Salah satu stereotip yang sering terjadi adalah anggapan bahwa pengguna outfit skena merupakan pemberontak, tidak sopan, dan aneh.
Padahal, outfit skena merupakan salah satu cara anak muda untuk mengekspresikan identitasnya melalui subkultur yang diikutinya.
Pengekspresian diri ini ditunjukkan melalui aksesori yang dikenakan dan kemudian menjadi simbol identitas kolektif yang menjadi penanda bahwa anak muda tersebut merupakan bagian dari subkultur atau kelompok tertentu.
Dengan subkultur dan ciri khasnya yang berbeda, setiap outfit skena menunjukkan keunikan yang dimiliki oleh anak muda yang berusaha untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan diri mereka kepada umum.
Media sosial dan kelompok sebaya menjadi dua hal utama dalam proses penyebaran tren ini.
Media sosial memungkinkan anak muda untuk mengikuti tren ini melalui tren yang juga sedang berkembang di media sosial. Jika tertinggal, bisa saja anak muda tersebut merasa ‘ketinggalan zaman’.
Sedangkan, kelompok sebaya menjadi tempat untuk dirinya mendapatkan pengakuan agar dapat diterima menjadi bagian dari kelompok tersebut, atau hanya sekedar tidak ingin merasa left out dan berbeda dari anggota kelompok yang lain.
Kehadiran dan fleksibilitas tren ini menunjukkan bagaimana sebenarnya identitas budaya sebenarnya selalu mengalami adaptasi dan perubahan bagi setiap individunya.
Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Larry A. Samovar, seorang ahli komunikasi antarbudaya, yakni, “Identity is fluid and complex, reflecting the many contexts in which we interact and the diverse cultural influences we encounter. It is shaped and reshaped by our experiences, relationships, and the evolving nature of society.” (Samovar dkk., 2017).
Jadi, apa mengenakan outfit skena juga menjadi caramu untuk mengekspresikan dirimu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H