Mohon tunggu...
Safri Ishak
Safri Ishak Mohon Tunggu... Administrasi - Safri Ishak

Saya lahir di Muntok Bangka tahun 1948, pensiunan IT, domisili Tebet Barat Jakarta, belajar menulis agar tambah kawan dan biar nggak cepat pikun.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Delapan Pantai Dua Hari

26 Agustus 2011   04:18 Diperbarui: 7 September 2015   19:07 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pantai Tanjung Kelian Muntok, selayang pandang. Picture taken by Winry Marini, Muntok, March-2009."][/caption]Hampir 45 tahun saya tidak pulang kampung,  akhirnya setelah beberapa bulan persiapan diantaranya menghubungi adik kami Noviar Ishak dan memesan online ticket, maka tepat pada hari Jum'at tanggal 06-MAR-2009 bertepatan dengan ulang tahun anak kami Winry, kami memulai perjalanan pulang kampung ke Muntok, Bangka. Pukul enam pagi kurang beberapa menit, kami, Winry, istri saya dan saya berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta pakai taxi, lewat Pancoran Tebet, jalan tol dalam kota dan sampai di airport jam tujuh kurang seperempat. Karena baru pertama kali booking ticket secara online, saya agak bingung juga mau check in, biasanya untuk melalui pemeriksaan pertama security gate kita harus menunjukkan ticket. Padahal kami hanya membawa konfirmasi pembelian ticket berupa computer print out, sempat tanya sama loper yang membawa bagasi kami, rupanya computer print out tadi fungsinya sama dengan ticket, praktis, hemat kertas dan lebih ramah lingkungan. Check in di counter jurusan Jakarta Pangkal Pinang buka tepat jam 07:00 sesuai rencana, kami bawa dua luggage dengan berat total 25 kg, untuk perbandingan nanti waktu pulang ke Jakarta jadi berapa kilo sesudah ditambah oleh-oleh :). Alhamdulillah naik ke pesawat dan take off tepat waktu. Di dalam pesawat seperti biasa ditanya mau minum apa, saya dan Winry pesan teh hijau, istri saya minta kopi, setelah dihidangkan pramugari bilang semuanya tiga puluh delapan ribu pak, nah lu, kirain gratis ......... he he jaman gene mau gratis :-) Dulu tahun 1961 dari Muntok ke Jakarta naik kapal laut dan kali ini pertama kali lihat pulau Bangka dari udara, saya tidak dapat membandingkan Banka dulu sama sekarang, tetapi menurut penumpang disebelah saya sebagian hutan Bangka sudah rusak akibat penambangan timah. Pesawat mendarat di bandara Depati Amir Pangkal Pinang tepat waktu dan adik kami Noviar dan Cita sudah datang menjemput kami. Setelah mengumpulkan barang bawaan kami naik mobil menuju kota, hampir jam sebelas kami sampai di kota dan acara pertama adalah makan siang. Adik kami ngajak singgah di rumah makan Masakan Bangka Palapa Raya di jalan Masjid Jamik, mau tahu menunya, mula-mula nasi putih panas satu bakul, ulam timun, selada dan kemangi, ikan singkor bakar dengan sambal belacan pakai limau calong, ikan pari gulai tumis, cumi goreng asam garam, gulai otak, gulai lempah kuning kepala ikan kuwe campur pucuk kedondong, lempah darat komplet ada sulur keladi, labu darat, kacang panjang, terong, nangka muda pokoknya komplet ditambah sambal belacan. Lah lame lah tebayang bayang makan macam ni, nasi sebakul habis dimakan belime, semua hidangan pas same lidah e orang Bangka .......... hmm sedap nian ok. [caption id="attachment_131224" align="aligncenter" width="300" caption="Palapa Raya. Rumah makan khas masakan Bangka. Picture taken by Winry Marini, 06-March-2009."][/caption] Setelah makan siang langsung menuju base camp ke rumah adik kami di jalan Kemboja, rumahnya asri, macam macam pohon buah dan tanaman hias, burung beo, murai, ikan gurami, ikan koi dll. [caption id="attachment_131225" align="aligncenter" width="300" caption="Burung Beo Bangka badannya relative lebih kecil. Picture taken by Winry Marini, Pangkal Pinang, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131227" align="aligncenter" width="300" caption="Kantung Semar. Picture taken by Winry Marini, Pangkal Pinang, March-2009."][/caption] Setelah sholat Jum'at di Masjid Baitul Hikmah, Kacang Pedang, kami menuju pasar Mambo Pasar Tengah, jajan es kacang merah dan empek-empek ditambah cuka pakai tauco. Cuka disajikan dalam botol, terus kalau mau makan empek-empek, cuka dituang dalam mangkok kecil, empek-empek digigit dan dikunyak lalu sluruuup cuka dihirup ........ mantap. Hari Sabtu tanggal 07 Maret 2009, tibalah hari yang ditunggu-tunggu, perjalanan menuju Mentok, a trip to my home town. Usai shalat Subuh dan sarapan kami memulai perjalanan, mulai dari rumah adik kami Noviar di jalan Kemboja, melewati jembatan waduk penampungan air untuk PDAM, terus menuju jalan negara antar kota. Keluar dari kota Pangkal Pinang, kiri kanan jalan, banyak pohon karet, diselingi pohon durian, rambutan, manggis, jambu dan pohon buah lainnya, ada juga pohon keramunting, sikaduduk, simpur dan pohon serok. Sepintas tidak kelihatan kerusakan hutan akibat penambangan timah, menurut adik kami, para penambang timah berusaha agar lokasi mereka tidak kelihatan dari jalan besar, jadi mereka menggali dan mencuci pasir timah agak kedalam hutan, kalau ada kesempatan saya pingin melihat aktivitas mereka. Karena hari masih pagi, selintas kami sempat melihat acara mandi bersama di anak sungai di kiri kanan jalan, orang tua, orang muda dan anak-anak mandi dan mencuci, masih untung ada pembagian waktu antara wanita dan pria. :-) Kualitas jalan Pangkal Pinang - Muntok bagus, sudah hot mixed, kendaraan masih jarang, sekali sekali berpapasan dengan bus umum sehingga kami sangat menikmati perjalanan mulai dari Pangkal Pinang, melewati Petaling, Puding Besar, Kelapa, Simpang Jebus, Simpang Teritip sampai Mentok kami tempuh sekitar dua jam dengan jarak tempuh sekitar 130 km. Mulai berangkat dari Pangkal Pinang sampai ke Mentok hujan terus, padahal menurut adik kami sudah beberapa hari tidak turun hujan. Kami masuk Mentok melalui kampong jawe, komplek perkantoran bupati, lapangan bola, nah mulai lapangan bola ini lah memori saya mengenai jalan di kota mentok muncul kembali. Dibelakang gawang ada tebing sekitar dua meter, ditumbuhi rumput, saya masih ingat suka main prosotan disitu. Dari lapangan bola, melewati jalan tebing gadai, terus menuju lembung atau pelabuhan, disini sempat melihat orang mancing ikan, umpannya dari udang dan kelihatan sudah dapat satu ekor ikan belukang atau baung laut, samar samar terlihat pantai dan perumahan di Kampong Tanjong serta mercu suar legendaris Tanjung Kelian. Pagi itu masih kelihatan kegiatan bongkar muat hasil laut di pelabuhan Muntok, dari pelabuhan hasil laut tersebut sebagian dikirim ke pasar ikan Muntok dan sebagian lagi di kirim ke Pangkal Pinang. Dulu saya sering main ke pelabuhan, memancing ikan dan melihat kegiatan bongkar muat barang dan penumpang turun naik kapal kecil menuju Palembang, waktu itu Pelabuhan Muntok merupakan pintu gerbang Bangka, karena semua barang kebutuhan dari Pulau Jawa dan Sumatra dikirim dari Palembang melalui Muntok. [caption id="attachment_131229" align="aligncenter" width="300" caption="Lembong Pelabuhan Muntok. Picture taken by Safri Ishak, March 2009."][/caption] [caption id="attachment_131231" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu Masuk Pelabuhan Muntok, Lembong. Picture taken by Safri Ishak, March 2009."][/caption] Dari lembung kami menuju pasar lama yang terletak dekat Masjid Jamik dan Kelenteng Kwan Tie Miaw melewati jalan depan rumah mayor. Masjid Jamik dan Kelenteng Kwan Tie Miaw kelenteng dan masjid berdampingan hanya dibatasi jalan kecil menuju tanjung kelian, lewat pemakaman dan rumah adik saya Erman. Di belakang masjid ada gang kecil disebelah kanan, gang tersebut menuju ke rumah kami dulu, kalau ngantar kue ke pasar setelah subuh saya dan kakak saya Farida lewat situ. Kalau disuruh Mak ngambil ikan jualan Atok di pasar saya paling semangat lewat gang tersebut karena disitu ada rumah teman satu sekolah anak perempuan keturunan arab, siapa tahu bisa saling bertukar senyum, sayang saya sudah lupa namanya. [caption id="attachment_131233" align="aligncenter" width="300" caption="Mesjid dan Kelenteng, berdampingan. Picture taken by Safri Ishak, Muntok, March 2009."][/caption] Di pasar singgah ontok sarapan, adek kami meleh salah satu kedai kupi yaitu kedai kupi Akhyar, petak nomor due sebelah kanan dari arah kelenteng, sekarang kedai kupi lah full music ok, waktu kami kecik dolok ngantar kue same lakse jualan mak, kedai kupi maseh sederhane dan tempatnye di lorong tengah. Ontongnye suasane dan nuansa kedai kupi maseh cam dolok lah, banyak orang pasar dan orang polang mancing menom kupi sambel ngerahol, kuweh jugak dak dihidangkan ke meje maseng-maseng, jadi ade jak orang yang tibe-tibe langsong ngambek kuweh dari pereng dimuke kite. Bini kami langsong pesan kopi, karena dari romah di Jakarta lah tebayang-bayang nak menom kopi O yang disareng pakai sarengan dari kaen, macam macam penganan ade disitu, sayangnye dak de lakse mentok, kate adek kami kalok nak makan lakse ade di telok biah, mudah-mudahan dak keponan makan lakse. [caption id="attachment_131234" align="aligncenter" width="300" caption="Kopi O. Picture taken by Safri Ishak, Muntok, March 2009."][/caption] Usai sarapan kami menuju rumah adik kami Noviar dekat perumahan Peltim (Peleburan Timah Muntok), istirahat sejenak sebelum meneruskan perjalanan, Noviar yang paling perlu istirahat karena Noviar yang menyetir mobil. Setelah selesai istirahat dan bersih bersih, kami melihat komplek perkantoran dan perumahan Peltim, disini ada hutan kota yang dipelihara dengan baik dan menurut adik kami hutan ini merupakan nilai tambah bagi kabupaten bangka barat untuk meraih Adipura. Kemudian kami menelusuri jalan sambil melihat pemandangan pantai Pait Muntok, sedang dilakukan reboisasi, sudah mulai kelihatan pohon bakau tumbuh, di pantai ini ada anak sungai yang airnya mengalir kepantai, mudah mudahan hutan kota dipelihara dengan baik sehingga anak sungai tadi tidak kering. [caption id="attachment_131235" align="aligncenter" width="300" caption="Muara Anak Sungai di Pantai Peltim. Picture taken by Safri Ishak, Muntok, March 2009."][/caption] Dari sana kami menuju rumah adik kami Erman, dari pasar sebelum jembatan belok kanan lewat kampong Ulu. Di kampong Ulu sempat ketemu Robet anak Ngah Yang, sekarang Robet buka warung didepan rumahnya, jual es, empek-empek, kerupuk dan makanan kecil lainnya. Rumah kami dulu dibelakang rumah Robet, waktu mak sama ayah merantau ke Jakarta tahun 1961, rumah tersebut dibeli Nek Su adik Nek Tebing nenek kami dari pihak mak. Rumah itu sekarang dikontrakkan karena Nek Su ikut anaknya Mak Long same Mak Yak Jaw di dekat perumahan Peltim (Peleburan Timah Muntok). Setelah lihat rumah kami dulu, saya, adik saya Noviar dan anak saya Winry, jalan melewati jerambah alias jembatan sungai kampung Ulu. Disungai ini dulu tempat saya mancing dan memanah ikan dan udang, cuma waktu saya pulang kampong ini, air sungai keruh dan arusnya deras, mungkin karena habis hujan. Kalau habis hujan begini biasanya banyak ikan sembilang, selain memancing dari atas jembatan dulu kami suka main kapal kapalan, sepotong kayu sekitar 30-40 cm, kedua ujungnya diikat benang yang agak besar dan kuat panjang sekitar 30 m, kayu dilempar kesungai, kayu akan mengambang karena derasnya air sungai dan dapat diarahkan dengan benang yang kita pegang, kekiri kekanan mirip orang main ski air, biasanya kami mencoba mengait barang barang yang hanyut di sungai. [caption id="attachment_131237" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Neksu, dulu rumah keluarga kami waktu saya masih kecil. Picture taken by Winry Marini, Muntok, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131239" align="aligncenter" width="300" caption="Jerambah Kampong Ulu. Saya dan adik kami Noviar (Pay) Ishak. Picture taken by Winry Marini, Muntok, March-2009."][/caption] Diseberang jembatan, sebelah kanan dulu ada "kantor pos" tiap pagi banyak yang nyetor disitu alias buang air besar, bunyinya asik, plung, plung dan dibawah sudah menunggu ikan belokoh, jadi langsung didaur ulang, untung sekarang sudah tidak ada lagi, rupanya masing masing rumah sudah punya "kantor pos" sendiri. Disebelah kiri jembatan ada surau kampung ulu, didepan surau dulu ada tangga tempat mandi dan tempat kami bermain disungai, cuma sekarang kelihatannya sudah tidak ada lagi. Di ujung jembatan kami kearah kanan, ada tanah lapangan tempat dulu saya main bola, main galah panjang, main kelereng dan main gasing bersama kawan-kawan. Di lapangan dekat rumah Abang Adek itu tumbuh pohon sawo kecil, mirip sawo apel tetapi ukuran buahnya mini, kalau lewat disitu saya selalu manjat pohon sawo tersebut dan sampai di atas mulai megang megang buah sawo, kalau ada yang sudah lembut berarti sudah masak, langsung dipetik, dibelah dua, isinya dimakan, manis rasanya. Hebatnya, pohon sawo itu masih ada dan dalam penglihatan saya masih seperti dulu, cuma kali ini saya tidak berani manjat, pertama sudah tidak mampu dan yang kedua malu sama yang punya. Adik saya Noviar sempat memungut biji sawo yang jatuh, katanya mau ditanam, sawo ini unik, buah-nya kecil kecil tetapi tidak sama dengan sawo kecik yang banyak tumbuh di kraton Jogya. Bentuk buahnya memang mirip dengan buah Tampoi. Kami terus menelusuri jalan kecil kekanan, nampaknya sudah tidak ada yang kenal sama saya, kami meliwati rumah Nek Su yang lama, ada juga rumah tempat dulu kami suka beli roti, terus rumah alm. Tok Cik Lah tempat kami belajar mengaji. Lihat buah Namnam, jalan lagi sampai tembus ke jalan besar, lalu kami balik lagi ke mobil dan meneruskan perjalanan menuju rumah adik kami Erman. [caption id="attachment_131242" align="aligncenter" width="300" caption="Buah Namnam Kampung Ulu. Picture taken by Winry Marini, Muntok, March-2009."][/caption] Dari kampong ulu, lewat tebing salam, simpang tiga, belok kiri menuju arah tanjung kelian, disebelah kanan jalan ada gedung bekas SR 3, dulu saya sekolah disitu mulai kelas tiga sampai lulus kelas enam. Sekarang kondisi bangunannya sudah uzur dan digunakan untuk kantor Badan Narkotika Kabupaten Bangka Barat, rencananya akan dibangun gedung baru. [caption id="attachment_131243" align="aligncenter" width="300" caption="ex Sekolah Rakyat No 3. Kelas yang paling kanan adalah kelas pertama saya disini. Picture taken by Winry Marini, Muntok, March-2009."][/caption] Dari SR 3, jalan terus, ketemu simpang empat belok kiri, ketemu lagi simpang empat belok kanan dan pas di hook sebelah kiri jalan, rumah adik kami Erman. Dulu lokasi ini merupakan kebun dan sekarang sudah ada rumah dan TPA yang dibangun oleh adik kami. Masih ada sisa tanaman dulu yaitu pohon manggis yang tumbuh dekat rumah. Disini kami ngobrol dan disuguhi macam macam kueh, istri adik kami Nani ahli membuat kueh, roti, makanan khas Mentok dan merias penganten. [caption id="attachment_131246" align="aligncenter" width="300" caption="Teras Rumah Keluarga adik kami Erman. Picture taken by Safri Ishak, Muntok, March-2009."][/caption] Selesai ngobrol, kami melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Kelian, dalam perjalanan kami melewati kebun adik kami Erman, dikebun itu tumbuh buah lake, buahnya bulat sebesar jempol tangan, warna hijau, bisa dipakai untuk peluru ketapel. Tidak jauh dari kebun Erman kelihatan bekas kebun Atok Tanjung, sayangnya tidak kelihatan lagi pohon rambutan dan tanaman buah lainnya yang dulu banyak tumbuh disitu. Sebelum sampai ke Tanjung Kelian kami singgah dulu di Pantai Batu Rakit dan Pelabuhan Ferry Tanjung Kalian Muntok - Tanjung Api Api Palembang. Dengan dibukanya pelabuhan ferry ini masa tempuh, jarak tempuh dan tonase barang yang diangkut jadi meningkat. Tanjung Kelian selayang pandang. [caption caption="Kapal Karam, Pantai Tanjung Kelian Muntok, selayang pandang. Picture taken by Winry Marini, Muntok, March-2009."]

[/caption]

Dari Tanjung Kelian kami menuju Tanjung Ular lewat Batu Balai, tanjung ular diproyeksikan akan menjadi daerah industri tin chemical dan penampungan batu bara, didekat tanjung ular kami melihat penduduk tempatan memelihara ayam Merawang yang konon merupakan keturunan ayam dari negeri Cina. [caption id="attachment_131355" align="aligncenter" width="300" caption="Batu Balai. Picture taken by Winry Marini, Muntok, March 2009."][/caption] [caption id="attachment_131510" align="aligncenter" width="300" caption="Ayam Merawang yang konon merupakan keturunan ayam dari negeri China."][/caption] Selesai makan siang singggah kerumah Pak We Mat dan We Mok kakak mak kami di Kampong Telok Rubiah, usia Pak We 92 tahun dan Mak We 81 tahun, Alhamdulillah mereka dalam keadaan sehat. Dari sana kami balik lagi ke rumah kontrakan adik kami untuk shalat dan istirahat sejenak, kami sempat lihat lokasi yang rencananya akan dibangun rumah adik kami, disebelah belakang lokasi tersebut tanahnya agak tinggi dan banyak batu besar kata orang sana batu gunung, antik. Ada yang jualan pempek udang lewat, beli, dicoba, rupanya rasanya enak, baru tahu saya :-) Jalan menuju puncak Menumbing sempit, berliku-liku dan terjal, sebelum memasuki kawasan tersebut ada gardu jaga dan ada petugas yang jaga, kami lapor dan bertanya apakah ada mobil yang turun dari puncak, kebetulan tidak ada jadi kami dapat melanjutkan perjalanan. Kondisi jalan bagus, diaspal, hutan dikiri kanan jalan masih asri dan belum tersentuh tangan jahil manusia. seperti umumnya hutan tropis, kelembaban tinggi, apalagi watu itu hujan rintik-rintik, sekali sekali kelihatan tupai, burung dan monyet melintas. Sampai dipuncak ada penginapan dan restoran, sayangnya sedang musim sepi pengunjung, dari puncak menumbing terlihat panorama kota Mentok, terutama pantainya, tanjung kelian, kota tua Mentok dan pemukiman dan perkantoran baru kabupaten Bangka Barat. Di dalam bangunan utama banyak terlihat photo dan barang barang peninggalan Bung Karno dan para pemimpin lainnya, dan salah satu photo yang dipajang adalah photo Pokme Norma adik ayah kami, surprise, sesuatu yang tidak kami sangka sangka. Kawasan ini mempunyai nilai historis bagi bangsa Indonesia dan lokasinyapun mendukung untuk objek pariwista, mudah mudahan Gunung Menumbing menjadi salah satu prioritas pemda kabupaten bangka barat untuk dipelihara dan dikembangkan. Dari Gunung Menumbing kami balik lagi ke rumah, istirahat, sholat, kemudian singgah di rumah Nek Su adik alm. nenek kami, dari rumah Nek Su langsung balik ke rumah adik kami Noviar di Pangkal Pinang. Sampai di Pangkal Pinang istirahat sebentar, buat rencana untuk keesokan harinya yaitu sarapan, ke pasar ikan pembangunan, beli terasi bangka, udang kering, lalu ke Sungai Liat dan Belinyu. Bangun pagi tanggal 08 Maret 2009, shalat subuh, sarapan ringan karena rencananya mau makan bubur ayam, sayangnya sampai ditempat jual bubur ayam, kedai tutup, rupanya komplek disekitar kedai disterilkan karena ada pejabat yang bermalam di komplek tersebut. Kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Ikan Pembangunan Pangkal Pinang, rencananya sih mau lihat lihat kegiatan di pasar tersebut. Kalau tadinya hanya mau melihat lihat kegiatan dan ikan yang dijual di pasar, akhirnya istri saya tergoda juga untuk beli udang, katanya udangnya bagus, segar dan murah tidak seperti di Jakarta, beli cumi, katanya cumi bangka itu top lho di super market, beli siput gonggong, katanya langka dan rasanya khas, beli daging ikan hiu totol totol atau harmer head shark, nah yang ini saya ikut nimbrung sudah lama nggak makan ikan hiu. Saya lihat banyak ikan sengkor atau tongkol laki, di Pasar Tebet Barat Jakarta sudah jarang dan malah lima tahun terakhir ini nggak pernah saya lihat, ikan sengkor enaknya dibakar lalu dimakan pakai sambal buah bacang, hmm sedap. Biar sempurna akhirnya istri saya dan adik kami Cita beli sayur dan pisang rejang juga, biar sempurna makan siangnya ... he he. [caption id="attachment_131506" align="aligncenter" width="300" caption="Tumis Kangkung pakai Udang. Picture taken by Winry Marini, Pangkal Pinang, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131507" align="aligncenter" width="300" caption="Siput Gonggong. Picture taken by Winry Marini, Pangkal Pinang, March-2009."][/caption] Dari pasar ikan dan pasar sayur, kami menyeberang ke tempat orang menjual ikan asin udang kering, terasi, rusip, calo dan lain lain, kakak dan adik kami di Jakarta titip udang kering dan terasi bangka. Didekat pasar ini juga dijual barang keperluan rumah tangga seperti tudung saji, sapu sabut kelapa, sapu ijuk, bubu, tanggok dan lain lain yang merupakan hasil kerajinan bangka. Saya sempat beli sikat sabut dan sikat ijuk, sikat ijuk buat membersihkan kamar mandi dan mencuci ban mobil, sikat sabut untuk gosok kaki waktu mandi, serta beli tudung saji. [caption id="attachment_131508" align="aligncenter" width="300" caption="Sikat Ijuk dan Sikat Sabut. Picture taken by Safri Ishak."][/caption] [caption id="attachment_131509" align="aligncenter" width="300" caption="Tudung Saji, kembu, bakul, raga dan yg dibawah tudung saji adalah keranjang sepeda/motor. Tudung Saji, digunakan untuk menutup makanan sebelum disajikan, akar kata "][/caption] Selesai makan siang kami menuju Sungai Liat, lewat Pantai Pasir Rebo, Pantai Tanjung Pesona, Pantai Parai, terus ke Belinyu, Pelabuhan Tanjung Gudang, Pantai Romodong dan Pantai Penyusuk, terus balik lagi ke Pangkal Pinang. Pantai Pasir Rebo selayang pandang. [caption id="attachment_131511" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Pasir Rebo Pangkalpinang. Picture taken by Safri Ishak, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131515" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Pasir Rebo."][/caption] Pantai Tanjung Pesona selayang pandang. [caption id="attachment_131516" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Tanjung Pesona, Sungailiat. Picture taken by Winry Marini, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131517" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Tanjung Pesona."][/caption] Pantai Parai Tenggiri selayang pandang. [caption id="attachment_131518" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Parai Tenggiri, Sungailiat. Picture taken by Winry Marini, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131519" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Parai Tenggiri, Sungailiat."][/caption] Setelah beristiahat sejenak, kami meneruskan perjalanan menuju Pantai Romodong.. Ada yang unik waktu ita memasuki area pantai, yaitu jalan masuk di buat diantara celah dua batu yang berdampingan. Pantai Romodong, selayang pandang. [caption id="attachment_131520" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Romodong, Belinyu. Picture taken by Winry Marini, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131521" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Romodong, Belinyu. Picture taken by Safri Ishak, March-2009."][/caption] [caption id="attachment_131522" align="aligncenter" width="300" caption="Sunset at Romondong."][/caption] Dari Pantai Romodong kami bergegas menuju Pantai Penyusuk dengan harapan masih dapat memotret pantai menjelang matahari terbenam. Pantai Penyusuk, selayang pandang. [caption id="attachment_131523" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan masuk Pantai Penyusuk, Belinyu. Picture taken by Winry Marini."][/caption] [caption id="attachment_131526" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Penyusuk, Belinyu."][/caption] [caption id="attachment_131527" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Penyusuk, Belinyu."][/caption] Pulang kerumah hari sudah malam, bebenah barang bawaan. Tanggal 09-Maret pulang ke Jakarta. Pagi-pagi bungkus kulit kerang, siput gonggong, udang, cumi goreng, empek empek udang. Sarapan. Ke airport Depati Amir, kelebihan berat barang 20 kg. Salam, Safri. Masa kecilku di Mentok, Bangka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun