Malam itu, Melati memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya. Ia menyiapkan teh manis hangat dan duduk di hadapan Pak Rahmat yang tampak lebih tenang dari biasanya.
"Pak, boleh aku ngomong sebentar?" tanya Melati dengan hati-hati.
"Apa lagi?" jawab Pak Rahmat tanpa menatapnya.
"Pak, aku tahu Papa sedih sejak Mama nggak ada. Aku juga ngerasa kehilangan. Tapi aku kangen sama Papa yang dulu, yang selalu sayang sama kita semua." Suara Melati mulai bergetar. "Aku nggak mau kita terus begini, Pak."
Pak Rahmat akhirnya menoleh, matanya mulai basah. "Melati, Papa minta maaf. Papa nggak pernah tahu kamu ngerasa seberat ini."
Percakapan itu menjadi awal perubahan dalam hubungan mereka. Pak Rahmat setuju untuk mulai mengurangi minum dan mencoba lebih terbuka dengan keluarganya.
Dua bulan berlalu, dan keluarga Melati mulai menemukan kembali kebahagiaan mereka yang hilang. Pak Rahmat perlahan-lahan berhenti minum, dan ia bahkan mulai bekerja lagi sebagai tukang kayu.
Di hari ulang tahun Melati, ia mendapatkan kejutan yang tidak pernah ia bayangkan. Saat ia pulang kerja, ia mendapati rumahnya dihias sederhana dengan balon-balon dan makanan kecil. Pak Rahmat dan adik-adiknya menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.
"Selamat ulang tahun, Kak," kata adiknya sambil menyerahkan kue kecil dengan lilin di atasnya.
Pak Rahmat mendekat dan memeluk Melati erat. "Papa tahu, ini nggak akan menebus semua kesalahan Papa. Tapi Papa mau kamu tahu, Papa bangga sama kamu. Terima kasih karena sudah bertahan."
Melati tidak bisa menahan air matanya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa benar-benar bahagia. Senyum yang ia tunjukkan hari itu bukan lagi sekadar topeng, melainkan cerminan dari kedamaian yang akhirnya ia temukan