Islam tidak melarang umatnya berutang ketika melakukan transaksi muamalah dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi agama memberikan rambu-rambu agar manusia tidak meremehkan perkara ini. Orang yang berutang wajib melunasi utangnya sesuai dengan jumlah yang dipinjami oleh pemberi utang dan tidak mengulur-ulur waktu pembayaran apabila dia mampu untuk membayarnya.
Utang yang tidak terlunasi akan menjadi batu sandungan bagi seorang hamba untuk menjadi penghuni surga. Bahkan nabi enggan menyalatkan jenazah orang yang terlilit utang sampai ada yang bersedia menjadi penjamin utangnya. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak ingin umatnya menyepelekan urusan pembayaran utang. Â Rasulullah bersabda:
( )
Dari Salamah bin al-Akwa' ra. Bahwa nabi Saw dihadirkan kepada beliau satu jenazah agar dishalatkan. Maka beliau bertanya: "Apakah orang ini punya hutang?" Mereka menjawab: "tidak". Maka beliau menyalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada beliau, maka beliau bertanya kembali: "apakah orang ini punya hutang?" Mereka menjawab: "ya". Maka beliau bersabda: "shalatilah saudaramu ini". Berkata Abu Qatadah: "biar nanti aku yang menanggung hutangnya". Maka beliau Saw menyalatkan jenazah itu. (H.R. al-Bukhari no. 2295)
Berutang bukanlah perbuatan tercela, tapi bukan berarti kita boleh menggampang-gampangkan utang. Sebaiknya kita menghindari berutang, kecuali dalam kondisi genting, di mana tidak ada pilihan lain selain berutang untuk memenuhi kebutuhan yang amat mendesak. Sifat malas membayar utang akan menguras tabungan amal kebaikan pelakunya di hari pembalasan sebagai pengganti utangnya-utangnya semasa hidup di dunia. Rasulullah bersabda:
: : ( )
Dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang mati dan dia memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang itu akan dilunasi dengan kebaikan-kebaikannya, karena di sana tidak ada dinar dan dirham" (H.R. Ibnu Majah)
Orang yang punya niat tidak mau membayar utang, akan mendapat kehinaan di hari akhirat, status dirinya sama seperti pencuri di hadapan Allah. Na'udzu billah min dzalik. Rasululah bersabda:
( )
"Siapa saja yang berutang dan berniat untuk tidak melunasinya, maka dia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri"(H.R. Ibnu Majah)
Rasulullah sangat khawatir dirinya terlilit utang, meskipun utang itu dibolehkan. Lihatlah bagaimana beliau seringkali berdoa kepada Allah agar terhindar dari utang.
: : : ( )
Dari 'Asiyah berkata: Rasulullah Saw sering meminta perlindungan dari banyaknya utang dan dosa, salah seorang berkata: wahai Rasulullah, engkau sering meminta perlindungan dari utang dan dosa. Beliau menjawab: "sesungguhnya orang yang berutang apabila berkata ia sering berdusta, dan apabila berjanji ia sering mengingkari" (H.R. an-Nasa'i)
Dalam hadits tersebut bisa dipahami bahwa utang dapat menjadi pemicu bagi dosa-dosa lainnya, di antaranya adalah dusta dan ingkar janji yang merupakan sifat orang munafik. Orang yang gemar berutang terkadang kerap berdusta dan mengingkari janjinya. Ini sangat relevan dengan realita yang terjadi saat ini. Gaya hidup tinggi yang bertolak belakang dengan pendapatan, menjadi penyebab utama untuk gampang berutang. Ambil kredit sana sini hanya demi mempertahankan gengsi, tapi pada akhirnya justru menyiksa batin sendiri.
 Saat membutuhkan uang, dia akan mencari orang yang bisa memberikan pinjaman kepadanya, bahkan sampai mengiba sekalipun dia rela asalkan mendapat pinjaman yang diinginkan. Tetapi ketika sudah tiba waktunya untuk membayar, dia berkilah mencari-cari alasan untuk menghindar. Dusta pun tak bisa dihindari, untuk mengelabui pihak yang ingin menagih utang. Janji untuk membayar pun tak pernah ditepati, karena memang di dalam hatinya tidak punya itikad baik dan tidak mau berusaha untuk bisa melunasinya. Padahal kalau benar-benar bertekad untuk melunasi utangnya, pasti Allah akan memudahkan jalan baginya untuk itu.
Kalau menilik Q.S. Al-Baqarah: 282 yang dikenal sebagai ayat dain (utang) dan merupakan ayat terpanjang dalam al-Qur'an, sudah cukup menjadi  pelajaran bagi kita bahwa masalah utang piutang mendapat perhatian lebih dalam agama. Oleh sebab itu, ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan oleh orang yang mau berutang. Diantaranya adalah adanya perintah untuk mencatat setiap transaksi perutangan.
Syeikh as-Sa'di dalam tafsirnya menuturkan bahwa perintah untuk menuliskan segala hal yang berkaitan dengan akad perutangan bisa dihukumi wajib atau sunnah tergantung kebutuhan. Tanpa adanya catatan dikhawatirkan akan timbulnya kekeliruan, kelupaan, perdebatan dan perselisihan di kemudian hari. Dampaknya, ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Khusus bagi yang berutang, tak boleh melupakan kewajibannya untuk membayar utangnya, agar kelak tidak menjadi beban baginya ketika meninggalkan dunia ini. Maka dari itu, sebelum berutang setiap individu harus memahami dampak dari utang yang tidak dibayar terhadap dirinya di dunia dan di akhirat, sehingga dirinya tidak meremehkan utangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H