Mohon tunggu...
SAFITRI
SAFITRI Mohon Tunggu... Foto/Videografer - a long life learner

JANGAN LUPA BAHAGIA 📩 syafitrisf3@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Toxic Positivity : Semangat Yang Menyakitkan

10 Maret 2020   10:04 Diperbarui: 9 September 2021   20:34 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kreativv.com

Diberi semangat dan disikapi positif oleh orang lain selalu menjadi harapan bagi setiap orang. Apalagi saat kita sedang dalam masalah, ketika diberi semangat, rasanya masalah apapun itu akan mudah untuk dilalui. Namun kenyataanya, bagi sebagian orang, kata-kata penyemangat seperti,

"hidup itu bawa santai ajalah.."

"udah gausa dipikirin, gapapa kok"

"gitu aja sedih, sabar.."

"coba lebih bersyukur, masi banyak orang yang keadaannya lebih parah dari kamu".

malah justru bisa sangat menyakitkan. Seolah-olah mendorong dan memaksa kita agar selalu bahagia dalam masalah tanpa memberi ruang untuk menyalurkan apa yang kita rasakan. Jika ini terjadi, tandanya kita mengalami toxic positivity.

Pada saat pikiran kita sedang dalam kondisi cemas atau 'sedang tidak baik', disitu kita akan mencari validasi bahwa perasaan negatif yang kita rasakan itu adalah hal yang wajar. Dan, kebanyakan orang lain tidak bisa fokus kevalidasi tersebut, malah memberi motivasi-motivasi ataupun semangat yang terkesan kurang logis dan tidak memvalidasi perasan negatif yang kita rasakan. Bahkan, beberapa dari motivasi itu bisa memicu timbulnya stres dan gangguan psikis seperti psikosomatis (penyakit fisik akibat pikiran) atau yang lainnya.

Apakah toxic positivity berbahaya?  

Menurut saya, toxic positivity ini bisa jadi bahaya dan bisa sangat fatal akibatnya. Karena, hal ini benar-benar memicu orang untuk menutupi perasaan mereka yang sebenarnya, sehingga bukannya membuat mereka lebih baik tapi malah sebaliknya, terutama bagi mereka yang sedang mengalami depresi.

Mengapa demikian? karena mereka tidak pernah merasa didengar dan dimengerti. Bukan tak mungkin jika mereka merasa tak ada lagi orang yang benar-benar peduli dan memilih untuk mengakhiri hidup.

Hal ini selaras dengan pernyataan salah satu youtuber, Gita Savitri Devi dalam video youtubenya yang dipublikasikan pada tanggal 23 Juli 2019 tentang toxic positivity, ia mengatakan,

"Denial (penyangkalan) terhadap emosi kita sendiri itu ternyata gak sehat, pura-pura happy terus, pura-pura positif terus, itu tuh malah membuat kita semakin tertekan, dan yang paling penting masalah kita tuh ga akan kelar, malah makin parah, karena setiap kali kita dihadapin sama masalah, terus kita merasakan semua perasaan-perasaan negatif ini semua itu tuh kita kubur dalam-dalam, karna katanya tuh kita gak boleh negatif,harus positif terus,lama-kelamaan kita tuh bisa meledak.." ujarnya dalam video tersebut.

Ketika kita meminta seseorang untuk langsung melupakan masalahnya, maka itu sama saja dengan kita meminta dan memaksa orang tersebut memendam berbagai emosi negatif (di alam bawah sadarnya).  Suatu saat, hal itu akan menjadi toxic bagi dirinya sendiri. Terlebih lagi jika hal itu terus menerus mereka tumpuk sepanjang hidupnya.

Tak jarang, beberapa orang dari kita juga masih suka membanding-bandingkan masalah antara dirinya dengan orang yang kena masalah. Biasanya dengan ucapan "Kamu mah masih mending, aku.....". Mungkin, tujuan mereka mengutarakan kalimat tersebut bertujuan untuk  memberitahu bahwa ada masalah yang lebih besar dari masalah mereka.

Tetapi, kita perlu ingat bahwa kekuatan mental setiap orang itu berbeda-beda. Membanding-bandingkan antara penderitaan si  A dengansi B hanya akan membuat lawan bicara kita merasa dirinya semakin tidak berharga. Hal ini bisa meningkatkan stres atau depresi yang mungkin sudah mereka alami.

Empati vs Toxic positivity

Perlu diakui bahwa kata-kata positif diperlukan untuk membuat diri lebih semangat saat menghadapi masalah. Namun, apa yang membedakan rasa empati dengan toxic positivity?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain, sedangkan toxic positivity adalah memaksakan segala sesuatu agar terasa baik-baik saja.

Lalu, bagaimana cara agar tidak menjadi toxic?

ilustrasi: kreativv.com
ilustrasi: kreativv.com
Respons dari seseorang terkadang bisa menjadi tolok ukur apakah orang itu benar-benar peduli atau tidak. Secara umum, orang yang benar-benar peduli akan membantu kita mencari solusi. Ketika orang lain bercerita tentang masalahnya, cara terbaik agar kita tidak menjadi toxic bagi mereka adalah dengan berusaha mendengarkan mereka sepenuh hati. 

Kita juga bisa membantu mereka dengan mendukung dan menerima perasaan mereka apa adanya. Cobalah bayangkan kita ada di posisinya. Berempati pada mereka juga dapat membuat mereka merasa lebih di mengerti. Atau ada beberapa respon yang bisa kita berikan, antara lain :

"iya, aku ngerti kok..."

"aku tau pasti ini berat buat kamu..."

"wajar kok kamu merasakan ini..." dll

Biarkan mereka mengutarakan seluruh isi hatinya. Setelah mereka terlihat lebih tenang, tanyakan apa yang mereka butuhkan. Tapi jangan memaksakan keinginan kita pada mereka karena belum tentu mereka memiliki sudut pandang yang sama dengan kita.

Jadi, hindari kebiasaan mengusir pikiran negatif secara paksa, karena perasaan sedih, marah, kecewa, khawatir itu adalah emosi yang sangatlah normal untuk dirasakan. Jadilah pendengar yang  baik bagi orang lain. Hargai emosi mereka, karena terkadang, mereka yang punya masalah itu hanya ingin didengarkan. Mendengarkan tanpa menghakimi. INGAT! Kata-kata positif  TIDAK SELALU menjadi cara yang terbaik dalam membantu orang lain dalam masalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun