Beberapa hari terakhir ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sepertinya sangat sibuk. Jadwalnya padat dan tugas negara menumpuk. Menurut kabar, seminggu lebih ia berada di negeri Paman Sam, sejak 16 April hingga 25 April 2018.
Selama berada di Amerika, Sri Mulyani bukan untuk berlibur atau berleha-leha. Ia sibuk dengan kegiatannya mengurusi negara, di antaranya bertemu dengan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, Managing Director Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, serta sejumlah tokoh beken dunia lainnya.
Namun sayang, di balik kesibukannya selama seminggu lebih di Washington DC, negara dalam kondisi tidak aman, terutama soal keuangan. Entah apa yang diurusin di Amerika, sehingga lupa kalau KURS rupiah semakin merajalela.Â
Bagaimana tidak, nilai tukar rupiah semakin hari semakin tak terbendung. Bahkan beberapa waktu lalu sempat menyentuh angka Rp. 14.000 per Dolar AS. Angka ini hanya turun sangat sedikit. Bahkan hari ini, Senin (30/4/2018) nilai tukar rupiah masih mentereng di angka Rp. 13.946.00 per Dolar AS.
Ini masalah serius dan harus segera ditangani. Tidak cukup Sri Mulyani hanya berdalih kenaikan nilai tukar rupiah disebabkan karena The Fed menaikkan suku bunga dan atau negeri Paman Sam sedang mengalami inflasi.
Angka 14.000 merupakan angka yang sangat tinggi, mendekati angka 16.650 (kenaikan nilai tukar rupiah pasca kerusuhan 1998). Jika hal ini terus dibiarkan, jangan salahkan bila sejarah runtuhnya rezim Soeharto 1998 terulang kembali.
Saat situasi perekonomian negara seperti ini, jujur, saya lebih percaya pada Fadli Zon meski selalu nyinyir dan mempertanyakan prestasi Sri Mulyani. Dan, saya juga baru sadar bahwa, pantas saja Sri Mulyani tak pernah mejawab ajakan debat dari Rizal Ramli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H