Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK dan Bahaya Tirani Terhadap Negara

28 Oktober 2017   15:35 Diperbarui: 28 Oktober 2017   23:02 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlahan tapi pasti, KPK bagai terus terjerumus dalam irama permainan politik dengan orientasi kekuasaan. Muncul kecenderungan di mana elite-elite serta anasir-anasir pendukung KPK mulai asyik bermanuver, bahkan melakukan intrik politik dengan membonceng sentimen dukungan massa atau publik opini. Beberapa mantan komisioner KPK bahkan kemudian memperoleh privelege khusus untuk duduk dalam lembaga-lembaga pemerintahan atau BUMN. Kalau demikian, sah-sah saja apabila muncul tafsir pubik bahwa KPK ujung-ujungnya juga bermain-main di area pendulum politik kekuasaan.

Belakangan ini, muncul fenomena KPK seolah-olah berlindung di balik kekuasaan dan citra Presiden Jokowi. Setiap kali sedang disoroti publik, KPK bermanuver untuk beraudiensi dengan Presiden Jokowi. Manuver ini menunjukkan KPK seperti memiliki tendensi berlindung di balik kewibawaan Presiden Jokowi. Di masa datang, sebaiknya otoritas Istana diharapkan agar lebih berhati-hati menerima kunjungan audiensi para komisioner KPK, sebab langsung atau tidak langsung manuver itu dapat saja menggerus tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi.

Yang lebih aneh, dalam beberapa kesempatan, para mantan komisioner KPK yang getol mendukung KPK malah ikut-ikutan dalam demo bertendensi sektarian yang hendak mengganggu reputasi pemerintahan yang sah, diantaranya demo 212 di Jakarta beberapa waktu lalu. Benar adanya bahwa secara individu, setiap orang memiliki hak demokrasi untuk menyatakan pendapatnya termasuk menyampaikan kritik melalui aksi demo. Tetapi, sepatutnya para mantan komisioner KPK  tidak perlu ikut-ikutan aksi demo bernuansa SARA sebab keberadaan mereka secara psikologis juga memberikan dampak pada citra  KPK,  tempat di mana mereka pernah mengabdi. Anehnya, beberapa mantan komisioner KPK juga kini duduk di lembaga pemerintahan dan atau lembaga yang berafiliasi dengan pemerintah. Kalau begini kenyataannya, maka hal ini ibarat jeruk makan jeruk.

KPK juga ditengarai melakukan tindakan sewenang-wenang membuka akses perbankan dari tiap individu yang terkait dengan kasus korupsi kendati posisinya masih sebagai tersangka dan atau saksi. Padahal, membuka rahasia rekening bank dari tiap warga negara tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa perintah pengadilan. Data-data perbankan individu warga negara yang berstatus tersangka atau saksi, dari perspektif hak asasi manusia dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.  Tindakan seperti ini membuat KPK seolah-olah menjadi lembaga super-body, yang tidak tersentuh oleh pranata hukum negeri ini. Dari perspektif dinamika ekonomi, kesewenang-wenangan KPK membuka rahasia perbankan warga negara ini berpotensi memicu ketakutan  para investor yang hendak menanamkan investasi di negeri ini, atau boleh disebut sebagai 'phobia investasi'.  

Sebagai lembaga Ad-hoc, KPK juga mencengangkan dari aspek "pengadaan" karyawan. Hingga saat ini diperkirakan KPK sudah melebihi 1.500 pegawai. Jumlah pegawai KPK ini nyaris  sama rata-rata jumlah pegawai di suatu kementerian teknis. Tentu saja ribuan pegawai ini harus ditanggung oleh alokasi APBN yang tidak kecil pula. Kalau demikian, penggunaan APBN juga mesti juga diaudit secara ketat. Di lain pihak, ditengarai ada alokasi anggaran KPK berjumlah puluhan miliar untuk kegiatan pembinaan LSM anti korupsi. Bagaimana audit dana APBN tersebut terhadap LSM yang menggunakannya? Dana puluhan miliar tersebut akan sangat bermanfaat apabila dana sejumlah itu digunakan untuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin.

Densus Tipikor sebagai Solusi

Mencermati sejumlah blunder konstitusi yang telah dilakukan oleh KPK, pertanyaan logis pun muncul; masih perlukah keberadaan KPK? Tokoh nasional Agung Laksono punya pandangan menarik mengenai hal ini. Menurut Agung, KPK didirikan karena kepolisian dan kejaksaan pada saat itu belum mampu menjalankan fungsi pemberantasan korupsi. Untuk itu, Agung mendukung pembentukan Densus Tipikor. Agung menegaskan bahwa kalau Densus Tipikor jadi dibentuk, maka KPK tak diperlukan lagi (Tribunnews.Com, Kamis 19/10/2017).

Pernyataan Agung Laksono ini sungguh benar dan tepat, oleh karenanya harus didukung. Pembentukan Densus Tipikor menjadi solusi komprehensif dalam upaya negara ini melakukan pelembagaan sistem pemberantasan korupsi di Indonesia. Prasyarat jejaring lembaga sudah dimiliki oleh Polri mengingat tangan-tangan kepolisian bahkan sudah sampai ke tingkat desa. Oleh karena itu, apabila sistem pemberantasan korupsi mau dilakukan secara simultan di seluruh Indonesia, maka solusi paling rasional adalah mengesahkan keberadaan Densus Tipikor.

Dalam hal pembentukan Densus Tipikor, sudah semestinya segenap lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) serta kalngan pers sebagai manifestasi suara masyarakat, memiliki persepsi yang sama. Janganlah sekali-kali kita mendikotomikan bahwa rencana pembentukan Densus Tipikor merupakan upaya pelemahan KPK. Sebab, kenyataannya KPK memang sudah menjadi lembaga yang kedudukannya semakin lemah akibat berbagai blunder konstitusi yang dilakukannya sendiri. Kita harus optimis bahwa Densus Tipikor akan menjadi sebuah lembaga yang sangat efektif dalam upaya pelembagaan sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.

Mengacu pada pilot project yang pernah ada, yakni pembentukan Densus 88 untuk pemberantasan terorisme di Indonesia, ternyata membuktikan banyak keberhasilan dalam memberantas terorisme. Kinerja dan keberhasilan Densus 88 ini bahkan menuai pujian dari dunia internasional, yang menganggap keberadaan Densus 88 sukses mengatasi persoalan terorisme di Indonesia, bahkan sampai pada strategi pencegahan terorisme melalui program-program deradikalisasi. Publik hendaknya memiliki optimisme serupa dalam hal rencana pembentukan Densus Tipikor, bahwa akan membawa keberhasilan dalam upaya simultan melakukan pemberantasan korupsi di seluruh wilayah Indonesia. Bahwa saat ini Densus Tipikor masih ditunda pembentukannya oleh pemerintah dan DPR, maka penundaan itu sebaiknya jangan terlalu lama. Masa penundaan itu hendaknya digunakan Polri untuk semakin menyempurnakan segala hal yang berkaitan dengan muatan program, strategi, dan SDM Densus Tipikor.  

Tidak dapat disangkal lagi bahwa saat ini KPK justru menjadi masalah utama dalam upaya penguatan pelembagaan sistem pemberantasan korupsi di negeri ini!  Oleh karena itu, sangat logis apabila KPK dievaluasi kembali keberadaannya. Apabila keberadaan KPK hanya berpotensi melakukan tirani terhadap negara, maka untuk apa lembaga seperti ini dipertahankan? Sejumlah blunder yang dilakukan KPK, membuat lembaga anti rasuah ini semakin tidak menarik eksistensinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun