Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Lari Berputar, Siapa yang Mengejar Siapa?

18 Oktober 2017   12:18 Diperbarui: 18 Oktober 2017   12:32 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan, saat DPR RI sebagai lembaga pengawasan dalam pranata sistem ketatanegaraan hendak melakukan koreksi dan perbaikan terhadap KPK melalui Pansus Angket KPK, elemen-elemen KPK justru bermanuver melalui opini publik seolah-olah barisan koruptor sedang hendak menyerang dirinya. Intrik sempit semacam ini tampaknya dimaksud untuk mengaduk-aduk sentimen publik dalam rangka membela KPK, dan menyerang DPR sebagai institusi sarang korupsi. Benar bahwa ada oknum-oknum anggota DPR yang menjadi pelaku korupsi, tetapi jangan karena fakta itu lembaga DPR pun dikebiri melalui opini publik sebagai sekedar lembaga sarang koruptor. 

Dalam pada itu, para pegiat aktivis atau lembaga anti-korupsi sepertinya sengaja menutup mata seolah-olah KPK tidak bisa keliru dan atau salah mentersangkakan seseorang. Apa sesungguhnya simbiosis yang bertumbuh diantara aktivis-aktivis anti-korupsi dengan KPK? Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari manuver para aktivis anti-korupsi ini? Publik harus pula mencermati jangan sampai ada agenda-agenda tersembunyi dari wacana anti-korupsi yang sengaja dihembuskan oleh pihak asing, melalui kecanggihan jejaring media untuk menghembuskan angin saling curiga diantara sesama anak bangsa. Dalam beberapa kasus, kekuatan kapitalis internasional acapkali menggunakan sarana adu-domba (devide et impera)melalui kaki-tangan komprador.

Sikap keras parpol yang terekspresikan dalam keanggotaan fraksi di Pansus Angket KPK, mengkonfirmasikan adanya upaya serius DPR untuk menata dan memulihkan karut-marut manajemen pemberantasan korupsi versi KPK. Fraksi Partai Golkar di DPR RI misalnya menunjukkan sikap kritis terhadap KPK semata-mata untuk memulihkan citra KPK. Bagi Partai Golkar, ekspresi politik dalam Pansus Angket berkorelasi langsung dengan kepentingan politik kenegaraan, dan bukan sekedar mengejar keuntungan kemenangan elektabilitas. Oleh sebab itu, dalam berbagai kesempatan, otoritas Golkar selalu mengajak berbagai elemen bangsa untuk tidak berprasangka buruk terhadap ikhtiar untuk memperkuat KPK diantaranya melalui kiprah Pansus Angket KPK DPR RI. 

Belakangan ini, sedang ramai wacana mengenai kemungkinan muncul kembalinya komunisme di Indonesia. Begitu traumatiknya isu komunisme bagi benak kolektif bangsa Indonesia, lebih khusus lagi isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) di negeri ini. Menariknya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dalam suatu acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, menyitir pesan dari Anggota DPR RI Masinton Pasaribu, bahwa KPK pun harus diwaspadai karena manuvernya sudah mirip-mirip PKI karena dengan sengaja mengadu-domba sesama bangsa Indonesia.

Ibarat Lari Berputar

Dalam perspektif supremasi hukum di negeri ini, KPK semestinya bergerak dalam satu tarikan napas gerakan pemberantasan korupsi, diantaranya dengan bersinergi secara kuat dengan Polri dan Kejaksaan yang juga memiliki kewenangan dalam hal penyelidikan dan penyidikan perkara pidana korupsi. KPK tidak boleh digunakan sebagai alat politisasi bagi kelompok kepentingan (vested group), dalam rangka memburu rente kekuasaan.   Dengan kata lain, KPK jangan dijadikan sebagai alat mobilisasi politik kekuasaan.

Merujuk pada manuver-manuver KPK yang dilancarkan selama ini diantaranya melalui jurus primadonanya Operasi Tangkap Tangan (OTT), kita patut bertanya, sesungguhnya apa yang sedang diburu oleh KPK? OTT yang cenderung menyasar para politisi, mengundang tafsir bahwa KPK sedang pula melakukan intrik 'politics by order' untuk mendemoralisasi figur-figur tertentu. Mana yang lebih bermakna, KPK membongkar kasus-kasus korupsi berskala raksasa seperti kasus BLBI, kasus Pelindo, kasus Bank Century, dan lain sebagainya?

Mengapa KPK lebih tertarik menguber-uber target OTT dengan nilai 'recehan' puluhan atau ratusan juta belaka? Isu internal lain yang mencuat dari dalam tubuh KPK misalnya perihal keberadaan "penyidik independen", bagaimana KPK menjelaskan nomenklatur semacam ini dari perspektif hukum acara dalam perkara pidana? Semenjak kapan literatur hukum memungkinkan atau menyediakan nomenklatur perihal penyidik independen ini? Rentetan pertanyaan inilah yang patut dijawab secara sportif oleh KPK.     

Mencermati kecendurungan manuver dan intrik politik yang dilakukan KPK, maka sudah saatnya agar negara dan rakyat bersikap fair dalam melihat keberadaan KPK; apakah masih bermanfaat atau memang sudah seharusnya dikoreksi keberadaanya. Sebagai lembaga yang bersifat sementara (ad hoc)yang dibentuk akibat kondisi darurat korupsi yang dialami negeri ini pasca reformasi 1998, maka sudah seharusnya KPK terus-menerus dikoreksi untuk membuatnya lebih baik dan lebih kuat dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dalam rangka mendorong kebijakan pemberantasan korupsi  secara lebih masif dan komprehensif, maka sudah saatnya pemerintah dan DPR mendukung penuh eksistensi Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri, dalam rangka efektivitas pemberantasan korupsi di seluruh Indonesia. Hal mana mengingat Polri memiliki  "perpanjangan  tangan" hingga ke tingkat desa di seluruh wilayah Indonesia.

Energi penguatan kebijakan pemberantasan korupsi juga perlu diberikan kepada Kejaksaan agar Kejaksaan dan Polri lebih kuat dalam menunaikan misi pemberantasan korupsi. Kalau penguatan Polri dan Kejaksaan dalam kewenangan pemberantasan korupsi itu berlangsung efektif dan amanah, maka secara de facto maupun de jurekeberadaan KPK tidak diperlukan lagi mengingat institusi ini memang bersifat ad hoc.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun