Farid dan aku berjalan tergesa menyusuri koridor rumah sakit. Rudi menyambut kami di sebuah lorong dan membawa kami di sebuah ruangan. Tampak Rina sedang duduk gelisah. Aku panik.
“Ada apa dengan Cinta, Rina? Di mana dia?”
Rina menunjuk ke dalam sebuah ruangan yang tertutup pintunya. Ya, Tuhan, apa yang terjadi dengan Cintaku. Aku ingin menerobos masuk, tapi sebelum aku mencoba membuka pintu, Rudi menahanku.
“Sabar, kak Niar. Cinta sedang ditangani.”
“Cinta..., Cinta.... aku harus di dekatnya. Dia tidak bisa jauh dariku.” Air mataku berlinang membayangkan Cinta yang bertarung melawan penyakitnya. Rina memelukku. Farid hanya bisa terpaku. Aku bisa melihat ada kilau dalam bola matanya.
Pintu terbuka. Seorang dokter keluar.
“Mamanya Cinta mana?” tanya dokter itu.
Aku segera berdiri. Dokter itu menyuruhku masuk. Rupanya selama dalam penanganan, Cinta selalu memanggil-manggil aku. Dokter berpikir mungkin kehadiranku dapat membantu Cinta dapat melalui masa kritisnya.
Cinta menatap sayu aku. Bibirnya bergerak tanpa suara. Aku tahu dia memanggilku. Aku mencoba tersenyum. Sebisa mungkin aku berusaha tidak menangis. Cinta tidak suka aku menangis. Kuelus tangannya yang terkulai lemah. Kubelai pipinya memberi kekuatan. Kuusap rambutnya penuh kasih. Ada sinar binar tertangkap dalam bola matanya. Lama sekali baru Cinta tertidur. Dokter datang memeriksa. Cinta sudah bisa melewati masa kritisnya. Kata dokter suatu keajaiban. Dokter itu tersenyum lega. Cinta masih harus dirawat intensif.
Aku menoleh ke dinding pembatas ruangan yang sebagian terbuat dari kaca. Di sana tengah berdiri Rudi, Rina dan Farid. Ketiganya menatap kami tak berkedip. Tampak jelas Farid kelihatan tegang. Aku berdiri menemui perawat yang bertugas jaga. Bertanya apakah selain aku orang lain bisa masuk menjenguknya. Perawat itu membolehkan tapi bergantian.
“Masuklah, om!” kataku pada Farid. Aku tahu lelaki itu ingin dekat dengan anaknya saat ini. “Tapi jangan lama. Aku takut kalau Cinta terjaga, mendapati Om ada di depannya,” kataku mengingatkan. Karena masih kuingat jelas perbuatan Cinta dulu akibat rasa tak sukanya pada Farid. Farid bergegas. Rina menatap kami bingung. Pasti dia merasa heran aku mempersilahkan om Farid masuk.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku hari ini. Aku pernah berniat kalau bertemu dengan papa Cinta aku akan menamparnya. Kini dia ada di depanku. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Yang ada hanya rasa iba. Mungkin karena pertemuan ini terjadi di situasi yang tidak tepat.
Farid masuk mendekati Cinta. Tangannya bergetar ingin mengusap kepala Cinta. Farid menangis. Lelaki itu tersedu di sisi tubuh putrinya yang sedang terbaring. Rina terkejut. Sahabatku itu terpana melihat reaksi omnya. Dia terdiam kaku. Aku menghela napas. Lalu terduduk lemas. Hari ini aku benar-benar merasa letih. Mataku jadi menerawang jauh. Rina ikut duduk di sampingku. Aku tahu dia ingin dengar penjelasanku.
“Kamu pernah bertanya mengapa aku menghilang tiba-tiba....,” aku mulai bicara. “Inilah jawabannya, Rin.” Lagi aku menghela napas. Kulirik Rina yang tampak terkejut.
Sebelum dia mengambil kesimpulan sendiri, aku segera bercerita tentang awal keberadaan Cinta dalam hidupku. Tentang keadaan kami setelahnya, tentang cibiran orang, tingkah pola Cinta yang menggemaskan, dan rasa sayangku pada bocah itu. Semuanya. Semuanya kuceritakan tak tersisa karena masih terekam jelas dalam ingatanku. Sesekali kuusap air mataku yang tumpah. Aku tak menyadari saat itu tiga pasang mata sedang mendengarkan.
Aku berhenti dan menoleh pada Rina. Matanya telah basah oleh air mata. Di dekatnya Farid berdiri terpaku. Dan aku baru sadar ada Rudidi dekat kami menatapku tak berkedip dengan mata berkaca-kaca. Aku mencoba tersenyum. Lalu aku berdiri. Tiba-tiba Rina memelukku.
“Aku tidak menyangka hidupmu begitu berat, Niar.”
Aku menghela napas.
“Aku tidak merasa menyesal. Malah aku bahagia Cinta hadir dalam hidupku,” kataku sambil melirik Farid. Tiba-tiba aku takut lelaki itu akan merebut Cinta dari sisiku.
Malam semakin larut. Aku terus menatap Cinta lewat dinding kaca pembatas. Aku bersiaga kalau dia bergerak, aku harus segera masuk supaya dia merasa kalau aku selalu ada di sampingnya. Tadi Rina sudah pamit pergi mencari penginapan. Sebelumnya aku melihat Rina dan Farid tengah membicarakan sesuatu. Sedang Rudi, pergi mencari tempat untuk bisa tidur.
Farid mendekatiku
“Istirahatlah. Aku akan menjaganya. Jika dia terjaga aku akan memberitahumu,” katanya. Aku menoleh. Untuk pertama kalinya aku melihat kelembutan dalam sinar matanya.
“Terima kasih,” jawabku.
“Aku yang harus berterima kasih padamu. Kamu telah menjaga Cinta dengan begitu baik,” kata Farid. Lelaki itu terdiam sesaat. Andai saja dia tidak bicara lagi aku tidak mungkin tahu kalau lelaki itu saat ini sedang berusaha menahan tangis. “Aku tidak tahu kalau Widya mengandung anakku. Dia tidak pernah bercerita sedikitpun padaku sampai saat-saat dia pergi untuk selamanya,” sambungnya dengan suara bergetar.
Farid bercerita kalau dia dulu dan mbak Widya saling mencintai. Tapi sayangnya Farid telah ditunangankan dengan pilihan orang tuanya yang masih sepupunya sendiri, dan akhirnya menikah. Farid tidak bisa melawan kehendak orang tua dan keluarga besarnya. Mereka harus menikah sesama bangsawan, bergelar Andi.
Aku bisa memakluminya kini, mengapa dulu mbak Widya lebih memilih menjauh, dan berusaha mempertahankan buah cintanya dengan laki-laki yang dicintainya. Dia juga harus menyembunyikannya dari keluarganya. Di samping saat itu mamanya baru mulai sembuh dari sakit strokenya, juga karena Randu adiknya.
Ah, mengingat lelaki itu kembali, darahku tiba-tiba berdesir halus. Sifat randu yang keras dan tegas membuat mbak Widya takut. Apalagi saat itu perusahaan keluarga Farid dan perusahaan keluarga mbak Widya sedang melakukan kerja sama dalam suatu megaproyek dan sudah setengah jalan. Jika hubungan mereka terkuak semuanya akan hancur berantakan.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menahan air mata yang mendesak keluar. Mbak Widya begitu baik dan tabah. Kasihan, dia dulu menyimpan sendiri cerita sedihnya sampai ajal menjemputnya.
***
Cinta sudah bisa keluar dari ruang PICU. Dia lalu dipindahkan padakamar VIP. Awalnya aku heran saat Cinta didorong ke kamar itu. Tapi akhirnya aku sadar, pasti Farid yang telah mengurusnya. Meski ada perasaan tak nyaman, aku harus mengenyampingkannya. Toh Cinta adalah anaknya Farid. Cinta berhak mendapatkannya setelah sekian lama dia terabaikan oleh papanya.
Aku lihat Farid terlihat kikuk saat berhadapan dengan anaknya. Karena waktu pertama kali Cinta melihatnya, bocah itu cemberut. Farid mencoba tersenyum tapi Cinta mengalihkan pandangannya.
Cinta mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar.
“Mah, Cinta kok dipindah-pindahkan telus,” protes Cinta tiba-tiba.
Aku terhenyak. Kulirik Farid yang reaksinya sama denganku. Lalu aku tersenyum.
“Di sini lebih enak, sayang. Tuh ada televisinya. Cinta bisa nonton film kartun,” kataku sambil meraih remote lalu menyalakan tv. Cinta melirik Farid lalu menatapku lekat.
“Kenapa liat mama begitu?” tanyaku, karena tahu Cinta ingin mengatakan sesuatu. Cinta melirik Farid lagi. Farid mencoba tersenyum.
“Cinta tidak suka om ssst ada di sini,” kata Cinta berbisik. Tapi bisa didengar Farid. Giliran aku yang melirik Farid. Ada kilauan di sudut matanya. Tapi lelaki itu tetap tersenyum.
“Tante Lina.....!” teriak Cinta tiba-tiba saat melihat Rina masuk. Rina tersenyum sambil mencium pipi Cinta.
“Hmmm....tante kangen deh sama Cinta.” Rina meletakkan bawaannya di atas meja. Aku mengernyitkan keningku. Rina tersenyum.
“Maaf, aku membelikan beberapa keperluanmu. Aku kemarin lihat Rudi sudah membawa pulang pakaian kotormu. Jadi aku membelikan beberapa sebagai gantinya,” jelas Rina yang membuatku merasa tak enak. “Tolong, Daniar, Jangan kamu buat kami merasa bersalah selamanya,” sambung Rina cepat sebelum aku bersuara, menolak.
“Tidak apa-apa. Nanti Rudi akan bawa gantinya. Kamu tidak perlu repot-repot,” tolakku halus.
Memang kemarin Rudi datang lagi menjenguk Cinta, sekalian membawa surat permohonan cutiku. Ternyata tanpa kuminta Rudi telah berbaik hati mengurusnya. Adik iparku itu beberapa kali bolak-balik kendari demi mengurus cutiku.
Ah, kini aku merasa lega. Aku tidak sendiri. Apa lagi kini ada Farid. Aku merasa senang. Bebanku agak berkurang. Tapi di sisi lain hatiku ada rasa kekhawatiran. Bagaimana nanti selanjutnya? Bagaimana dengan Cinta? Farid adalah papanya. Tapi aku yang telah merawat dan membesarkannya selama ini. Kami berdua tidak bisa terpisahkan. Mengingat semua itu aku kini mulai gelisah.
Farid selama beberapa hari ini kulihat berusaha mendekati Cinta, tapi lelaki itu tampak kesusahan. Itu tak heran. Kata Rina dulu, Farid tidak terlalu suka dengan anak kecil. Tapi kini dia akhirnya gugup menghadapi anaknya sendiri. Dulu tanpa sengaja Farid telah menciptakan jarak antar dia dengan anaknya. Farid tidak menyadari kalau dia sedang berhadapan dengan darah dagingnya sendiri. Reaksi Farid yang tidak ramah saat Cinta bermain di dekatnya dulu membuat Cinta sampai detik ini tak suka padanya.
Aku, sebagai mama yang membesarkan Cinta yang tidak mempunyai hubungan darah dengan bocah itu merasa prihatin. Di sisi lain aku berharap Cinta tahu kalau papanya sudah ada di dekatnya kini, namun di sisi lainnya aku berharap Cinta tak perlu tahu. Aku tidak ingin Cinta merasa terluka. Karena Cinta sangat dekat denganku. Dan bocah kecil yang masih berumur empat tahun itu tak akan mungkin mengerti mengapa papa dan mamanya tidak bersama. Apalagi dulu Cinta pernah bertanya tentang papanya dan aku menyuruhnya berdoa semoga papanya akan segera datang. Padahal saat itu Farid telah menjadi tetanggaku.
Aku menarik napas berat. Situasi yang sulit ini akhirnya menjadi beban baruku.
***
Aku menatap Farid tak percaya. Begitupun dengan Rina. Kata-kata Farid yang baru diucapkan barusan membuatku menggeleng kuat. Cinta didiagnosa dokter menderita leukemia. Tidak mungkin! Dokter pasti salah. Aku meminta Farid bertanya ulang pada dokter. Cintaku tidak mungkin menderita penyakit mematikan itu. Selama ini dia tidak pernah menunjukan tanda-tanda ke arah situ. Meski akhir-akhir ini kondisi Cinta kadang drop, tapi apakah secepat itu dokter menyimpulkan demikian?
Farid menjelaskan dengan pelan dengan suara bergetar,
“Untuk lebih memastikan Cinta akan dibawa ke Makasaar secepatnya agar segera ditangani. Di Makasssar ada sebuah rumah sakit swasta khusus penderita leukemia yang baru saja didirikan.”
Tiba-tiba mataku terasa memanas. Yang aku tahu penyakit leukemia tidak ada obatnya. Orang yang mengalaminya hidupnya hanya akan tinggal menghitung hari. Aku ingat Mbak Widya. Wanita itu meninggal karena leukemia. Kini anaknya menderita penyakit itu.
Badanku tiba-tiba terasa lemas. Secepat mungkin aku bersandar pada dinding di belakangku. Tapi tatapanku pada Farid tiba-tiba terasa kabur. Farid dan dinding di belakangnya kulihat seperti berputar. Lalu semuanya terasa gelap. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Kemudian aku merasa ada suara-suara yang memanggil namaku. Aku tidak mengenal suara mereka. Hanya ada satu suara yang aku tahu. Suara yang lekat dengan hatiku. Ingatanku belum sepenuhnya sadar tapi aku membuka mataku. Wajah-wajah orang di sekelilingku. Semuanya tampak tegang menatapku. Aku mencoba bangkit sambil mencoba mengingat apa yang terjadi. Perlahan aku mulai mendapatkannya.
Wajah Randu tepat berada di sampingku. Dan hanya dalam satu tatapan, Randu mampu membuat napasku tersekat. Gelombang rasa terkejut menghantamku,diikuti perasaan takut, kegirangan, kesedihan dan kerinduan. Lelaki ini dulu adalah majikanku yang sering membuatku menangis. Tapi mengapa lelaki itu bisa ada di sini. Aku memicingkan mataku coba-coba mengingat. Ingatanku tiba-tiba melompat ke Cinta. Aku berusaha berdiri.
“Cinta mana?” tanyaku. Yang kuingat tadi Farid memberitahu kalau Cinta kena Leukemia. O Tuhan! Mana anak itu. Mungkinkah.....?
Randu memegang bahuku mencegahku bangkit.
“Cinta ada bersama Rina. Rina sedang mengganti bajunya. Hari ini kita keluar rumah sakit. Tapi langsung ke bandara,” jelas Farid dengan tatapan tajam ke arahku.
“Apa?” aku bertanya linglung. Tiba-tiba Rina muncul dengan menggendong Cinta. Dua orang perawat mengikutinya di belakang dengan membawa beberapa barang.
“Mamaa...” Cinta berusaha turun dari gendongan Rina dan berlari mendekatiku. O tidak! Aku segera bergegas sebelum dia lebih banyak menguras tenaganya mendekatiku. Fisik Cinta tidak tampak sekuat dulu lagi.
Kupeluk bocah itu lalu kucium seperti biasa yang sering aku dan Cinta lakukan. Pipi, kening, bibir, hidung. Bocah itu jadi berbinar. Bola matanya berputar dan berhenti ke arah Randu. Randu kini duduk setengah jongkok di samping kami. Lelaki itu tersenyum kepada Cinta. Cinta tampak malu-malu.
“Papa Cinta ya, ma?” bisik Cinta di telingaku. Membuatku tersentak. Tak sadar aku melirik Randu lalu Farid. Kedua lelaki itu sedang memperhatikan kami. Ada kilau aneh terpancar dalam mata Farid.
“Eh, anak mama sudah cantik begini.” Aku mengalihkan pertanyaan Cinta. Aku tahu Cinta senang dipuji. Tapi memang Cinta pantas dipuji karena bocah itu memang cantik. “Sudah dibolehkan pulang ya sama om dokter?” tanyaku sambil berdiri menggendongnya.
“Ya. Kata tante Rina mama mau ajak Cinta jalan-jalan naik pesawat,” jawabnya panjang. Aku kembali tersadar akan rencana yang dikatakan Farid tadi. Tapi...kami harus ke makassar? Bagaimana dengan tempat tinggal kami?
“Aku sudah mengurus semuanya. Sekarang kamu dan Cinta tinggal berangkat saja,” jelas Rina tiba-tiba seolah tahu apa yang ada di kepalaku.
Demi Cinta. Kuenyahkan semua rasa ketidaknyamanku saat ini. Toh yang melakukan semua ini adalah papa dan tante Cinta. Cinta berhak mendapatkannya. Aku hanya dapat menemaninya.
Aku segera menelpon bunda dan Airin memberitahu kondisi Cinta yang mengharuskan aku segera berangkat sekarang. Bunda dan Airin kaget. Untuk mengurangi kekhawatiran mereka aku menjelaskan bahwa aku ditemani Rina dan Farid. Aku yakin bunda dan Airin pasti sudah tahu dari Rudi kalau Farid adalah papanya Cinta. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H