Mohon tunggu...
Safira EkaSuci
Safira EkaSuci Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pendidikan di Tengah Teknologi AI

5 Desember 2023   05:57 Diperbarui: 5 Desember 2023   05:58 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BELAKANGAN ini, dunia pendidikan sedang gempar akan adanya kecurangan dalam ujian. Sebenarnya, masalah ini sudah ada sejak dulu tetapi semakin berkembangnya zaman para pelajar maupun mahasiswa semakin cerdik dalam mengotak-atik strategi untuk melakukan kecurangan. Berbagai cara mereka lakukan untuk melancarkan aksi curang mereka saat sedang menempuh ujian. Perilaku mereka menjadikan pendidikan di Indonesia ini tercoreng. Bagaimanapun tujuan dari aksi curang tersebut tetap saja meremehkan hakikat pendidikan.

Aksi curang yang digunakan oleh mereka didukung dengan teknologi yang semakin maju. Teknologi itu sebut saja teknologi AI, yang saat ini sedang menjadi trend di kalangan remaja. AI kerap digunakan oleh para pelajar maupun mahasiswa. Mereka kerap menjadikan teknologi AI sebagai alternative dalam menjawab soal ataupun pertanyaan-pertanyaan yang sulit. AI tersebut disinyalir telah membuat kecanduan para pelajar dan mahasiswa dikarenakan jawaban yang diberikan oleh AI dirasa memuaskan. Tak heran mereka menggunakannya untuk mencari jawaban soal ujian. Perbuatan tersebut tentu menyalahi aturan yang kita tahu bahwa dalam ujian kita dituntut untuk menguraikan pendapat kita sendiri bukan hasil pendapat orang lain apalagi searching menggunakan AI.

Kejadian kecurangan dalam suatu ujian tentu bukan tanpa sebab. Selama ini, ujian dianggap sebagai evaluasi untuk para pelajar juga mahasiswa. Ujian ini dijadikan ajang untuk menampilkan gengsi mereka, bahkan tidak hanya pelajar dan mahasiswa saja, orang tua, instansi, hingga Pemerintah juga turut serta. Hasil yang tidak maksimal dianggap suatu hasil yang memalukan bagi mereka. Oleh karena itu, semua instansi, pelajar, dan mahasiswa berusaha keras dengan berbagai cara untuk mencetak hasil yang setinggi-tingginya.

Terobsesi Angka

Perlu kita akui bahwa keberhasilan seseorang dalam menempuh pendidikan masih diukur dengan besarnya angka yang didapat saat menempuh ujian. Beberapa pengajar menyuruh peserta didiknya untuk tidak melakukan kecurangan saat ujian karena yang akan diapresiasi adalah kejujuran mereka, nyatanya hal tersebut hanya omong kosong dan benar saja saat peserta didik menerima hasil akhirnya kejujuran yang tadinya akan diapresiasi ternyata tidak ada. Banyaknya tuntutan yang dilontarkan membuat banyak pihak menghalalkan cara apapun termasuk menggunakan AI untuk memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, dengan tingginya nilai seseorang maka berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke instansi yang berakreditasi baik. Selama syarat dan ketentuan masuk ke instansi masih menggunakan presentase jumlah nilai, semua pihak juga akan melakukan berbagai aksi kecurangan untuk mendapatkannya. Sikap menggampangkan segala cara untuk mendapatkan nilai tinggi dapat menjadikan para siswa maupun mahasiswa sebagai pelaku korupsi intelektual.

Dengan adanya peristiwa yang seperti ini pemerintah terutama Menteri Pendidikan harus melakukan tindakan untuk mengubah sudut pandang orang-orang terkait tujuan awal dari pendidikan. Menurut Pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensial peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari UU tersebut kita bisa menyimpulkan jika di dalam praktik belajar mengajar masih terdapat kecurangan akademik, maka tujuan pendidikan nasional tidak pernah atau bahkan tidak akan pernah tercapai.

Pro Kontra AI

Kecurangan akademik dalam ujian salah satunya dengan menggunakan teknologi
kecerdasan buatan ini. Maraknya berbagai teknologi kecerdasan membuat para pelajar dan mahasiswa bergantung pada teknologi tersebut sehingga mereka malas untuk berfikir sendiri. Jawaban yang dihasilkan dari teknologi AI tersebut dibilang membantu mereka oleh karenanya jawaban tersebut dicopy-paste untuk kemudian diletakkan dalam tulisan mereka. Hal tersebut bisa saja mengakibatkan plagiarisme yang bisa berdampak buruk bahkan mendapat hukuman akademik. Selain membuat para pelajar malas berfikir kritis, keamanan data pengguna teknologi AI tersebut belum tentu dijamin aman, para pelajar hendaknya berhati-hati apabila menggunakan teknologi itu.

Pelajar memilih penggunaan teknologi AI ini dinilai agar tugas-tugas mereka cepat selesai berhubung deadline tugas tersebut sudah mepet sedangkan pengajar memberikan tugas yang begitu banyak. Dengan fitur yang dibilang simpel karena hanya dengan mencantumkan pertanyaan
saja teknologi tersebut sudah bisa menjawabnya dengan cepat dan akurat, sehingga meringankan beban pelajar bahkan meningkatkan produktivitas, waktu yang seharusnya masih digunakan untuk pengerjaan tugas dapat digunakan untuk olahraga, recharge energy, beristirahat, dan melakukan kegiatan produktif lainnya. Pengajar biasanya masih kurang dalam pemberian materi, teknologi ini dapat memberikan materi yang belum didapatkan di kelas. Para siswa dan mahasiswa akan terbantu dalam menggali topik mata pelajaran yang masih diragukan dan ingin tahu lebih banyak mengenai topik tersebut. Tetapi tetap saja teknologi AI tersebut tidak akan pernah menggantikan peran pengajar dimana pengajar membimbing secara langsung bagaimana menerapkan sopan santun, tata karma, dan membentuk sikap yang baik kepada orang lain terutama orang yang lebih
tua dari kita.

Murni

Solusi yang paling tepat diberikan yaitu merealisasikan nilai dari ujian siswa juga
mahasiswa tersebut murni untuk tujuan mengukur kemampuan akademik dari mereka bukan untuk gengsi semata. Instansi yang jumlah rata-rata nilai ujiannya masih belum masuk standar
pemerintah artinya harus meningkatkan kualitas dengan cara yang sesuai aturan. Sebaliknya, instansi yang sudah masuk dalam standar harus menjaganya jangan sampai turun. 

Pengajar juga perlu memberikan evaluasi di setiap bab materi yang diajarkan. Peran pengajar dalam sebuah proses belajar mengajar tidak semata-mata hanya memberi materi kepada siswa, tetapi memotivasi mereka dengan meyakinkan dan menumbuhkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri pada siswa berpengaruh terhadap pola pikir mereka. Semakin tinggi rasa percaya diri semakin tidak ada niat aksi kecurangan yang akan dilakukan dalam ujian. Siswa percaya bahwa dirinya dapat menyelesaikan ujian tersebut tanpa bantuan dari orang lain maupun teknologi kecerdasan buatan atau yang dikenal teknologi AI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun