DIBALIK SENYUM
Langit sore di desa kecil ini selalu memberi rasa damai, namun tidak dengan hati Melati. Gadis berusia 24 tahun itu duduk di teras rumah, menatap jalanan sepi dengan pandangan kosong. Ia tersenyum tipis pada setiap tetangga yang melintas, tetapi di dalam dadanya, badai emosi berputar tanpa henti.
Melati dikenal sebagai gadis ceria yang ramah. Namun, hanya dirinya yang tahu bahwa senyum yang ia tunjukkan adalah tameng untuk menutupi rasa sakit yang telah bertahun-tahun ia simpan. Sebagai anak sulung, ia merasa harus selalu kuat untuk adik-adiknya, apalagi sejak sang ibu meninggal dan ayahnya berubah menjadi sosok yang pemarah.
Hari itu, Melati baru saja pulang dari tempat kerjanya di pabrik garmen di pinggiran kota. Ia mendapati rumahnya gelap dan sunyi. Ketika ia membuka pintu, ia melihat ayahnya, Pak Rahmat, duduk di ruang tamu dengan botol minuman di tangannya. Bau alkohol langsung menyengat hidung Melati.
"Kamu telat lagi pulang, Melati! Kerja apaan sih kamu, hah?" bentak Pak Rahmat dengan suara berat.
"Maaf, Pak. Tadi ada lembur," jawab Melati pelan, mencoba menahan tangis.
"Lembur, lembur! Apa itu cuma alasanmu buat keluyuran di luar, hah? Kamu pikir aku nggak tahu?" Ayahnya berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung, namun nada suaranya semakin tinggi.
Melati memilih diam, menunduk, dan melangkah menuju kamarnya. Namun, sebelum ia sempat menutup pintu, ayahnya menarik tangannya. "Kamu pikir bisa kabur gitu aja?"
"Pak, tolong... Saya capek..." Melati memberanikan diri mengangkat wajah, menatap mata ayahnya yang memerah. "Saya cuma mau tidur."
Pak Rahmat terdiam sesaat, sebelum akhirnya melepaskan tangan Melati. "Huh, dasar nggak tahu terima kasih."
Malam itu, Melati duduk di kamarnya dengan air mata yang tak terbendung. Ia merasa hidupnya seperti penjara yang tak pernah bisa ia tinggalkan.