Mohon tunggu...
SN W
SN W Mohon Tunggu... Penjahit - Biasa saja

Kejujuran itu penting walau kadang menjadi bumerang buat kita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cintaku, Nodamu (7)

18 Oktober 2014   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:32 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tubuhku terlonjak oleh rasa kaget yang amat sangat saat mendengar suara berdebam-debam dari pintu kamarku. Aku membuka mataku seketika dan berusaha bangkit dari tidurku. Rasanya aku baru saja memejamkan mataku. Suara gedoran pintu diiringi teriakan dari luar membuat jantungku seperti mau lompat keluar. Dari suaranya yang berat, aku tahu kalau itu Randu. Kulirik wekerku. Aku terkesiap. Sudah setengah tujuh.

Aduuh, mati aku! Pantas saja Randu membuat gaduh di luar, seruku panik di hati. Aku segera turun dan berlari membuka pintu.

“Sudah jam berapa ini?” Semprot Randu sambil menatapku tajam. Aku hanya bisa tertunduk. Meski saat ini hatiku sedang gentar tapi pikiranku melayang ke Ibu Meike.

“Ma...ma...maaf,” kataku lirih.Ooo tidak ada waktu lagi. Aku harus segera turun.

Lalu tanpa menggubris Randu yang sedang berdiri di depanku aku berlari menuruni tangga, langsung menuju dapur. Tapi langkahku tiba-tiba terhenti saat melihat di atas meja makan sudah tersaji bubur dan segelas juice. Pak Karim muncul tiba-tiba dari dapur. Di tangannya ada sepiring nasi goreng. Diletakkannya di atas meja sambil tersenyum padaku, lalu matanya berpindah ke suara langkah kaki yang sedang mendekat. Langkah kaki Randu.

“Enak ya tidurnya semalam?” sindir Randu sambil menarik kursi.

Akumenarik napas berat sambil tertunduk. Teringat peristiwa semalam, aku jadi malu sekali. Andai saja aku kura-kura sudah pasti sudah kusembunyikan kepalaku ke dalam tempurungku.

“Cepat sana, ibu sudah menunggu,” katanya dengan nada setengah teriak.

Aku segera berlari ke kamar Ibu Meike. Wanita tua itu menatapku saat aku masuk. Dari sorot matanya aku tahu wanita tua itu ingin bertanya mengapa aku terlambat. Pak Karim tiba-tiba muncul membawa sarapan untuk Ibu Meike. Aku tersenyum lesu sambil mengucapkan terima kasih. Sebisa mungkin aku menahan air mata yang akan keluar. Aku tidak boleh menangis lagi.

“Maafkan saya, bu. Saya kesiangan,” kataku merasa bersalah pada Ibu Meike yang dibalas dengan mengerjap-ngerjapkan matanya.

Kemudian, seperti biasanya aku mulai menyuapinya, meminumkan obatnya, membersihkannya lalu mendandaninya. Lalu aku menyetel siaran tv untuknya sebelum meninggalkannya. Aku berjalan gontai menuju dapur membawa piring kotor. Ketika melewati meja makan, Randu yang tengah lahap dengan nasi goreng dengan koran di tangan kirinya menoleh. Dia memberi kode dengan jarinya kepadaku untuk mendekat. Aku mengikuti dengan berdiri di seberang meja makan.

“Mulai saat ini, Daniar yang harus membersihkan kamarku,” katanya tegas dengan sorot mata tajam ke arahku. “Pak Karim dengar? Biarkan Daniar yang melakukannya,” katanya pada Pak Karim yang berdiri tidak jauh dari situ.

Mataku membelalak. Tapi entah kenapa aku tidak ada kekuatan untuk melawan. Sorot mata Randu yang tajam membuatku bungkam.

Pak Karim mengangguk sambil melirikku yang terpaku.

“Kamu juga dengar?” tanya Randu kepadaku.

“Yyya....,” jawabku lirih. Randu meneruskan makannya tanpa menoleh lagi padaku. Aku pun segera berlalu untuk mengerjakan tugasku.

Pikiranku kacau. Membersihkan kamar Randu? Perasaanku jadi gentar. Semangatku tiba-tiba ciut. Namun Bayangan bunda dan Airin berkelebat. Dan sisi lain di sudut hatiku mengatakan tidak akan terjadi apa-apa. Tak tahan sudah. Air mataku pun tumpah. Aku menyeka dengan punggung tanganku. Enam bulan lagi ujian meja digelar. Bisakah aku melaluinya? Pekerjaan di rumah begitu banyak. Aku nyaris tidak punya waktu untuk menyusun skripsiku.

***

Aku duduk di bawah tangga fakultas menunggu Pak Haris, dosen pembimbingku yang belum datang. Dari tadi aku tidak melihat mobil Pak Haris yang biasa terpakir di tempat parkir. Aku menjadi gelisah. Pekerjaan rumah yang menumpuk yang belum kuselesaikan tengah menanti. Hampir satu jam aku duduk di sini.

Dulu aku dan Rina sering duduk di sini bersama teman-teman yang lain menunggu waktu kuliah. Tapi sekarang karena kami semua sudah tinggal menyusun skripsi jadi kami jarang bertemu dan berkumpul. Kami disibukkan dengan kegiatan kami masing-masing. Aku tersenyum pahit saat mengingat kegiatanku yang sekarang. Ah, andai saja bisa aku ingin berhenti saja dari pekerjaanku sebagai pembantu. Aku hampir sudah tahan.

“Sudah lama?”

Aku tersentak. Rina telah berdiri di sampingku. Aku mendesah sambil mengangguk.

“Niar, kamu selalu menghindariku,” kata Rina tiba-tiba sambil duduk di sampingku. Tubuhnya sengaja disandarkan ke tembok gedung agar bisa menghadap padaku. Aku hanya menoleh.

“Mengapa kamu selalu menghindariku?” tanya Rina lagi.

“Bukankah kamu yang menghindariku, Rin?” Aku balik bertanya.

“Kamu selalu menghindariku tiap aku ke rumah kak Randu. Sebenarnya kadang aku ingin ngobrol dengan kamu, tapi aku takut kamu akan terganggu,” Aku tidak tega tiap kali melihat cara kak Randu memerintah kamu. Aku takut kamu akan kena marah gara-gara aku,” jelasnya pelan

Dadaku terasa sesak. Aku berusaha menahan air mata yang akan menyeruak mendengar kata-kata Rina. Aku tersentuh karena kepeduliannya atau kata terakhir yang diucapkannya tadi?

“Kamu tidak tahu, Rin. Betapa susahnya menjadi pembantu.” Aku memegang dadaku menahan rasa perih. “ Andai bisa aku ingin berhenti saja.”

Rina menatapku iba. Ada sedikit rasa plong setelah mengeluarkan isi hatiku. Kulihat mata Rina berkaca-kaca. Kutatap sahabatku itu dengan rasa bersalah.

“Ada yang bisa aku lakukan untuk dapat membuatmu keluar dari masalah ini?” Rina mencoba peduli.

“Jangan bilang siapa pun tentang aku dengan pekerjaanku.”

Rina mengangguk. “Kamu tidak akan menghindariku lagi?” tanyanya lagi dan aku pun menjawabnya dengan anggukan. Lalu kami berdua sama-sama tersenyum.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun