Mohon tunggu...
Annisa Rahmania
Annisa Rahmania Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ke Baduy, Sekali Lagi!

3 April 2016   16:21 Diperbarui: 6 April 2016   22:39 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik matahari menyambut kedatangan kami di tanah ini. Ada rasa haru sekaligus rindu ketika saya menjejakkan kaki di sini. Nostalgia tak terelakan. Semringah pun terpancar di wajah. Enam tahun berlalu, rasanya ada yang berubah dari wajahmu. Baduy, saya kembali! 

Dulu dan sekarang

Ngeri! Itulah kesan yang sempat muncul ketika saya akan berkunjung ke Baduy Dalam, tepatnya ke Kampung Cikeusik. Pasalnya, di perjalanan kali ini, saya mengajak bayi saya yang berusia 10 bulan. Ada rasa was-was untuk menghabiskan malam atau sekadar bertamu. Meski demikian, keinginan untuk bersilaturahim dengan sebuah keluarga di kampung ini pun mampu menepis kesan mistis yang selama ini ada di pikiran.

Menjejak di Cijahe, saya merasa pangling. Dulu, desa ini terbilang sepi. Hanya terdapat 2-3 warung yang menjual kebutuhan pokok sederhana. Tak banyak orang lalu lalang. Hanya satu dua yang terlihat duduk-duduk manis di kursi depan rumah. Kini, Desa Cijahe mulai ramai. Bale-bale berdiri di sana-sini. Rumah yang dulu berfungsi sebagai tempat tinggal kini mulai bertambah fungsi sebagai kios suvenir, WC umum, atau sekadar tempat nongkrong para sopir yang menunggu penumpangnya selagi berkeliling di Baduy Dalam. 

Lahan luas yang dulu hanya ditempati oleh rumput hijau, kini juga ditempati oleh mobil-mobil. Ada mobil yang sekadar singgah mengantar tamu, ada pula yang lantas parkir berjam-jam. Tak hanya itu, gubuk sederhana bertuliskan “pangkalan ojek” pun ikut meramaikan desa yang menjadi “pintu masuk” Baduy di wilayah selatan ini. Ini artinya, Baduy semakin populer sebagai tujuan wisata. Tak hanya “gerbang utama” Ciboleger yang dikenal oleh pengunjung, “jalan tikus” Cijahe pun diam-diam mulai diketahui. Tak heran, melalui Ciboleger, Baduy Dalam ditempuh dalam waktu berjam-jam berjalan kaki. Sedangkan melalui Cijahe, Baduy Dalam hanya berjarak sepanjang jembatan bambu.  

Benar saja. Geliat Baduy semakin ketara. Setelah menyeberangi jembatan bambu khas Baduy yang menjadi perbatasan wilayah Baduy dengan luar Baduy, kami disambut oleh plang “Selamat Datang di Baduy”. Tak sekadar plang, kini berdiri sebuah “pos” jaga yang dipenuhi oleh masyarakat setempat, baik orang Baduy asli yang sedang duduk-duduk maupun masyarakat luar Baduy yang akan menjadi guide. Setiap tamu yang datang diharuskan mengisi buku tamu, mengemukakan tujuan, serta mengisi kotak sumbangan—seikhlasnya. Setelah itu, seorang guide siap mengantarkan.

Berbeda dengan tamu kebanyakan, saya dan suami memutuskan untuk tidak menyewa guide karena kami masih ingat betul rute menuju rumah Aki Dainah—rumah yang menaungi saya ketika melakukan penelitian selama sepuluh hari sepuluh malam. Karena tinggal di rumah itu pula saya bisa menjadi sarjana di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

[caption caption="mendaki sambil menggendong"][/caption]Lagi, saya dan suami melintasi jalan setapak yang dulu kami lalui. Selain bangunan-bangunan baru dan keramaian yang menyertainya, jalan setapak ini juga berubah. Jalan tanah ini menjadi lebih lebar sehingga jalur semakin terbuka. Di beberapa tempat, ditanam pagar pembatas dan anak tangga yang dibuat dari potongan-potongan bambu sehingga memudahkan kita berjalan, terutama saat tanah menjadi licin akibat hujan. Tak hanya itu, ilalang yang dulu tumbuh di kanan-kiri kini tak terlihat lagi. Hanya ada ladang terbuka sehingga mata bisa jauh memandang. Cikeusik mulai tertata.

*

Tiba di sebuah saung[1], kami disambut sepasang suami istri paruh baya yang wajahnya sudah saya rindukan. Sayang, mereka tak lagi ingat dengan saya. Memang, saya sudah mengantisipasi hal ini sehingga saya membawa beberapa lembar foto agar mereka bisa mengingat. Benar saja! Melihat foto-foto tersebut, mereka pun mulai mengingat saya. Nostalgia pun kembali terulang. Kini tak hanya lari di kepala, melainkan menjadi bahan perbincangan di antara kami.

Bersama si bayi, saya kembali menempati teras depan. Ruang inilah yang menjadi “kamar” kami selama tiga hari ke depan. Berbeda dengan saat menjadi mahasiswa yang cenderung cuek tidur di mana saja, kali ini saya memikirkan si bayi yang harus tidur di ruang terbuka saat malam hari. Pasalnya, bukan alas tidur dan selimut yang saya pikirkan, melainkan teman tidur kami: ayam, burung, kucing, dan anjing. 

Ya…di teras ini kami tidur bersama satu ekor burung beo dalam sangkar yang terus berbicara “ngopi bos” sepanjang hari, empat ekor anak kucing yang terus lalu lalang dan berusaha tidur di selimut kami, serta entah berapa banyak ayam yang sesekali terbang dan bertengger di bambu yang melintang tepat di atas kepala, lantas berkokok sekenanya. Belum lagi suara dengusan anjing yang ada di kolong saung. Beruntung, si bayi tetap nyenyak selama tidurnya. Kekhawatiran akan hal-hal “aneh” yang akan mengganggu si bayi pun terbantah.

Terlepas dari itu semua, aki dan ninik sama sekali tidak berubah. Raut wajahnya pun tetap sama. Tak terlihat tambahan kerutan di wajah. Sehari-hari, mereka masih melakukan kegiatan yang sama, yakni berladang, mengambil ikan yang terperangkap bubu di sungai, dan mengurus rumah tangga. Sikap mereka yang selalu ramah membuat saya terus ingin kembali ke sini, sekali lagi dan sekali lagi!

Disambut durian

Pada perjalanan kali ini, ada satu pemandangan unik yang tak saya lihat pada enam tahun lalu. Ada durian di mana-mana. Ya, durian memenuhi Cikeusik! Beruntunglah masyarakat Baduy yang dianugerahi hutan durian! Di dalam hutan mereka nun jauh di sana, terdapat banyak sekali pohon durian. Pohon-pohon durian yang ada di hutan Baduy memang tumbuh secara alami. Beruntung, pohon-pohon tersebut bisa tumbuh dengan subur sehingga dapat menghasilkan buah yang berkualitas.

[caption caption="durian baduy"]

[/caption]Bulan Desember hingga Januari menjadi puncak musim panen durian di Baduy. Nggak heran, bila ke sana pada bulan tersebut, kita akan melihat tumpukan buah durian di mana-mana. Tumpukan durian sudah bisa kita lihat jauh sebelum kita tiba di daerah Baduy, seperti warung-warung pinggir jalan raya menuju kampung Baduy. Mendekati kampung Baduy, kita bisa melihat kegiatan masyarakat yang sedang menyusun ratusan durian ke mobil bak terbuka ataupun truk. Terlebih, saat memasuki kampung Baduy, kita akan melihat masyarakat Baduy yang hilir mudik memikul durian untuk dijual. Tak hanya itu, nyaris di setiap rumah masyarakat Baduy terdapat tumpukan durian.

Selama musim panen, durian di Baduy layaknya pempek di Palembang. Dari pagi hingga malam, durian menjadi camilan. Selain durian matang, warga Baduy juga mengonsumsi durian mentah. Saya sempat mencoba durian mentah yang mereka makan. Teksturnya seperti salak, tetapi dengan rasa tawar. Tak hanya dimakan langsung, durian mentah juga bisa ditumis lantas dimakan bersama nasi panas. Enak!

Parenting ala Baduy

Kekhawatiran saya atas bayi yang tidak nyaman tinggal di Baduy betul-betul tak beralasan. Faktanya, setelah merasa cukup beradaptasi dengan mengamati lingkungan baru di sekitarnya, si bayi langsung wara-wiri. Ia asyik mengacak-acak somong[2] yang tertumpuk di nampah. Saat diletakkan di tanah, ia pun asyik merangkak dan sesekali menyelinap di ladang sawah. Tak hanya itu, ia juga semangat saat dimandikan di pancuran bambu yang airnya berasal dari mata air. Si bayi juga senang bermain bersama cucu-cucu aki yang umurnya sebaya.

Melihat si bayi berinteraksi dengan bayi-bayi Baduy, saya pun tergerak untuk menanyakan perihal cara-cara keluarga Baduy dalam mengasuh anak-anaknya. Tak mengenal rumah sakit, perempuan Baduy yang mau melahirkan akan memanggil paraji[3]. Buat mereka, nggak ada istilah melahirkan di bidan ataupun rumah sakit, hanya ada melahirkan dibantu paraji. Demikian pula dengan cara lahiran, hanya ada satu cara yakni melahirkan secara normal. Saya sendiri bertanya-tanya, bagaimana dengan bayi atau ibu yang mengalami kondisi darurat, seperti bayi terlilit tali pusar, posisi bayi sungsang, atau ibu mengalami perdarahan. “Ya...selama ini kalau (perempuan) melahirkan, nggak ada (kasus) yang aneh-aneh,” jawab aki.

Berbeda dengan anjuran menyusui yang digalakkan pemerintah—ASI eksklusif selama enam bulan, di Baduy seorang ibu biasa menyusui anaknya hingga berusia 3-4 tahun. Selain tak mengenal susu formula, mereka juga tak ada biaya untuk membelinya. Meski pro-ASI, mereka juga tak mengenal istilah ASI ekskluisf. Bagi mereka, kalau si bayi sudah terlihat ingin makan, mereka akan memberikannya—tak berpengaruh dengan usia bayi. Nggak heran, bayi berusia 3 bulan sudah diberi kue cucur serta gorengan jenis lainnya. Di usia 6 bulan, seorang bayi di Baduy sudah “boleh” makan durian.

Di Baduy, memang tidak tersedia kamar mandi sehingga penduduk Baduy terbiasa mandi di sungai. Demikian pula dengan bayi-bayi mereka. Saat menemani seorang ibu memandikan bayinya di sungai, saya mengamati batapa cekatannya ia. Bayi akan didudukan di salah satu punggung kaki ibu yang bertumpu pada batu, kaki lainnya terendam di dasar sungai untuk menjaga keseimbangan. 

Selanjutnya, tangan kiri ibu memegang salah satu tangan bayi, sedangkan tangan kanan ibu menyiram, mengusap, dan membilas bayi. Alih-alih menggunakan sabun dan sampo yang tidak diperbolehkan karena dapat mencemari sungai, ibu memilih menggosok badan dan rambut bayi dengan jeruk nipis yang dibelah dua. 

Untuk membersihkan telinga bayi, ia tentunya tidak menggunakan cottonbud, melainkan pantat peniti—bagian besi yang melingkar. Itulah salah satu contoh cara sederhana seorang ibu di Baduy dalam menjaga kebersihan bayinya. Lantas, bagaimana dengan cara mereka dalam menjaga kesehatan bayinya, adakah istilah imunisasi dalam kamus bahasa Baduy?

Di waktu berbeda, saat saya menginap di Kampung Gajeboh, Baduy Luar, saya berbincang dengan seorang bapak. Sebut saja Akang. Sebagai orang Baduy Luar yang sering berhubungan dengan masyarakat luar Baduy, Akang diminta untuk menyosialisasikan manfaat imunisasi kepada ibu-ibu di sekitarnya, terutama mereka yang memiliki bayi dan balita.

Sebelumnya, masyarakat Baduy memang cukup tertutup dengan pengobatan modern, termasuk imunisasi. Saat petugas kesehatan datang, ibu-ibu akan menghindarinya, misalnya dengan langsung masuk ke dalam rumah lantas menutup pintu. Akibatnya, tingkat kematian bayi dan balita cukup tinggi. Menurut Akang, penyebab utama kematian bayi dan balita di tempatnya adalah diare yang ditangani terlambat.

Lambat laun, Akang memberi pemahaman kepada ibu-ibu di sekitarnya bahwa imunisasi atau sekadar mendengarkan informasi tentang kesehatan bayi dan balita dari penyuluh kesehatan bukanlah hal yang buruk. Sejak saat itu, secara perlahan, ibu-ibu mulai terbuka dengan berbagai informasi seputar kesehatan bayi dan balita. Mereka juga mulai menjaga kebersihan dan kesehatan anak-anaknya dengan lebih baik. Angka kematian bayi dan balita yang disebabkan oleh diare pun menurun.

Akang sendiri bertanya-tanya, mengapa orang Baduy tidak mau dan tidak boleh berobat dengan pengobatan modern. Padahal, menurutnya, obat-obatan alami tidak lagi mampu menyembuhkan penyakit yang dialami orang Baduy masa kini. “Makanan kami sekarang berbeda dengan makanan leluhur kami. Leluhur kami hanya makan makanan alami, sedangkan kami makan mi instan, jajan ini-itu, dan minum ini-itu. 

Ya jelas, penyakit orang Baduy dulu berbeda dengan penyakit orang Baduy sekarang. Obat alami yang dipakai orang Baduy dulu, tidak bisa dipakai orang Baduy sekarang. (Penyakit kami) harus diobati dengan obat modern,” tegasnya.

Mendengar perkataannya, saya hanya bisa mengangguk. Rupanya, ada juga orang Baduy yang memiliki pemikiran seperti ini. Saya nggak tahu, apakah pemikiran Akang ini membuat Baduy mengalami kemajuan atau malah kemunduran?

***

[1] Saung adalah sebutan rumah masyarakat Baduy yang berada di dekat ladang, bukan rumah adat yang membentuk kampung. Aki dan Ninik Dainah sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya di saung daripada di rumah adat. Biasanya, mereka ke rumah adat hanya sekadar mengecek kondisi rumah atau saat ada acara adat yang mengharuskan mereka berkumpul.
[2] Gelas yang terbuat dari bamboo.
[3] Dukun beranak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun