlu juga ditanamkan sikap saling tolong - menolong (taawun) saat terjadi bencana sehingga masyarakat bisa kompak mengatasi bencana. Tetapi sekali lagi, sikap yang demikian tersebut membutuhkan sosok penguasa yang bermental pengurus dan penanggung jawab sebagaimana yang terdapat di sistem Islam. Bukan penguasa yang nirempati dan gemar dalam hal pencitraan diri sebagaimana yang mayoritas ada di sistem saat ini. Wallahualam bisowaf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun