Oleh Pusparani Wijayanti dan Safira Aisyah
Masalah mengenai sampah menjadi suatu hal yang tidak dapat lepas dari kehidupan individu. Terlebih lagi, saat ini terjadi peningkatan jumlah penduduk yang secara langsung terdapat korelasi dengan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah. Berdasarkan  data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), terdapat 30,8 juta ton/ tahun timbulan sampah dengan sampah plastik menjadi peringkat empat terbanyak, yaitu 17,4% dari total sampah di Indonesia. Namun, hanya 19,9 juta ton/ tahun sampah yang terkelola. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa keberadaan sampah plastik ini dapat menimbulkan dampak negatif yang serius terhadap populasi dan kematian zooplankton yang merupakan sumber energi bagi ekosistem laut.  Lantas bagaimanakah solusi yang setidaknya dapat mengurangi permasalahan sampah plastik ini?
Sebuah proses pengolahan disinyalir dapat menjadi solusi penanganan sampah sekaligus menjadi alternatif pembuatan Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun, sebelum membahas hal tersebut maka kita perlu mengetahui jenis-jenis dari sampah plastik terlebih dahulu. Plastik dikelompokkan dan diberi simbol berbentuk segitiga arah panah yang merupakan simbol daur ulang yang didalamnya terdapat nomor pengkodean. Jenis plastik tersebut antara lain Polyethylene Terephthalate (PET), Highy Density Polyethylene (HDPE), Polyvinyl Chlorida (PVC), Low Density Polyethylene (LDPE), Polypropylene (PP), Polystyrene (PS), dan lainnya. Lantas, apakah semua jenis plastik ini dapat menjadi bahan dasar konversi limbah plastik menjadi BBM melalui metode pirolisis? Berdasarkan penelitian oleh Honus et al (2018), dikatakan bahwa plastik yang baik diproses pada metode pirolisis adalah plastik jenis PS, HDPE dan PP.Â
Pirolisis merupakan sebuah metode dalam mengolah sampah menjadi bahan bakar minyak. Pirolisis ini memanfaatkan suhu tinggi tanpa adanya udara dalam memproses dekomposisi suatu bahan. Kisaran suhu yang digunakan adalah 300 hingga 650 untuk memecahkan molekul kompleks besar menjadi kompleks molekul yang lebih kecil. Selama proses pirolisis ini, molekul hidrokarbon kompleks dapat terurai menjadi molekul gas, cair, maupun arang yang relatif kecil dan sederhana. Produk cair dari hasil pirolisis inilah yang dapat menjadi alternatif bahan bakar. Perlu diketahui pula, bahwa sistem pirolisis sebaiknya diikuti pula dengan proses pemilahan sampah yang ketat. Apabila sampah tercampur dan terdapat kandungan air yang tinggi, maka akan mempengaruhi kualitas produk dari pirolisis itu sendiri.
Bahan bakar minyak fossil berasal dari organisme yang membusuk ratusan juta tahun yang lalu, sedangkan bahan bakar minyak sampah berbahan dasar sampah plastik. Selain itu, BBM fosil dilakukan secara alami dengan bantuan organisme, sedangkan BBM sampah plastik dihasilkan oleh manusia dengan menggunakan suhu tinggi. Dibandingkan dengan BBM fosil, BBM sampah plastik mengandung sedikit minyak sehingga nilai kalorinya lebih besar. Dalam pembuatannya BBM sampah plastik tidak melibatkan oksigen yang menjadikan produk akhir dari pirolisis tidak mengandung oksigen sehingga tidak menyebabkan korosi.
Lantas, bagaimanakah penerapan pirolisis ini di negara lain? Realitanya, hanya segelintir negara yang bersedia untuk menggunakan dan memajukan teknologi ini. Negara yang telah berani menggunakan proses pirolisis ini umumnya merupakan negara maju yang persentase sampah negaranya tidak didominasi oleh sampah organik melainkan anorganik. Negara yang telah banyak mengadopsi pirolisis ini, antara lain Jepang, Jerman, Spanyol, dan Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, metode ini masih dalam proses pengkajian oleh pertamina dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kesadaran akan pemilahan sampah masyarakat Indonesia dianggap akan menjadi tantangan terbesar proses ini akan digunakan secara masif. Namun hingga saat ini, terdapat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara independen menerapkan metode pirolisis dalam pengelolaan sampah, salah satunya adalah organisasi bernama getplastic.id. Â
Untuk mengetahui apakah metode ini merupakan metode yang baik terhadap lingkungan, maka kita harus mengetahui emisi yang dihasilkan apabila bahan bakar ini digunakan serta apakah lebih baik dari bahan bakar fosil pada umumnya. Penelitian Li et al (2018) menjelaskan bahwa untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar transportasi, minyak hasil pirolisis harus memenuji standar, seperti American Standard (ASTM), European standards (EU), ataupun peraturan negara terkait.Â
Dikutip dari penelitian Kalargaris (2017), menuturkan bahwa minyak hasil pirolisis memiliki kadar CO dan CO2 lebih rendah dibandingkan minyak diesel, namun menghasilkan senyawa NOx yang lebih tinggi daripada diesel.Â
Permasalahan ini dapat dikurangi dengan ditambahkannya zat aditif pada produk pirolisis. Apakah jenis zat aditif yang dapat digunakan? Salah satu zat aditif yang dapat digunakan adalah dietil eter (DEE). Penambahan DEE ini meningkatkan efisiensi pembakaran dan meningkatkan nilai BTE sehingga membuat pembakaran lebih baik yang akan berpengaruh terhadap pengurangan emisi gas buang yang berbahaya, seperti oksida nitrogen, CO, dan CO2.
Dengan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa metode pirolisis dapat menjadi solusi untuk pengelolaan sampah plastik sekaligus menjadi alternatif bahan bakar minyak khususnya diesel. Namun, untuk meningkatkan kualitas dari produk pirolisis ini, maka diperlukan sebuah pemilahan sampah yang baik antara sampah plastik dan sampah organik karena kandungan air dari limbah organik akan mempengaruhi hasil proses terebut. Berdasarkan hal tersebut, maka apabila nantinya Indonesia akan menggunakan metode ini secara masif, maka perlu meningkatkan manajemen pemilahan sampah yang lebih matang baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat sehingga nantinya produk yang dihasilkan dapat bermanfaat dengan memperhatikan hal lainnya, seperti penambahan zat aditif.