Mohon tunggu...
Safiera Anindya Syaafiyana
Safiera Anindya Syaafiyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM

Mahasiswa yang suka membaca dan menulis. Saat ini sedang dalam kebahagiaan untuk belajar dan mencoba hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mahasiswa PKM PM UGM Menjawab Fenomena "Sapi makan Kambing" selama Musim Kemarau di Gunungkidul

21 Oktober 2023   23:15 Diperbarui: 21 Oktober 2023   23:34 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena sapi makan kambing di Gunungkidul memang tidak dapat diartikan secara literal. Kondisi ini merujuk pada biaya pakan ternak di musim kemarau yang tinggi sehingga untuk memberi makan satu ekor sapi setara dengan membeli satu ekor kambing baru. Oleh karena sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan karst, Gunungkidul kerap mengalami defisit pakan ternak selama musim kemarau. Dalam memenuhi kebutuhan pakan ternaknya, masyarakat terpaksa membeli dari luar daerah ataupun luar provinsi seharga Rp 20.000,- per ikat tebon (pakan berupa tanaman jagung muda). 

Jika dikalkulasikan untuk satu ekor sapi saja membutuhkan setidaknya 2 ikat tebon per hari sehingga minimal masyarakat mengeluarkan Rp 40.000,- per harinya. Berdasarkan data BPS Gunungkidul, curah hujan yang rendah sebagai indikasi musim kemarau terjadi dalam rentang waktu 4-6 bulan. Biaya pakan ternak yang tinggi ini perlu dikeluarkan oleh masyarakat pada rentang waktu yang tidak singkat tersebut. "Istilahnya kalau dihitung ekonominya ya sudah tidak untung, Mbak. Tapi, buat kami, ternak itu ya yang penting bisa hidup, bisa digunakan (dana hasil penjualan ternaknya) ketika butuh", ujar Rini, salah satu anggota Karang Taruna desa Karangasem.

Dengan memanfaatkan momentum ajang Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-PM), 5 mahasiswa kehutanan dan peternakan UGM mengusung alternatif penyelesaian untuk permasalahan tersebut. Melalui "jembatan" mitra yaitu Karang Taruna desa Karangasem, diharapkan penerapan alternatif penyelesaian masalah ini dapat sustain. 

Mahasiswa UGM tersebut membawa inovasi Silase (pakan ternak terfermentasi) sebagai strategi penyediaan pakan ternak yang lebih ekonomis dibandingkan tebon. Silase dapat dibuat menggunakan EM-4, molase, dan dedak yang dicampurkan ke dalam hijauan pakan ternak. Kemudian, disimpan dalam keadaan anaerobik minimal selama 21 hari dan maksimal 9 bulan. Dengan begitu, stok pakan ternak di musim kemarau dapat disiapkan sejak musim penghujan. 

Diharapkan melalui program ini masyarakat tidak perlu lagi membeli pakan tebon yang mahal di musim kemarau. Kelompok mahasiswa juga telah menghitung kisaran valuasi ekonomi dari silase ini berhasil menekan biaya rumah tangga masyarakat untuk pakan ternak sampai 87%. Mereka berharap masyarakat dapat difasilitasi untuk pembuatan silase secara komunal (per kelompok atau per dusun) dari anggaran dana desa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun