Mohon tunggu...
Desi Parlina
Desi Parlina Mohon Tunggu... -

Aku bukan seorang penulis tapi aku hanya orang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Beri Aku Kesempatan Untuk Menyatukan Kalian

6 Mei 2010   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_134920" align="aligncenter" width="500" caption="dok.pribadi (milik Ika.M) "][/caption]

Dua bulan yang lalu aku bikin rencana untuk ngajakin teman-teman semasa sekolah dulu untuk ngumpul-ngumpul.Rencananya sih hanya mau kangen-kangenan gitu. Karena kebanyakan teman-temanku berdomisili di sekitar palmerah slipi makanya aku memutuskan untuk ngumpul di Slipi Jaya Plaza. Ternyata usahaku mengumpulkan mereka cukup sukses, karena lumayan banyak yang datang.

[caption id="attachment_134937" align="alignright" width="300" caption="dok.pribadi (Ika.M)"][/caption]

Aku, Marlina dan Aisyah berangkat bareng karena kebetulan rumah kami berdekatan. Kami pun naik kopaja 88, mmm….lumayan deg-degan naek kopaja karena sudah lama aku nggak naik kendaraan umum yang satu ini.

Pengamen silih berganti naik turun, nyanyi sana nyani sini. Apa yang aku takutkan ternyata terjadi, setalah pengamen itu pergi datanglah dua orang pemuda dengan celana jeans lusuh dan penuh sobekan (anak metal kaleeee….). Entah mengapa pas kedua orang itu membuka mulut, jantung aku langsung dag…dig…dug (ketakutan).

Dua pemuda itu bukan mengamen juga bukan membaca pusi seperti yang dilakukan anak-anak jalanan yang lain melainkan mengancam dengan memberikan informasi bahwa dirinya baru saja keluar dari penjara karena kasus pembunuhan. Yang bikin aku gemetar ketakutan ketika salah satu pemuda itu mengakui bahwa yang dibunuh adalah ibu kandungnya sendiri!!! Entah benar atau tidak sepertinya dua pemuda itu berhasil membuat penumpang di kopaja itu ketar-ketir.

Satu persatu penumpang di hampiri, dengan penuh ancaman mereka memaksa minta uang dari para penumpang, nggak boleh gopek minimal harus seribu. Whats??? Koq maksa banget ya…Yang aku liat hampir semua penumpang terpaksa ngasih seribu. Kebetulan di kopaja itu mayoritas penumpangnya memang wanita. Dibelakang ku dengar rebut-ribut ternyata si pemuda itu sedang mengancam salah satu penumpang wanita yang nggak mau ngasih seribu. “Awas…lo ya!!!” ancam si pemuda itu sambil berlalu.

Setelah dua pemuda itu turun dari kopaja yang ku tumpangi hati agak terasa lega. Jujur aja aku gregetan liat dua pemuda itu, pengen aku gigit rasanya!!! (hehehe….kayak si guk guk aja). Whuuufff…sampe di depan menara peninsula kami (aku, marlina, aisyah) turun dari kopaja. Untuk mencapai PiJay (Slipi Jaya) sudah pasti harus nyeberang (kalau dari arah cengkareng). Aku naikin jembatan penyeberangan itu, nggak ada yang berubah, dipinggir-pinggir masih ada pedagang kaki lima dan yang lebih membuat aku terkesima, ada sosok yang wajahnya masih aku kenali sampai sekarang.

Sudah hampir 11 tahun berlalu, tapi sosok itu masih tetap disana, di jembatan penyeberangan itu. Duduk sambil menyeret langkahnya (ngesot) dengan sapu lidi ditangan kanannya, menyapu membersihkan sepanjang jembatan penyeberangan itu. Dengan cara itu dia meminta belas kasihan dari orang-orang yang lalu lalang. Mungkin jika nggak ada pengemis itu sudah pasti jembatan penyeberangan itu kotor dan di penuhi sampah berserakan. Aku memang tak tau pasti apakah benar pengemis itu benar-benar cacat atau sekedar pura-pura, karena memang tidak bisa di pungkiri saat ini ada sebagian pengemis yang hanya pura-pura miskin.

Guratan diwajahnya mulai terlihat, kulitnya makin menghitam dan rambutnya juga mulai memutih. Jujur saja perasaanku tak pernah berubah meskipun sudah 11 tahun aku tak bertemu dengan pengemis itu. Rasa yang tak pernah hilang…rasa iba itu tetap bersemayan dalam hatiku.
Sesampai di Pijay aku menuju tempat ngumpul yang sudah di rencanakan sebelumnya. Sudah ada beberapa teman yang sudah menunggu.

“Hai…” sapaku sambil cipika cipiki

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun