Dunia tengah digemparkan dengan adanya pandemic Covid-19 yang mampu melumpuhkan seluruh sistem di penjuru dunia. Virus ini pertama terdeteksi di sebuah pasar hewan illegal Wuhan China pada 31 Desember 2019. Per-23 Maret 2020, terdapat 335.997 pasien positif dan 98.333 pasien berhasil sembuh[1].Â
Di Indonesia, kasus Covid-19 pertama kali dilaporkan pada 2 Maret 2020 yang menimpa warga Depok[2] dan dikonfirmasi secara langsung oleh Presiden RI, Bapak Jokowi dalam Instagramnya. Lantas dalam sekejap berita tersebut cepat menyebar dalam berbagai media sosial. Seluruh highlight dalam media sosial menjadi berita konfirmasi kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Indonesia termaksud Negara yang baru saja mendapat kasus Covid-19, tetapi belum ada 1 bulan jumlah pasien positif sebanyak 579, 49 pasien meninggal, dan 30 pasien sembuh[3].Â
Sebelumnya di media sosial ramai yang mengclaim jika masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tahan akan virus corona karena kebiasaan masyarakat kita yang kurang hygiene dan menjadikan virus corona enggan mampir. Sarkasme itu berlangsung cukup lama, bahkan terjadi pula dalam akun mahasiswa kedokteran. Sarkasme tersebut digunakan untuk menyindir pihak pemerintah karena sampai saat itu belum ditemukannya 1 kasus pun dalam Indonesia, padahal mayoritas Negara Asia sudah mengkonfirmasi kasus tersebut.Â
Netizen menilai pemerintah terlalu santai dan meragukan apakah kita memiliki pendeteksi corona tersebut. Untuk menangkan masyarakat dan sebagai langkah awal pencegahan Menteri Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan beberapa akun kesehatan serta selebgram memberikan tutorial cara mencuci tangan menggunakan aplikasi Tiktok, hotline jika masyarakat merasa atau berkontak dengan seseorang yang baru saja berpergian di daerah pandemic, serta edukasi berupa infografik yang menarik melalui sosial media mereka.Â
Seiring berkembangnya teknologi zaman sekarang, interaksi antar manusia bisa dilakukan dengan cara tidak bertemu langsung, seperti menggunakan telepon, dan perangkat komunikasi lainnya (Astari Clara Sari, Rini Hartina, Reski Awalia, Hana Irianti, Nurul Ainun, 2018). Penggunaan sosial media sangat efektif di era sekarang.Â
Mayoritas masyarakat pasti memiliki akun sosial media, sehingga penyampaian edukasi tersampaikan dengan baik. Â Fakta menunjukkan bahwa ada 132,7 juta orang menggunakan internet melalui gawai mereka. Ada 86,3 juta orang yang menggunakannya di pulau Jawa, angka itusekitar 65% dari total populasi yang menggunakan internet (Candrasari, 2019).Â
Penggunaan Tiktok sebagai sarana edukasi juga dinilai sangat berhasil, karena masyarakat Indonesia saat ini sedang sering memainkannya, diiringi dengan music dangdut yang fun dan familiar disemua kalangan masyarakat menambah nilai plus dari penyampaian edukasi ini. Beberapa akun di media sosial juga selalu up to date tentang perkembangan Epidemi Covid-19 di Indonesia. Dengan ter up date nya informasi ini diharapkan masyarakat tenang dan tidak melakukan panic buying.
Berbicara masalah panic buying, setelah diumumkannya kasus pertama banyak masyarakat yang berbondong-bondong belanja kebutuhan pokok dan alat kesehatan. Mirisnya lagi mereka memanfaatkan situasi ini dengan menimbun aneka alat kesehatan seperti; hand sanitizer, surgical mask, hands coon, dan alcohol swabs.Â
Setelah barang tersebut langka mereka menjual kembali dengan harga berkali-kali lipat di E-Comerce. Akibatnya rumah sakit atau klinik yang sangat membutuhkan alat kesehatan itu malah kehabisan stock. Banyak masyarakat yang tercekik dengan situasi ini, hingga akhirnya  salah satu akun E-Comerce ternama di Indonesia memblokir akun yang menjual alat kesehatan dengan harga yang tidak wajar.Â
Situasi ini juga digunakan oleh sekelompok  oknum untuk melakukan penipuan di berbagai akun sosial media. Memanfaatkan situasi masyarakat yang panic mencari masker atau multivitamin, mereka membuat akun yang mengaku menjual berbagai alat kesehatan yang sedang dicari-cari masyarakat sekarang dengan harga murah dan miring. Mereka juga menggunakan bot agar viewers, like, dan comment mereka meningkat dan seakan-akan akun mereka itu trusted. Ketika masyarakat tertarik dan melakukan transaksi, nomor mereka akan di block sehingga mereka tidak bisa menghubungi penipu itu lagi. Mereka juga menghapus jejak dengan mengganti nama akun sosial medianya.
Panic buying terjadi karena masyarakat banyak mendapat berita hoax dari sosmed mereka. Akibatnya psikis mereka mengatakan "saya harus membeli kebutuhan hidup sebelum pandemic ini makin parah" atau " jika saya tidak membeli sekarang, maka barang akan semakin langka dan harga meroket".Â
Bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan remaja, media sosial seakan sudah menjadi candu, tiada hari tanpa membuka media sosial, bahkan hampir 24 jam tidak lepas dari smartphone. Media sosial menawarkan banyak kemudahan yang membuat remaja betah berselancar di dunia maya (Cahyono, 2016). Dengan media sosial siapapun dan dimanapun dapat menyebarkan informasi dan informasi tersebut dapat tersebar dengan cepat dan merata.Â
Namun banyaknya berita hoax menimbulkan ketidak jelasan, menambah resah masyarakat, dan memperkeruh suasana yang sedang chaos. Belakangan ini muncul laman dan blog yang tidak jelas. Mereka tidak segan menggunakan atribut provokatif, seperti kata "sebarkanlah" atau kata bombastis sejenisnya. Pesan yang sering dipakai adalah "share ke yang lain, bagikan, atau simpan".Â
Terkadang disertai ancaman seperti surat berantai di masa lampau. Jika berita tidak di sharing-kan, maka khalayak 'disumpahi' akan mendapat petaka, bencana dan duka lara (Mulawarman, Aldila Dyas Nurfitri, 2017). Maka dari itu dalam menyebarkan berita, kita harus memegang prinsip 'THINK' (Ooredoo, 2017), antara lain :
Â
Is it True?
 Apakah informasi yang hendak di share benar, atau jangan-jangan hanya hoax? Bisa jadi berita tersebut benar, tapi sudah diedit dan diberi kalimat yang dilebih-lebihkan. Untuk membagi informasi tentang pandemic Covid-19, sumber resmi yang dibagikan pemerintah hanya melalui https://www.covid19.go.id/ yang dapat dipertanggung jawabkan kevalid-an nya.
Is it Helpful?
Masih berkaitan dengan diatas, jangan sekedar share tapi tidak ada manfaatnya. Semisal kita membagikan konten tapi tidak jelas apa pesannya. Lebih baik kita membagikan tutorial cuci tangan yang baik dan benar, membagikan informasi akun yang menjual masker dan hand sanitizer dengan harga yang wajar, edukasi bagaimana menyikapi selama pandemic ini berlangsung, dsb.
Is it Illegal?
Apakah konten yang kita share diijinkan oleh si pembuat konten? Jika pemilik konten fell free, silahkan dibagi jika memang konten tersebut dirasa bermanfaat untuk di share. Jika pemilik tidak mencantumkan fell free, maka perlu 'ijin' untuk membagi konten tersebut.
Is it Necessary?
Saring sebelum sharing. Sebelum menyebarkan informasi, coba dipikir ulang apakah konten itu memang sangat perlu di share? Manusia pada dasarnya suka berbagi. Apa lagi didalam dunia digital yang sifatnya speed, interactive, dan limits. Tapi penyebaran informasi sekarang sudah bergeser menjadi narsisme, terkesan pamer, dan hanya ingin menjadi viral tanpa memikirkan faktor lain. Ingat apa yang kita share akan terekam dalam jejak digital, dan jejak tersebut sulit dihapus.
Is it Kind?
Dilihat dulu, apakah konten yang hendak kita bagikan menyindir orang lain atau tidak,dalam ber sosmed kita tetap harus menghargai dan menghormati perasaan netizen. Jangan menyudutkan seseorang, padahal orang tersebut belum tentu salah.
Situasi social distance ini dimanfaatkan oleh para tenaga medis khususnya dokter dengan memberikan edukasi di dalam sosial media mereka. Mereka menggunakan instastory untuk mengedukasi pasien atau followers mereka bagaimana pencegahan selama pandemic ini berlangsung. Adapula yang menggunakan Postcad atau Youtube. Terkadang para dokter tersebut membuka QnA atau live supaya dapat berinteraksi lebih efektif. Pemanfaatan teknologi tersebut sangat efektif dan para followers dapat berinteraksi satu sama lain serta ratanya informasi yang mereka dapatkan.Â
Disatu sisi selain mengedukasi pasien tak jarang para dokter di dunia maya 'curhat' tentang minimnya APD di rumah sakit tempat mereka bekerja, terlebih jika mereka bekerja di rumah sakit rujukan. Tak sedikit pula masyarakat yang terketuk hatinya untuk menyisihkan sedikit rezekinya membantu penyediaan APD, vitamin dan makanan untuk para tenaga medis. Dari situlah platform galang dana online di Indonesia, kitabisa.com menggelar galang dana online dengan hastag #IndonesiaLawanCorona.Â
Secara tidak langsung gebrakan galang dana tersebut menjadi gerakan sosial baru, dimana #IndonesiaLawanCorona mengajak masyarakat Indonesia tetap mengikuti protocol pemerintah untuk work from home dan tetap dirumah. Gerakan sosial baru melalui internet dan medsos menjadikan informasi yang disebarkan lebih luas, massif, cepas dan lintas cultural. Melalui kitabisa.com banyak para public figure yang mengajak masyarakat ikut berdonasi untuk para tenaga medis.Â
Bahkan para influencer juga ikut memberikan dukungan berupa; penyewaan mainan gratis untuk anak tenaga medis, gaun pengantin bagi tenaga medis yang hendak menikah di tahun ini, makanan dan vitamin selama pandemic berlangsung, pembagian masker kain serta APD secara gratis, dsb. Gerakan #dirumahsaja terus digebrakan oleh pemerintah dan akun-akun media sosial lainnya demi terputusnya mata rantai Covid-19 yang sampai saat ini semakin bertambah kasus positifnya.
Dari berbagai statement diatas, dapat disimpulkan sosial media menjadi ranah informasi yang massif bagi masyarakat saat ini. Berbagai macam informasi dapat dengan mudahnya didapat. Tetapi dengan kayanya data di sosial media membuat masyarakat rancu dan ragu tentang ke valid-an data tersebut. Banyaknya berita hoax yang justru membuat masyarakat menjadi down dan mendorong mereka untuk melakukan panic buying.Â
Tak sedikit pula yang memanfaatkan situasi dan tega menipu hingga jutaan rupiah. Pemerintah melalui akun media sosialnya tak pernah lelah mengedukasi masyarakat untuk #dirumahsaja. Pandemi Covid-19 di Indonesia belum ada sebulan, tetapi pasien positif sudah mencapai angka 1000[4]. Â Sikap masyarakat selama pandemic berlangsung seharusnya kooperatif dan saling mendukung satu sama lain. Bukannya menciptakan ke-chaos-an baru di ranah digital. Jadi apakah masyarakat akan tetap berjuang agar pandemic ini hilang dari dunia nyata atau menciptakan pandemic dalam digital?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H