Butuh waktu satu minggu lebih untuk merangkai cerita tentang Mart! Berpikir beberapa kali untuk membagikan foto Mart! yang saya ambil diam - diam tanpa sepengetahuan dia. Ketika saya mengirimkan foto ini via WhatsApp, dia membalas dengan foto kami sewaktu kami turun sekembalinya kami dari Goa Kambing.Â
Namanya Mart! Apakah hanya Mart! saja namanya? Bukan, dia memiliki nama panjang, memiliki marga yang ia dapat dari ayahnya yang telah meninggal. Usia Mart! 17 tahun, tepatnya menjelang 17 tahun, hari itu saya mengenal dia pertama kali sebagai salah satu guide saya. Kami tak banyakk bicara satu sama lain. Melewati perkebunan karet penduduk setempat, menyebrang sungai yang tak terlalu dalam, dan menyusuri hutan yang cukup lebat.Â
Dia membawa tas dipunggungnya, pertanyaan pertama yang kulontarkan adalah "Ngga berat?" dengan sedikit cuek dia menjawab "Berat sih engga, ribet aja". Â Lalu kami berjalan dengan tiga orang lainnya, Jempol dan Pandi serta satu orang lain, yang dalam cerita ini dia tak terlalu memberi banyak ruang untuk dapat saya bagi ceritanya.Â
Jempol dan Mart! melaju dengan cepat semacam kereta tanpa rem, tentunya dengan beban dipunggung mereka. Tiba lebih dulu daripada saya yang hanya membawa badan saja.
Kami bermalam di sebuah Gua, namanya Gua Kambing, konon banyak Kambing Hutan, atau yang biasa kita sebut Rusa, tinggal di Gua itu. Kambing - kambing itu entah kemana pergi, mungkin manusia - manusia seperti kami yang membuat mereka tidak betah dan memilih untuk pergi. Sebuah tenda alakadarnya dibuat di dalam gua. Beberapa kerangka tenda sudah terpasang dengan kokoh batang kayu, entah jenis kayu apa yang dipakai.Â
Air terjun yang tak begitu deras membuat suasana tak terlalu sepi. Air terjun itu tak begitu deras, cenderung kecil, airnya segar, membasuh diri dengan air menjadi sebuah kewajiban. Sore itu suasana masih sangat canggung hingga Mart! memanggilku dan memunjukkan dua ekor Siamang yang sedang mengawasi kami dari salah satu pohon di sisi barat.
"Kak, apa itu namanya? Aku hanya tau mereka itu monyet" Mart! terlihat sangat lugu dan berani di satu waktu yang sama
"Siamang namanya, Mart!"
"Hahahaha lihat! Mereka tatap aku dari tadi, sama hitamnya aku dengan mereka, kak!"
Kami tertawa. Saat itulah sebuah cerita marting terungkap. Rangkaian cerita dari kami duduk memandangi tingkah Siamang hingga malam hari menjelang tidur, setelah berjam - jam kami main kartu.
Inilah Mart! yang kukenal, dari mulutnya sendiri ia bongkar kehidupannya.
Hari itu ia membolos sekolah, dia bilang uang yang didapat menjadi guide itu besar, jadilah ia lebih memilih bolos sekolah. Mendengarkan dia sebagai seorang kawan bukan hal yang mudah, ada banyak kata - kata yang tertahan, kata yang hanya akan meminta dia tidak lagi bolos sekolah.
Mart! baru saja berduka, belum lama ayahnya meninggal, sekitar seminggu yang lalu. Meninggal karena sebuah kecelakaan, ayahnya yang bukanlah ayah kandung Mart! itu amat ia sayangi. ia benar - benar berduka. Meninggalkan ia dan seorang adik yang masih kecil dan calon adik yang sudah hidup dalam rahim ibunya yang hangat sejak tiga bulan lalu.Â
Mart! menyadari kini ia bukan hanya seorang anak SMA yang bertingkah dan sesekali bolos sekolah, ia menjadi tulang punggung keluarga. Biaya sekolah memang tak begitu mahal, hanya Tujuh Puluh Ribu perbulan. Namun adiknya perlu sekolah, mereka sekeluarga perlu makan dan ibunya juga akan melahirkan adiknya, enam bulan lagi.
Ayah kandung Mart! dimana? Ia meninggal sewaktu Mart! masih kecil, karena Over Dosis. Ibunya hanya berpesan satu hal pada Mart! "Apapun lakukan yang kau mau, yang penting jangan pernah sekalipun kau pegang narkoba"
Mart! dengan raut yang disembunyikan kegundahannya menceritakan dengan senyum. Ia menjadi guide sudah cukup lama, awalnya hanya untuk iseng. Berceritalah ia tentang bermacam tamu yang pernah ia bawa.Â
"Heran aku sama orang - orang Indonesia, mereka itu kalau lihat bule macam lihat artis saja"
"Emang kenapa?"
"Aku cerita ya,kak. Aku sebal kali sama orang - orang itu, kalau lihat bule mereka minta foto sama Bule. Bah, malu aku. Aku ini yang tolong mereka punya nyawa kalau mereka tenggelam, tapi mana pernah awak diajak foto bareng."
"Makanya kalau mereka mau foto sama bule, awak menyingkir. Bule itu kan sama saja seperti awak, kerjanya di negaranya juga sama saja" sambungnya dengan tawa yang renyah.
Saya melihat Mart! memiliki harga diri yang tinggi. Seorang anak muda yang berani dan memiliki harga diri.Â
"Kak, aku ini jadi guide supaya aku bisa belajar dari mereka. Dari Bang Darwin, dari Bang Pandi. Dari bule - bule itu biar bisa bahasa inggris."
Malam hari bermodalkan cahaya dari lilin dan kunang - kunang yang sesekali menyapa, kami tenggelam dalam canda bermain kartu. Di luar perkiraan mereka, ternyata aku tak terlalu buruk dalam bermain kartu. Jempol dan Mart! berkali kali memungut kartu dan pura - pura menampakan muka bersungut. Â Hingga tiba si Mart! bermain trik sulap dan berhasil membuatku heran.Â
"Susah kali aku main trik sama kakak, banyak tanya kakak ini. Jadi bingung aku."
Gelak tawa kami mengalahkan suara tonggeret. Di atas meja yang terbuat dari kayu Merbau, konon meja ini sudah ada sejak 20 tahun lalu, ketika para pemburu kayu Merbau masih bolak - balik masuk hutan, meja ini yang menjadi ruang pertemanan kami. Mart! sekali lagi menjadi tokoh utama. Kali ini ia bercerita tentang kenakalannya di Sekolah.
Mart! seorang anak yang bersekolah di SMK jurusan Administrasi Perkantoran, kini ia duduk di bangku kelas 2. Tawanya tak berhenti ketika ia menceritakan dia dan teman - temannya yang merokok di dalam kelas, lalu ketika guru di sekolahnya sudah menyerah dan hampir - hampir ia dikeluarkan di sekolah setelah kesalahan terakhir yang ia lakukan. Mart! tak punya cukup keberanian untuk meminta ibunya datang ke sekolah, akhirnya dimintalah pamannya untuk mewakili keluarga. Drama sudah dipersiapkan, Paman yang pura - pura marah pada Mart! di depan para guru. Akhirnya iba pula yang menyelamatkan Mart! dan Mart! berjanji untuk tidak merokok, setidaknya ia tidak merokok di sekolah. Satu guru perempuan yang menjadi musuhnya, ia bilang, tak percaya pada Mart! yang tidak merokok di sekolah. Mart! bilang "Guru itu tak bisa kasih contoh baik ke awak. Buat apa awak dengar kata guru itu? Tapi ada guru yang baik,Kak"
Mart! adalah anak sekolah yang sama seperti anak lainnya. Ia tinggal di daerah yang jauh dari ramai kota. Menjadi tulang punggung keluarga. Ketakutan kami, ketakutanku dan Bang Pandi adalah Mart! yang akan lebih asyik mencari uang daripada sekolah.
Bang Pandi, dengan lirih berucap "Kak, saya tak ingin Mart! seperti saya. Dulu saya juga putus sekolah karena saya keasyikan cari duit. Sekarang saya hanya lulusan SMP. Mau kerja apa. Cuma bisa jadi guide."
Ada harapan yang tersimpan untuk Mart! seorang anak lelaki yang cerdas, bertanggung jawab pada keluarganya, cerdas, memiliki harga diri dan sangat mudah bergaul.Â
Mart! yang saya temui hanya satu dan saya yakin masih banyak Mart! lain di luar sana, Mart! lain yang hanya perlu kita dengar ceritanya, kita arahkan dengan perlahan. Menjadi kawan Mart! adalah hal yang saya inginkan. Saat ini kami sesekali berkirim pesan, hanya saja sinyal di tempat tingga Mart! kurang mendukung pertemanan kami.
Sebelum Mart! tentunya sudah ada Mart! yang lain, mungkin itu adalah Bang Pandi atau Jempol. Atau mungkin keduanya. Bang Pandi, seorang yang mengenal hutan dengan sangat baik, ia yang mulai bosan dengan kegiatan keluar - masuk hutan, ia yang ingin menjadi Bang Pandi yang lebih dari ia yang sekarang.
Namun Mart! tetaplah Mart! Dan rangkaian doa akan tertujut untuk Mart!
Mart! lelaki muda yang tinggal di Sumatra Utara, seorang guide di Tangkahan. Ia yang lahir dan besar di haribaan Gunung Leuser. Seandainya bisa mengumpakan, saya ingin Mart! tumbuh layaknya Pohon Merbau. Ia yang kokoh dan kuat, tinggal di Leuser, menjaga agar tetap menjadi kehidupan bagi kehidupan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H