Mohon tunggu...
Gadis Shafira
Gadis Shafira Mohon Tunggu... Freelancer - live and learn

dont forget to live your life and learn the journey guys 💕

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perlukah Kesetaraan Gender Pada Anak Usia Dini?

26 September 2018   19:52 Diperbarui: 26 September 2018   19:54 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  Sering sekali kita mendengar perkataan "cewek kok sukanya manjat-manjat" "cewek kok rambutnya kependekan" "cowok kok rambutnya gondrong" "cowok kok suka ngedance" Tidak bisa dipungkiri bahwasannya anak perempuan dan anak laki-laki itu berbeda, adanya perbedaan itulah yang kadang membuat adanya keterbatasan ekplorasi pada anak.

Pada dasarnya pendidikan anak itu berlangsung dalam 3 lingkungan : keluarga, sekolah, dan masyarakat. Yang mana adanya suatu keharusan untuk menyeimbangkan ketiga lingkungan tersebut.

Dalam Sugiarti,2003 hal.227,  Bentuk- bentuk pendidikan yang mendahulukan dan mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan tanpa melihat potensinya harus segera dibongkar permasalahannya dan dikurangi bahkan dihentikan dalam implementasinya. Sikap dan pengambilan keputusan pada model pendidikan tersebut yang sering disebut dengan pendidikan traditional dimana lebih didominasi laki-laki perlu di reorganize kembali.

Pendidikan gender dapat dimasukan dengan memberi contoh dan pemahaman pada anak-anak tentang pentingnya berbagi peran antara laki-laki dan perempuan. 

Meskipun sudah lebih fleksibel dari zaman dulu, stereotip gender perempuan dan laki-laki seperti "blue for boys and pink for girls"  masih banyak di lingkungan masyarakat atau laki-laki yang pandai menari adalah banci, perempuan yang pandai futsal dicap tomboi. Hal seperti ini bisa juga kita temukan dalam media-media pembelajaran anak seperti buku, buku cerita, film, dll.

Stereotip yang seperti ini meng-kotakkan potensi masing-masin anak sesuai dugaan-dugaan yang ada dimasyarakat dan itu sangat membatasi tumbuh kembang dan potensi perindividu. Siapa tau kan? anak yang dicap banci ternyata menjadi penari profesional dikancah internasionl atau sitomboi adalah salah satu atlet yang mengharumkan nama Indonesia diperhelatan olahraga tingkat nasional.

Itulah kenapa kita tidak bisa mematok syarat dalam gender seperti stereotip umum yang beredar dimasyarakat untuk mereka, dalam memilih kesenangan, hobi, yang dapat menjadi acuan kita dalam melihat potensi buah hati kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun