Setelah membahas tentang elephant parenting dan tiger parenting, akhir-akhir ini ada istilah yang sering kita dengar yaitu helicopter parenting dan permissive parenting. Apa lagi ya itu ?
 Helicopter parenting
"rasanya pengen punya jurus membelah diri jadi 10 biar bisa selalu lihat dan ngawasin anak-anakku di mana pun kapan pun", nah pola asuh seperti ini nih yang dinamakan helicopter parenting. Pola asuh Dimana orangtua terkesan overcontrolling/ overprotective pada anak-anak.
Seorang psikolog yang tinggal di Dallas, Amerika Serikat, Dr. Ann Dunnewold, Ph.D., menyatakan  bahwasannya helicopter parenting adalah usaha dan sikap berlebihan orangtua yang dilakukan kepada anaknya. Selalu teribat dalam semua urusan anak, selalu ikut campur dalam segala aspek kehidupan si anak.  misalkan, menentukan teman mana yang boleh di ajak bergaul, memilihkan baju, menentukan mainan apasaja yang boleh dimainkan, dan memilihkan kegiatan apa saja yang boleh dilakukan anak. yang berdampak jikalau anak sedang dihadapkan pada suatu permasalahan baik itu dalam lingkup pergaulan ataupun akademik, bukannya menyelesaikan masalahnya sendiri, biasanya orangtua se segera mugkin turun tangan untuk menyelesaikan semua masalah. Kebanyakan orangtua yang menerapkan helicopter parenting ini tidak hanya diterapkan saat anak masih kecil tetapi berlanjut hingga anak dewasa.
Terus dampaknya bagaimana ? pastinya akan berdampak  buruk  bagi anak. mungkin awalnya orangtua pikir "ini baik untuk dilakukan, dengan begini anakku jadi aman dan bahagia" dan seterusnya. Nyatanya, kekhawatiran orangtua yang berlebihan sehinga selalu overprotective/ overcontroling ini akan memberikan dampak negatif yang berpengaruh pada kehidupan anak di masa yang akan datang.
Berikut dampak yang ditimbulkan dari helicopter parenting :
1. kurang percaya diri.
Karena anak tidak pernah belajar untuk bisa meentukan pilihannya sendiri dan menjadi pribadi yang selalu bergantung pada orangtua. Anak menjadi kurang percaya diri dalam menentukan pilihannya sendiri karena selalu takut salah.
2. kurang terampil dan manja.
Karna sudah terbiasa sehabis main mainnaya dibereskan, atau sudah terbiasa dipakaikan kaos kaki beserta sepatunya. Yang membuat anak tumbuh menjadi anak yang kurang cekatan dan manja.
3. tidak bisa menghadapi kegagalan.
Karena selama ini semua hal, semua kekurangan, dan semua masalah selalu dibereskan orangtua, akibatnya anak menjadi kurang siap jika menghadapi suatu masalah secara langsung. Anak cenderung takut untuk menghadapi suatu masalah.
4 pembangkang.
Orangtua yang overprotective cenderung akan membuat anak menjadi seorang yang pembangkang.
Permissive Parenting.
Tidak seperti helicopter parenting, dalam permissive parenting ini justru orangtua lebih banyak membiarkan anak-anaknya untuk mengambil keputusan sendiri. Terkadang banyak orangtua yang menyagkal telah menerapkan permissive parenting ini, nyatanya ada banyak sekali yang menerapkan. Contoh ketika orangtua tau anak habis belajar hingga larut malah lalu keesokan paginya orangtua mengizinkan anaknya untuk tidak berangkat ke sekolah. Atau saat anak hanya mau mengkonsumsi mie dan orangtua mengabukan.
Ada banyak sekali orangtua yang mempertahankan pola pengasuhan seperti ini dengan klaim permissive parenting membuat anak mereka menjadi lebih mandiri. Meskipun benar, dalam beberapa kasuspola asuh ini jua menimbulkan banyak efek negatif. Penulis buku "Keeper of The Children", Laura M. Ramiez, anak-anak dengan pola asuh ini sering dianggap tidak sopan dan tidak pengertian. Anak-anak ini  cenderung bebas dalam menentukan pilihannya, yang terkadang dalam beberapa situasi "mengambil keputusan sendiri" itu bukan hal yang terbaik.
Pada dasarnya mausia harusnya di ajarkan mengenai aturan-aturan dan batasan-batasan yang berlaku dalam masyarakat sejak dini agar anak tidak kehilangan kesempatan untuk mengemembangakan kemampuan mendisiplinkan diri mereka sendiri. Misalkaan seperti saat anak berumur 3.5 tahun yang pada saat makan akan menyemprotkan makanannya kemana-mana, tetapi orangtua membiarrrkannya karena itu adalah hal "lucu" yang dilakukan oleh anak berumur 3.5 tahun. walaupun anak belum tau akan arti dari tidakan menyemprotkan makanan itu, sebenarnya anak sudah bisa mulai diajarkan bahwasannya sebenarnya perilaku tersebut tidak baik untuk dilakukan, tidak sopan dan tidak baik untuk diulangi.
Tindakan membiarkan akan perilaku negatif anak inilah yang membuat anak seperti mendapat suatu dukungan akan kebebasan dalam melakukan hal-hal tersebut. Namun, pada akhirnya pola asuh yang seperti ini yang tidak memberikan batasan membuat anak-anak tidak benar-benar merasakan dicintai malah justru merasa seperti diabaikan oleh orangtua. Hal ini dapat menjadi boomerang bagi orangtua.
Mana yang terbaik ?
Jika ragu dalam memillih gaya parenting, jangan khawatir~
Untuk membentuk karaker, kebiasaan, dan pribadi yang baik pada anak, orangtuapun harus mau untuk belajar. Baru setelah tau akan banyaknya gaya parenting dalam pengasuhan, orangtua bisa mem mix and match dalam menerapkan gaya parenting pada anak di rumah.
Yang terpenting orantua hatus tetap konsisten dan selalu paham akan karakter anak-anak, sehingga anak selalu merasa bahagia, selalu merasa disayangi, dan tau akan aturan dan batasan yang sudah di tetapkan di lingkungan sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H