Mohon tunggu...
Sagita Purnomo
Sagita Purnomo Mohon Tunggu... -

Bagiku menulis sama pentingnya dengan Bernafas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Polantas Strike Again

25 Desember 2014   16:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:28 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya penulis menjadikorbandarikeganasanoknumPolisiLaluLintas (Polantas) berompi hijau yang berusaha mencari rezeki dengan cara tidak halal dengan memalak. Kamis (16/10) lalu sekitar pukull 7.35 WIB, saat menuju ke tempat kerja yang berlokasi di kawasan Kesawan, penulis terjebak macet di simpang lampu merah Gelugur Kota.

Saat itu, kondisi lalu lintas sedang padat merayap, tiba-tiba dari arah depan ada oknum polisi lalu lintas yang meminta penulis untuk maju melewati garis pembatas (garis penyebrangan). Padahal tepat dipersimpangan itu terdapat pamflet yang dikeluarkan oleh Ditlantas yang isinya berupa imbauan kepada para pengguna kendaraan untuk berhenti di belakang garis. Tetapi entah mengapa oknum polisi ini menyuruh penulis untuk berhenti di depan garis.

Padahal hal tersebut dilarang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Karena tidak mau mengikuti perintah oknum polisi ini, akhirnya ia datang menghampiri penulis dan menanyakan surat-surat kelengkapan berkendara.Karena sadar telah melakukan pelanggaran hukum dengan mengemudi tanpa membawa SIM C, penulis meminta kepada oknum polisi yang berkulit hitam dan berkumis tipis tersebut untuk membuat surat tilang atas pelanggaran yang penulis lakukan.

Saat meminta ditilang, oknum polisi ini justru menanyakan uang yang ada di dompet penulis untuk menebus STNK dan KTP yang ditahannya. Penulis sempat berdebat untuk meminta tilang, tapi karena hari yang semakin siang dan takut telat masuk kerja akhirnya penulis memberikan selembaran uang sebesar Rp 50.000, karena hanya tersisa dua lembar uang ini di dalam dompet.

Ketika penulis mengeluarkan uang, oknum polisi tersebut menunjukkan ekspresi kegembiraan dengan tersenyum kecil. Penulis juga sempat meminta kembalian dari uang tersebut, akan tetapi oknum polisi ini tidak bersedia memberinya dan segera meminta penulis untuk meninggalkan pos Simpang Gelugur ini.

Preman MasaKini

Mungkin bukan hanya penulis yang pernah mengalami peristiwa seperti ini, pastinya hampir sebagian besar pera pengguna kendaraan roda dua di Kota Medan pernah berurusan dengan oknum polisi yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya demi mendapatkan penghasilan tambahan. Perbuatan oknum Polantas di Kota Medan semakin membuat masyarakat resah. Ketika mendengar atau melihat polisi dengan rompi hijau di jalanan pasti akan timbul sedikit rasa takut karena polis Medan terkenal dengan image ‘mencari-cari kesalahan pengendara’.

Istilah damai di tempat sudah begitu femiliar di telinga warga kota terbesar ketiga di Indonesia ini. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab setiap urusan yang berhubungan dengan polisi selalu berujung dengan uang dan uang. Masyarakat seakan sudah kehilangan kepercayaan dengan institusi yang satu ini akibat ulah tak bertanggung jawab yang dilakukan oleh ‘sebagian kecil’ anggotanya.

Mendapat perspektif buruk dari masyarakat, polisi bukanya jengah atau berusaha memperbaiki citranya. Mereka justru berbuat sebaliknya dan bahkan semakin membabi buta. Jika tidak percaya, pembaca sekalian dapat prilaku menyimpang oknum polisi di kawasan Padang Bulan (Simpang Selayang) atau jalan Gatot Subroto dan Iskandar Muda. Coba tanya dan lihat saja apa yang dilakukan oleh oknum polisi yang mengendarai mobil dinasnya terhadap para pemilik hotel di kawasan-kawasan tersebut. Mereka biasanya harus membayar Rp 5.000 sampai Rp 10.000 kepada oknum polisi yang datang antara dua sampai tiga kali dalam seminggu.

Hal tersebut dilakukan dengan dalil sebagi uang keamanan agar hotel mereka tidak dirazia maupun digerebek. Sebab, apabila suatu hotel sering dirazia, maka para pengunjung akan takut untuk cek in di hotel tersebut dengan alasan tidak aman. Ini belum lagi aksi palak yang dialkukan oleh oknum kepolisian di wilayah petisah terutama dekat sekolah Raksana yang sering berkeliaran dengan mengendarai kereta trealnya sambil menghidupkan HT. Polisi ini kerap memberhentikan kendaraan, terutama sepeda motor yang melintas dan menanyai kelengkapan berkendara seperti suarat-surat dan lain sebagainya dengan dalil sedang melakukan razia narkoba atau preman.

