Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Alasan Ideologis-Historis Mengapa "Jokowi-Airlangga"

4 Juli 2018   09:00 Diperbarui: 4 Juli 2018   09:23 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Merujuk pada sejarah politik seputar tahun 1955, disintegrasi politik  di era demokrasi parlementer pasca Pemilu 1955 menimbulkan perkara-perkara politik yang kontraproduktif terhadap pembangunan nasional. 

Kendati pemilu 1955 dianggap paling demokratis namun kemudian menimbulkan kondisi politik yang runyam. Riwayat kabinet rata-rata 'berumur pendek', hingga kemudian di tahun 1959 Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk mengatasi kebuntuan politik dan lebih-lebih kebuntuan konstitusional saat itu. Dekrit tersebut mengakhiri eksistensi UUD Sementara 1950, dan bersamaan dengan itu eksistensi UUD 1945 dikembalikan sebagai konstitusi resmi negara.

Instabilitas politik pada saat itu diakibatkan oleh benturan ideologis antar-partai yang juga berdampak pada keruntuhan citra parpol. Bung Karno kemudian menggagas perlunya keberadaan "golongan fungsionil", yang kemudian menjadi Golongan Karya (Golkar) hingga menjadi Partai Golkar seperti yang kini dikenal. Jadi, Bung Karno berperan sentral dalam kelahiran Golkar pada 20 Oktober 1964 yang kala itu bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. 

Melalui Jenderal Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan Darat/Menpangad, Bung Karno memerintahkan beberapa perwira menengah militer dikaryakan untuk memimpin tiga organisasi kemasyarakatan pendiri Sekber Golkar; Kolonel Suhardiman untuk SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), Brigjen Sugandhi untuk MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong), dan Kolonel Mas Isman untuk Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong).

Ketiga Ormas pendiri Sekber Golkar ini memiliki karakteristik masing-masing, tetapi bertautan secara sinergis untuk tujuan perjuangan kolektif, yakni memajukan pembangunan bangsa melalui pendekatan karya-kekaryaan. 

Ormas SOKSI merupakan komponen kekuatan ideologis dan pemikir Golkar, Kosgoro berperan untuk memperkuat ekonomi kerakyatan melalui koperasi, sedangkan MKGR merupakan basis kekuatan untuk kepentingan dakwah.Saat itu, SOKSI diposisikan sebagai pengimbang bagi kekuatan Pancasilais untuk menghadapi intrik sayap PKI bernama SOBSI (Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

Mencermati situasi dan kondisi politk-ekonomi hari-hari ini, Golkar harus menjadi kekuatan di garda terdepan untuk mengembalikan kedaulatan bangsa Indonesia dalam konteks praksis konstitusi negara. Golkar mesti membangun sinergi dengan  partai-partai nasionalis dan partai-partai berbasis keagamaan, untuk melawan penetrasi dan hegemoni multynational corporation yang merupakan perpanjangan tangan neo-liberalisme dan kapitalisme global.

Saat ini, kedaulatan wilayah NKRI sedang tercengkeram dalam hegemoni kepentingan neo-liberalisme/kapitalisme global, yang cenderung menguasai kedaulatan wilayah udara, tanah, dan air. 

Padahal, UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua sumberdaya alam Indonesia itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, seluruh komponen bangsa Indonesia mesti bergandengan tangan untuk menjaga kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya bangsa. 

Kinilah saatnya kepemimpinan nasional kita di bawah dirigen utama Presiden Jokowi mesti melakukan penggalangan kekuatan nasional secara total untuk menghadapi hegemoni kekuatan asing. Meminjam idiom yang sering diteriakkan Bung Karno yakni "samenbundeling van alle revolusionaire krachten!", saat dahulu mengusir kaum imperialis dan kolonialis dari bumi nusantara.

Garansi ideologis

Hari-hari ini, sejarah seperti berulang (l'historie se repete/bahasa Perancis); the history repetition, mengacu pada beberapa peristiwa pemberontakan berbau separatis di masa lalu, yang bertendensi hendak mengubur  ideologi Pancasila. 

Apabila pada tahun 1953 muncul DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang merebak pertama kali dari Aceh, dan menyebar ke Jawa Barat dan daerah-daerah lainnya, maka kini muncul fenomena serupa melalui manuver  HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang mengumandangkan ideologi khilafah untuk merongrong Pancasila. Kala itu, Presiden Soekarno secara tegas memberangus DI/TII yang merongrong ideologi Pancasila. Kini, Presiden Jokowi  secara tegas pula mengakhiri eksistensi HTI dengan menyatakan HTI sebagai ormas terlarang.   

Apabila dikomparasikan dengan situasi politik nasional hari-hari ini, maka pemerintah bersama Partai Golkar harus mengambil posisi proaktif sebagai pengawal Pancasila dan UUD 1945, khususnya dalam hal proses pelembagaan dan pembudayaan kehidupan berdemokrasi. Bila dicermati secara seksama, saat ini proses demokrasi telah dan sedang dibajak oleh kepentingan neo-liberalisme dan kapitalisme global. 

Untuk itu, pemerintahan Jokowi memerlukan dukungan politik yang kuat dari partai-partai berbasis kebangsaan, khususnya oleh Partai Golkar yang telah teruji konsistensi kebangsaannya, sekaligus memiliki kapasitas sebagai partai pekerja dalam hal agenda besar pembangunan nasional.

Merespons situasi politik domestik hari-hari ini yang juga memicu kecemasan ideologis dalam konfigurasi kemajemukan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka pemerintahan Jokowi-JK diharapkan mampu melakukan konsolidasi ideologis untuk semakin memperkuat eksistensi pemerintahannya. 

Dalam konteks ini, tentu saja Partai Golkar mesti mengambil posisi proaktif untuk mengawal jalannya pemerintahan Jokowi-JK. Satu hal terpenting dalam konsolidasi ideologis tersebut adalah dengan mempersiapkan secara matang kelanjutan pemerintahan yakni melalui regenerasi kepemimpinan ideologis. 

Dari perspektif idealisme kepartaian, prinsip karya-kekaryaan yang melekat pada Partai Golkar dan termanifestasikan dalam "Karya Siaga Gatra Praja", merupakan roh doktrin Partai Golkar sekaligus dapat menjadi panduan bagi ikhtiar konsolidasi ideologis bagi kepentingan bangsa dan negara. 

Dalam perspektif moderen, doktrin karya siaga gatra praja berbanding lurus dengan makna "teknokratisme", yaitu pengelolaan organisasi dan manajemen sumberdaya pada negara industri oleh kelompok teknokrat. Pada positioning inilah figur Airlangga Hartarto melengkapi prasyarat ideologis mengapa ia harus menjadi Cawapres Jokowi, mengingat Airlangga sendiri adalah seorang teknokrat!

Dengan demikian, duet Capres-Cawapres Jokowi-Airlangga hadir bukan sekedar pada urusan logika elektabilitas, melainkan lebih mendasar dari itu bahwa duet Jokowi-Airlangga menjadi garansi ideologis untuk memperkuat eksistensi negara-bangsa (nation-state) Indonesia, baik dari konteks keberlanjutan pemerintahan yang terus "bekerja, bekerja, dan bekerja", tetapi sekaligus memantapkan posisi Indonesia di fora global untuk memasuki gelanggang negara industry for point zero (4.0) atau revolusi industri generasi keempat.

Wacana duet Jokowi-Airlangga ini disuarakan pula dengan sangat getol oleh Akbar Tanjung, Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Golkar. Dalam pandangan Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 1998-2004 ini, duet Jokowi-Airlangga merupakan paket ideal untuk menjadi penyanggah pembangunan ekonomi Indonesia di tengah persaingan global saat ini. 

Jokowi-Airlangga merupakan perpaduan dua pemimpin berkarakter teknokrat yang akan membawa keberhasilan Indonesia dalam persaingan ekonomi global.  Duet Jokowi-Airlangga ini pun potensial membuka ruang praksis  "ekonomi inklusif" dalam kerangka pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas (trilogi pembangunan).

Banyak kalangan memprediksi bahwa potensi elektabilitas duet Jokowi-Airlangga akan meningkat tajam bila kedua figur ini mampu memainkan peran signifikan dengan sumberdaya politik yang dimiliki masing-masing. Dengan demikian, naiknya elektabilitas duet Jokowi-Airlangga bukan hanya menjadi tanggung jawab Airlangga dan Partai Golkar, melainkan juga menjadi bagian dari peran Jokowi sebagai Capres petahana yang telah diusung secara resmi oleh Partai Golkar.  ***

Alasan Ideologis-Historis Mengapa "Jokowi-Airlangga"

Oleh: Erwin Ricardo Silalahi

(Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun