Pemerintah baru saja memotong anggaran belanja hingga Rp 50 triliun tersebab seretnya penerimaan negara. Nafas APBN tersengal-sengal dan sudah lampu merah. Penerimaan pajak yang diandalkan menopang 85-90% APBN, rupanya tak membawa kabar gembira. Seperti biasa, pemerintah selalu mengandalkan utang untuk menutup kekurangan dana.
APBN harus diinfus dengan utang untuk membiayai program pemerintah. Jelang pertengahan tahun, utang pemerintah sudah sebesar Rp 4.205,96 triliun rupiah. Kebijakan di sektor perpajakan untuk mengerek pendapatan negara, baru sebatas ribut-ribut di tataran wacana.
Bahkan, pemerintah menggelindingkan ambivalensi yang menakutkan bagi dunia usaha. Misalnya, wacana ‘memajaki’ e-commerce tanpa pandang bulu dan manfaat buat negara di usianya yang masih belia. Sontak, wacana tersebut sudah tentu ditentang oleh para pelaku bisnis daring yang terdiri dari para anak muda yang punya cita-cita.
Di tengah himpitan yang mendera sektor ekonomi hingga pertumbuhan tak membawa kabar gembira, pemerintah harus kreatif merangsang kinerja sektor usaha. Bukan malah menebar ketakutan dengan wacana pungutan pajak yang terkesan membabibuta. Usaha belum juga mendapat laba dan dukungan nyata dari negara, kok sudah mau dipaksa keluarkan dana ekstra.
Pemerintah memang dihinggapi godaan menggiurkan untuk menahan diri dari menagih kontribusi, yang katanya untuk membangun negara. Ekosistem bisnis yang berkembang membentuk industrinya, ditanggapi sebagai dilema. Padahal, tak jarang dana rakyat tersebut ditilep dengan laku rasuah oleh para penguasa. Ya, begitulah.
Ketika negara tak lagi punya ruang gerak untuk mendorong perekonomian karena berbagai masalah, saat itulah diperlukan peran dunia usaha. Sektor properti sangat diandalkan untuk menggerakkan mesin ekonomi tahun 2016. Setelah terkulai karena dampak krisis dan perlamabatan ekonomi nasional pada tahun lalu, tahun ini sektor properti diramalakn bangkit lagi.
Tahun 2016, kapitalisasi pasar properti diestimasi mencapai Rp. 152,7 triliun. Hunian vertikal menyumbang 53% dan selebihnya adalah hunian tapak. Kapitalisasi pasar apartemen dan hunian tapak terhitung naik signifikan. Masing-masing melonjak dibanding tahun sebelumnya.
Hal ini tentu menjadi kabar gembira bagi pemerintah. Bahwa, musim semi properti kembali tiba. Badai ekonomi yang mengoyak daya beli masyarakat telah berlalu dengan ragam cerita.
Lihatlah misalnya, di berbagai daerah bermunculan proyek-proyek properti yang mengusung konsep baru nan memanjakan. Jika masa lalu pembangunan dan pengembangan kawasan hunian identik dengan kota besar, hal itu telah bergeser. Pengembang telah berani ekspansi ke daerah-daerah di luar Jabodetabek. Mulai dari Surabaya, Makassar hingga Balikpapan.
Di Balikpapan misalnya, Agung Podomoro Land yang dikenal dengan proyek-proyeknya yang inovatif, tengah membangun Borneo Bay Residences. Super blok Borneo Bay adalah revitalisasi kawasan hunian yang dilengkapi dengan apartemen, mal dan hotel.
Ini artinya, proyek unggulan APL di luar Jabodetabek itu membawa berkah bagi daerah. Kue ekonomi tersebar ke berbagai penjuru Indonesia. Selain mendekonsentrasi pembangunan, ekspansi proyek-proyek tersebut juga mencegah ‘kerumunan semut’ di Jabodetabek.
Pergerakan industri real estate ke daerah, membantu menciptakan kawasan super blok yang memperindah wajah kota.
Di tangan pemerintah, pembangunan dilakukan sporadis dan tak mengindahkan implementasi tata ruang. Akibatnya, pusat-pusat ekonominterpusar di titik tertentu yang menimbulkan problem turunan seperti kepadatan dan macet.
Pembangunan di daerah kian menggeliat dengan sentuhan pengembang besar yang memiliki modal raksasa seperti Agung Podomoro Land. Pemerintah pusat dan daerah mesti seirama dalam menerbitkan aturan untuk merangsang dan memudahkan dunia usaha. Dengan kemudahan-kemudahan investasi di daerah, ekonomi Indonesia bakal kembali menjadi primadona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H