Lagi dan lagi, karena tidak memiliki SIM penulis selalu menjadi korban pemalakan secara paksa. Apabila penulis tidak memberikan uang sesuai dengan jumlah yang dimintanya atau membeli tiga bungkus rokok dan air mineral, oknum polisi ini mengancam akan membawa sepeda motor untuk ditahan. Dari sini terlihat jelas bahwa, skarang ini ulah sebagai oknum kepolisian sudah meenyamai preman di zaman Olo dahulu yang dengan bebasnya memalak warga masyarakat dengan menganggarkan otoritas jabatan.

Pelaku Kejahatan

Sebenarnya masih banyak polisi baik di Kota Medan ini, hanya saja karena ulah dan prilaku oknum yang tidak bertanggungjawab ini menjadikan citra polisi Medan sangat buruk di mata warganya. Pernah suatu ketika penulis melihat salah-satu polisi yang sedang membantu seorang wanita mendorong mobilnya yang mogok ditengah jalan. Selain itu, perbuatan mulia polisi di kawasan Simpang Pos yang mengatur arus lalulintas di kawasan tersebut saat hujan deras mengguyur kota. Hal ini juga patut diberi apresiasi.

Hanya saja ulah sebagian keci oknum polisi nakal ini membuat citra baik tersebut menjadi hilang tak berbekas di mata masyarakat. Polri sebenarnya sudah paham dan mengerti akan masalah elektabilitas yang menurun ini. Karena itu setiap harinya kita akan melihat wajah-wajah para polisi cantik dan ganteng yang menghiasi salah satu stasiun televisi swasta untuk menyampaikan laporan lalu lintas.Bukan hanya itu, di stasiun televisi lainya juga terdapat suatu program reality show yang menceritakan tentang kerasnya resiko dan pengalaman yang harus dihadapi oleh polisi dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Selain itu, masih banyak lagi bantuk pencitraan yang dialkukan oleh polisi untuk memperbaiki integritasnya.

Akan tetapi hal itu saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan tindakan tegas kepada anggota yang melakukan berbagai bentuk pelanggran, terutama melakukan pungli. Biasanya apabila ada masyarakat yang dapat mengadukan prilaku oknum polisi ini ke kantor polsek terdekat, mereka justru memberi tanggapan dingin kepada masyarakat. Sementara untuk layanan hot line (no pengaduan) juga hanya didengarkan saja tanpa adanya tindakannyata.

Saat ini masyarakat hanya bisa mengandalkan Indonesia Police Watch (IPW) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hanya saja tidak semua orang tahu dan mengerti bagaimana mekanisme untuk menyampaikan keluhannya atas tindakan menyimpang yang dilakukan oleh oknum polisi yang menyimpang. Harusnya pihak terkait yang memiliki wewenang menindak satuan yang melakukan penyimpangan tidak hanya memberi sanksi berupa surat teguran saja. Melainkan melakukan rehabilitas terhadap oknum polisi yang melakukan pungli kepada masyarakat. Karena tindakan pungli kepada masyarakat merupakan salah satu ciri gangguan kejiwaan yang dialami oleh oknum polisi.

Sesungguhnya mereka suda tahu bahwa pungli merupakan perbuatan yang melanggar sumpah jabatan, kode etik, peraturan porli dan prosedur tetap. Lantas mengapa masih dilakukan? Jawabnya jelas, oknum polisi yang melakukan pungli tersebut tengah mengalami gangguan ringan kejiwaan dan mentalnya. Untuk apa bertugas sebagai parat pelindung masyarakat jika pada prakteknya polisi justru menjadikan masyarakat sebagi bahan komoditi apabila sedang terdesak kebutuhan ekonomi?

Ini menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh Kapolri, Jendral Sutarman. Tingkatkan insentif maupun gaji para polisi agar mereka tidak mengalami masalh finansial. Percepat proses regenerasi dan kenaikan pengkat sertadilakukannya bina mental maupun rehabilitasi bagi oknum polisi yang melakukan pelanggaran, agar tercipta institusi yang sehat dan masyarakat tidak lagi jijik dengan prilaku oknum penegak hukum berompi hijau yang sukanya bersembunyi di pinggir jalan sambil menunggu mangsa itu. Semoga saja***

Penulis adalah alumni FH UMSU 2014 dan pengamat masalah sosial masyarakat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun