Mohon tunggu...
Erka Rahman
Erka Rahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemburu kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembang Sungsang

19 Juni 2014   17:14 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sedang galau. Sudah seminggu kucing-kucingan sama induk semang tempat aku ngekost. Semalam, ketika aku baru pulang dari laboratorium kultur jaringan tanaman, aku mendapati surat ancaman tergeletak di bawah pintu kamar kosku. Isinya jika sampai akhir bulan tak melunasi tunggakan selama 3 bulan silahkan angkat kaki!. Kau tahu, padahal baru sebulan yang lalu aku dapat surat cinta dari rektorat. Dan kegalauanku menjelma hantu karena aku akan harus meninggalkan kembang sungsang yang kutanam di beranda kosan.

Kau tahu, aku sangat menyayangi kembang sungsang. Aku menemukannya sewaktu mendaki gunung Salak enam bulan yang lalu. Aku cuil umbinya yang sebesar bujari tangan. Lalu kutanam di pot tanah liat. Agroekofis di kota hujan tampaknya sesuai dengan kembang sungsang. Kini tingginya sudah mencapai plafon di beranda. Ia tanaman merambat. Daunnya berbentuk lanset. Tepi daun rata dan ujung daunnya mempunyai sulur sebagai alat pembelit. Bunganya berwarna merah semu kuning. Lalu menjelma merah menyala. Kelopaknya bergelombang kriwil-kriwil. Saat mekar mahkota bunganya terbalik. Aku suka memandanginya saat senja tiba. Menemaniku membaca novel atau puisi. Aku sayang sekali sama kembang sungsang. Setiap pagi dan sore kusiram. Dan seminggu sekali kuelus-elus daunnya menggunakan susu agar luput dari debu. (Aku benci sama angkot-angkot yang bersliweran di jalan di depan kosan yang menebarkan debu. Menghidu asap knalpotnya saja membuat mulas perutku). Kini ia telah berbunga tujuh kuntum. Namun aku tak tega memetiknya saat kupindah nanti. Bahkan gagasanku untuk membuat kreasi oshibana dari mahkotanya, aku buang jauh-jauh. Aku teringat salah satu stanza puisi Sapardi Djoko Damono, yang berjudul “Sonnet: Hei! Jangan Kaupatahkan.”

Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu

ia sedang mengembang; bergoyang-goyang

dahan-dahannya yang tua

yang telah mengenal baik, kau tahu,

segala perubahan cuaca.

Kemudian saat malam tiba aku sering berbagi cerita dengannya. Aku bercerita tentang petualanganku mendaki gunung-gunung. Tentang karangan-karanganku yang tak pernah selesai. Tentang seseorang yang aku jatuh suka diam-diam. Tentang curhat-curhat busukku. Dan tentang obsesiku untuk membangun botanical garden di kota kelahiranku kelak. Aku tahu ia hanya tanaman yang tak punya telinga untuk mendengar dan lisan untuk berujar. Tapi barangkali ia juga punya bahasa lain yang tak dimengerti manusia. Yang kata-katanya hanya mampu diterjemahkan oleh angin atau selenting daun jatuh. Aku suka bersamanya karena ia pendengar yang baik. Dan barangkali jika ia manusia tipe kepribadiannya serupa dengan plegmatis yang damai.

Akhir bulan nanti, aku harus meninggalkan kosan jika tak mampu membayar tunggakan. Dan aku akan kehilangan kawan tempat aku berbagi pikiran dan perasaan. Sendirian.

Kota Hujan, 11 Juni 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun