Mohon tunggu...
SN W
SN W Mohon Tunggu... Penjahit - Biasa saja

Kejujuran itu penting walau kadang menjadi bumerang buat kita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cintaku, Nodamu (6)

18 Oktober 2014   00:37 Diperbarui: 20 Oktober 2019   20:09 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Meike tersenyum senang saat melihatku masuk ke kamarnya. 

“Aku kira ibu sudah tidur,” kataku sambil mendekat lalu duduk di sampingnya. 

Wanita tua itu berusaha menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum. Kulirik jam dinding yang berada tepat di atas tv. Pukul 20.00. Biasanya pada jam begini wanita tua itu sudah tidur. Tapi ternyata matanya masih terbuka lebar. Tidak ada tanda-tanda kantuk di sana. 

Aku baru saja selesai mencuci piring makan malam. Tadinya aku berencana setelah itu aku akan mengetik skripsiku, tapi saat menyempatkan menengok Ibu Meike, aku melihat wanita tua itu ternyata belum tidur. Aku pun mengurungkan niatku.

“O ya, bu, minggu depan mbak Widya datang. Dia juga tadi titip salam rindu untuk ibu,” kataku memberitahu. Mata Ibu Meike berbinar bahagia.

“Mau saya bacakan lagi sebuah majalah, bu?” tanyaku yang dijawab Ibu Meike dengan gerakan kepala satu kali ke bawah. Aku tahu itu artinya Ibu Meike mau. 

Tiba-tiba ada rasa haru menyeruak dalam dadaku jika mengingat usaha wanita tua itu untuk sembuh. Dia selalu berusaha menggerakkan anggota badannya sendiri. Tapi aku pernah mengingatkan beliau agar jangan melakukan gerakan berdiri sendiri atau bangkit dari duduknya tanpa ada orang di sisinya. Sungguh aku takut beliau terjerembab ke lantai lalu tidak bisa bangun dan tidak ada yang menolong.

Aku mengambil sebuah majalah dari atas meja kecil yang berada di samping tempat tidurnya. Tanpa sadar aku melirik foto Randu dengan mamanya. Aku mendesah dalam hati berusaha menarik tatapanku dari benda kecil itu. Aku membolak-balik halaman majalah yang ada di tanganku.

“Hmm...sudah semua dibaca nih, bu.” Aku mengambil majalah yang satunya lagi. “Ini juga, sudah. Kayaknya semuanya sudah pernah dibaca,” kataku akhirnya setelah semua majalah telah kuperiksa halamannya. 

“Tapi....kayaknya ada yang belum dibaca,” Aku melirik Ibu Meike sambil tersenyum menggoda. “Malah banyak nih...,” Aku berhenti sebentar. Majalah di tanganku yang masih terbuka kubawa ke dadaku sambil menatapnya.

“Iklaaaan,” sambungku dengan mimik lucu.

“hhhwhwhw....” Tidak terduga Ibu Meike tertawa. Tampak garis yang sangat jelas pada otot pipinya disertai matanya yang mengerjap-ngerjap menandakan wanita itu merasa lucu dengan gurauanku. Aku terpana sambil tersenyum.Untuk sesaat aku tidak bisa berkata apa-apa, lalu aku pun berdiri.

“Sebentar ya, bu. Tadi aku sudah belikan lagi yang baru kok. Aku ambilkan dulu,” kataku. Namun belum aku membalikkan badanku, Ibu Meike memegang tanganku. Aku terperanjat. Aku balik menatapnya.

“Ibu sudah bisa....tangan ibu sudah bisa bergerak,” seruku gembira sambil mendekap tangannya di dadaku. Tak sadar aku mencium kedua tangannya lalu kedua pipinya. Ibu Meike tersenyum lebar dengan otot-otot rahang dan pipinya yang masih bergetar. Aku menarik napas lega

Ibu Meike menggelengkan kepalanya. Aku mengernyitkan keningku.

“Maksud ibu? Ooo tidak usah ambil majalah? Ibu tidak suka lagi?”

Lagi Ibu Meike menggeleng sambil melirik ke tempat tidur lalu memejamkan matanya.

“Rrrrurr...rr,”

Hm...mungkin maksudnya tidur. “Baiklah,” kataku akhirnya sambil membetulkan selimutnya. “ Selamat mimpi indah!” Aku tersenyum. Kemudian aku pun berlalu dari kamar diiringi dengan tatapan Ibu Meike yang tak lepas sampai aku menutup pintu.

Aku menuju ke ruang samping dekat kamar Pak Karim. Di sana tadi aku meletakkan tumpukkan hasil cucianku tadi siang dalam keranjang besar. Aku bermaksud melipatnya. Besok aku akan menyeterikanya sepulang dari kampus nanti. 

Kalau di rumahku dulu, pakaian yang sudah dicuci dilipat di ruang keluarga. Biasanya semua anggota keluarga ikut membantu sambil menonton tv. Kami saling bersenda gurau, saling mengejek hasil lipatan siapa yang paling jelek. 

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku mencoba menahan air mata yang akan keluar lagi. Mengingat saat-saat manis itu selalu membuatku terharu. Aku tidak boleh menangis lagi, batinku di hati.

 Aku tersenyum gembira melihat Pak Karim sedang melipat hasil cucianku. Ah, Pak tua ini yang selalu bisa menghiburku. Banyak pekerjaan rumahku selalu beliau bantu.

“Terima kasih, Pak,” kataku sambil ikut duduk di kursi rotan. Lalu tanganku pun ikut melipat pakaian yang tertumpuk di keranjang.

Lima belas menit berlalu. Selesai sudah. Dibantu Pak Karim aku membawa hasil lipatan kami ke ruang cucian untuk disetrika besok. Kemudian aku naik ke kamarku, akan melanjutkan mengetik skripsiku. 

 

***

Aku merenggangkan badanku menghilangkan penat yang amat sangat. Kulirik weker yang ada di mejaku. Pukul 22.30. Aku mendesah, baru juga tiga halaman tapi mataku sudah terasa berat sekali. Tulisan-tulisan yang tertera di layar laptop-ku tidak bisa lagi kulihat jelas. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku berulang-ulang mengusir rasa kantukku.

Mendadak aku teringat dengan Ibu Meike. Aku ingin menengoknya dulu sebelum tidur. Lalu dengan langkah pelan aku pun turun ke lantai satu menuju ke kamar Ibu Meike. Belum sempat aku membuka pintu, aku menyadari kalau pintu Ibu Meike sedikit terbuka. Dengan penuh tanda tanya perlahan aku mengintip dari balik pintu. Pemandangan di depan mataku sempat membuatku tercengang sesaat. Tampak Randu sedang memperbaiki selimut mamanya lalu mengecup keningnya. Menyadari Randu hendak melangkah keluar aku berlari panik menjauh dari arah pintu. Tapi aku bingung mau ke arah mana. Terpaksa aku hanya bisa bersembunyi di belakang sofa panjang

Satu detik, dua detik,...dan sudah hampir sepuluh menit aku tidak mendengar langkah kaki. Aku mencoba mengintip. Pintu kamar Ibu Meike masih sedikit terbuka. Berarti Randu belum keluar. Aduuh...aku ingin berdiri dan berlari naik ke lantai atas tapi takut berpapasan dengannya. Terpaksa aku hanya bisa menunggu. Sayangnya mataku tidak bisa kuajak kompromi. Yang kutahu aku tidak ingat Randu lagi....aku tidak ingat mamanya...dan kepalaku pun terkulai perlahan. Aku tersentak. Tapi mataku lagi-lagi mau tertutup. Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

Aku hanya merasa tubuhku seperti bergoyang-goyang lembut. Aku mencoba mengingat-ingat sudah di mana kira-kira kendaraan yang kutumpangi ini sekarang berada, sampai tiba-tiba aku mendengar sebuah suara.

“Biar aku saja. Tolong bukakan pintu!”

Aku tercekat. Randu! Dengan siapa dia bicara. Lalu aku? Di mana aku? Bau parfum yang amat kukenal tepat berada di depanku. Tidak ada batas. Hidungku menyentuh langsung sumber baunya. Tiba-tiba aku sadar, aku berada dalam gendongan Randu . 

Apa yang terjadi? Aku berseru panik dalam hati. Aku tidak berani membuka mataku. Entah karena malu atau apa. Aku tidak tahu. Yang jelas ada sesuatu yang menjalar dalam dadaku yang membuatku ingin terus berada dalam gendongannya. Kupejamkan mataku erat. 

Kini kurasakan tubuhku berpindah ke ranjang, lalu selimut menutup tubuhku. Aku masih tidak berani membuka mataku, karena aku masih dapat merasakan bayangan2 berdiri di sisi ranjangku. Pasti Randu dan Pak Karim. Terdengar langkah kaki menjauh dan pintu tertutup. Aku belum berani membuka mataku. Feellingku mengatakan masih ada orang di sini. Memang ada yang telah keluar tapi aku tidak tahu. Randukah atau Pak Karim? Tapi tak lama kemudian aku pun bernapas lega saat bayangan itu menjauh dan terdengar lagi pintu menutup.

Aku membuka mataku. Dan aku terperanjat. Di depan pintu, di sana Randu tengah menatapku dengan tangan terlipat di dada. Ada senyum tipis tersungging di bibirnya. Pemuda itu berjalan mendekatiku. Aku beringsut mundur perlahan.

“Mengapa tidak dari tadi kamu membuka matamu? Kamu ingin terus digendong?” Mata Randu menyipit menatapku. Pertanyaan yang membuatku mati kutu. 

Kini aku baru sadar. Selama menunggu Randu keluar dari kamar mamanya tadi aku tertidur di belakang sofa. Tapi mengapa dia bisa tahu aku ada di situ? Bukankah saat itu lampu telah dimatikan?

“Aku baru sadar setelah di sini,” kataku bohong. “Terima kasih telah membawaku ke kamar meski itu sebenarnya tidak perlu, “ sambungku sambil membuang mukaku ke samping. Tentunya ke arah dinding yang berseberangan dengan Randu. Aku merasa ada rasa hangat menjalar di pipiku.

Randu mendengus.

“Lain kali jangan terulang lagi,” kata Randu dengan suara parau. 

Beberapa saat tidak ada suara. Hening.

Ooo apa yang masih dibikin makhluk ini di sini? Mengapa dia tidak keluar saja? Aku menoleh. Serr! Dararku berdesir halus. Mata itu tengah menatapku tajam. 

“Maaf, saya mau tidur,” kataku panik. Sungguh kali ini ada rasa takut menjalar ke sekujur tubuhku. Tatapan Randu bagiku terasa aneh. 

Pemuda itu menghembuskan napas berat  lalu berbalik keluar. Pintu telah tertutup tapi aku tidak mendengar langkah kaki menjauh. Segera aku melompat turun dari ranjang. Kuputar kunci yang selalu bertengger manis di tempatnya. Ada rasa lega. Sesaat aku hanya bisa bersandar di pintu. Kupejamkan mataku mencoba menenangkan hatiku yang bergolak.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun