Mohon tunggu...
Safitri N
Safitri N Mohon Tunggu... Lainnya - Homo Ludens

Homo Ludens

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doa dalam Cerita untuk Anak Banten

2 Mei 2018   17:56 Diperbarui: 2 Mei 2018   18:20 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit @1000_guru_tangsel

@haheho.community
@haheho.community
Kebaikan tidak pernah kehilangan jalan untuk bisa menemukan tuannya. Ruang kelas yang terbatas, pembatas seadanya yang sudah tak kuasa lagi berdiri dengan kokoh, MI Raudlatul Iman, sumber harapan, sumber ilmu, anak - anak menyimpan rangkaian mimpi dan cita mereka. Pun dengan sekolah yang tak jauh dari MI Raudlatul Iman, berdiri MIS Darul Huda, dengan halaman yang luas, diam - diam menyimpan tawa anak - anak. Tembok - tembok yang dalam kekokohannya bertahan dan menopang seluruh harapan. 

Atau sekolah lain, letaknya pun di tengah keramaian, keramaian itu sama sekali tak menjamah SDN Tirtayasa 2. Dua buah sekolah dengan bangunan kokoh berada tak jauh dari 'rumah' kedua anak - anak. Siapa yang tak menyebutnya ketimpangan sosial? Siapa yang tak bertanya - tanya tentang keadilan?

Anak - anak tak mengerti tentang keadilan yang didengungkan dan dipertanyakan, yang mereka tahu hanyalah datang ke sekolah, bertemu dengan kawan - kawan dan mengagumi guru - guru. Setiap anak memiliki guru kesayangan. Ahh, betapa sayangnya mereka pada guru. Mereka bilang guru mereka baik, mereka ingin menjadi guru yang mereka idolakan. Sebuah cita - cita polos. Saya percaya pada kebaikan yang tanpa balas, percaya pada kebaikan yang tak bertanya tentang alasan.

Banten menjadi satu kesatuan cerita yang berhasil merebut perhatian saya. Pelabuhan yang ramai, selalu penuh sesak dengan para pendatang dan perantau. Di baliknya, cerita anak - anak yang mendamba sekolah yang layak, mendamba cita yang bisa tercapai.

Kini bukan hanya Pandeglang, serupa adalah Panimbang dan Serang. Serang yang menjadi jantung kota, pusat dari kehidupan ekonomi, tak jauh dari pusat kota itu, sebuah bangunan dengan halaman yang becek, cat kuning yang mulai mengelupas, cita - cita yang diam - diam dirangkai, harapan yang diam - diam diucap dalam doa. 

Sejak pertama kali menginjakkan kaki ke tanah itu, rapal doa tak akan pernah terhenti. Doa untuk mereka mampu mencapai mimpi. Doa untuk mereka bisa terus menimba ilmu dan bersekolah. Bagi saya, doa untuk mereka adalah keteguhan hati untuk mereka, keyakinan untuk mereka menjadi bebas dari segala pertanyaan tentang "Masih berdirikan sekolahku esok hari." Doa agar ketika mereka membuka mata di pagi hari, mereka hanya berpikir tentang cita yang harus diraih, kawan yang harus dirangkul.

Sama dengan tulisan sebelumnya, saya ingin Banten terbebas dari segala keterpurukan, saya ingin keteguhan hati dan kebaikan tak pernah terputus. 

Dan begitupun dengan kalian, doakanlah.

Dalam tiap kata di tulisan ini tersimpan doa - doa, harapan dan kesungguhan hati untuk mereka terbebas dari keterbatasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun