Mohon tunggu...
SN W
SN W Mohon Tunggu... Penjahit - Biasa saja

Kejujuran itu penting walau kadang menjadi bumerang buat kita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cintaku, Nodamu (Tamat)

25 November 2014   22:57 Diperbarui: 20 Oktober 2019   21:01 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta memelukku saat melihat dua orang suster datang dengan mendorong brankar. Wajahnya tampak ketakutan. Kasihan, Cinta seperti trauma melihat benda itu. Aku menarik napas berat. Sebenarnya aku enggan membiarkan Cinta menjalani pengambilan cairan sum-sum tulang belakang saat ini. Apalagi melihat dia menangis seperti ini. Randu dan Farid juga seperti kehabisan akal.

“Boleh aku menggendongnya saja?” tanyaku pada salah satu suster. Keduanya saling berpandangan sejenak tapi akhirnya mengiyakan.

Aku kemudian melangkah mengikuti kedua suster itu. Di belakangku Randu dan Farid juga ikut.

 “Cinta mau dibawa ke mana lagi, ma, Cinta mau diapain....” rengek Cinta saat aku menggendongnya memasuki ruang operasi. 

Suasana ruangan yang penuh dengan berbagai peralatan kedokteran beserta beberapa petugas rumah sakit membuat pelukannya makin kuat mencengkeram leherku. Tapi Cinta akhirnya pasrah setelah obat bius mulai bekerja menghilangkan kesadarannya. Aku hanya bisa menangis melihat tubuh Cinta tak bergerak. 

“Ibu boleh keluar sekarang,” kata salah seorang suster.

Aku berjalan gontai keluar ruang operasi. Randu memegang tanganku dan membimbingku ke tempat duduk. Aku menutup wajahku mencoba menghilangkan kegelisahanku. Sementara Farid menatap nanar ke arahku. Tiba-tiba Farid berdiri berjalan meninggalkan kami.  Lima belas menit kemudian lelaki itu kembali muncul.

“Minumlah! Kamu harus menjaga kondisimu,” kata Farid pelan sambil menyodorkan segelas susu hangat kepadaku.

Aku mendongak, agak ragu. Karena ingin menjaga fisikku aku pun menerimanya, “Terima kasih,” ucapku.

Akhirnya dengan sedikit dipaksakan aku berusaha menandaskan susu pemberian Farid. Tak sengaja mataku bersirobot dengan Randu yang menatapku tajam. Aku menghela napas. Kemudian lagi-lagi aku mengalihkan tatapanku tanpa sengaja, kali ini ke Farid. Dan...., Deg! Jantungku serasa mau berhenti berdetak. 

Aku berusaha meredakan kegugupan yang tiba-tiba menghantamku. Aku sedang diperhatikan oleh dua lelaki dalam jarak yang begitu dekat. Aku merasa wajahku memanas. Reflek aku berdiri sebelum kedua lelaki itu menyadari suasana hatiku. 

Aku melangkah ke pintu ruang operasi. Terdengar tarikan napas berat. Aku tahu itu Randu. Aku membalikkan badanku.

“Di mana aku harus mengembalikan gelas ini?” tanyaku pada Farid, 

“Biar aku saja.” Farid mengambil gelas kosong dari tanganku kemudian meninggalkan kami kembali.

Kini tinggal aku dan Randu. Aku melirik. Randu melipat tangannya di depan dada.

“Ternyata kamu berhasil....,” desisnya.

‘A...apa?”

“Kamu berhasil membuatku cemburu.”

Aku terperangah.

“Aku tahu ini waktu yang tidak tepat,” kata Randu lagi, pelan. “ Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu lagi,” bisiknya kemudian saat melihat Farid sedang menuju ke sini. 

Kedua lelaki itu bertatapan beberapa saat. Farid kemudian duduk sambil kedua tangannya mengusap kepalanya, lalu kedua sikunya kini bertumpu di atas pahanya dengan kedua punggung tangannya menopang dagunya dengan jemarinya yang saling mencengkeram. Farid menatap lurus ke pintu ruang operasi.

“Aku tidak akan melepaskanmu lagi!” Tiba-tiba Randu kembali berbisik di telingaku lagi, nada suaranya begitu tegas membuatku terkejut dan terdiam. Namun harus kuakui ada senandung indah bermain di sudut hatiku. 

Malam semakin beranjak. Hampir satu jam sudah Cinta di ruang operasi. Randu duduk di sampingku, menyentuh jemariku lembut. Bibirku terus bergerak mengalirkan doa untuk Cinta. Sedang Farid kini mondar-mandir di depan pintu ruang operasi dengan gelisah. Sesekali aku mendapati Farid melirikku. 

Setelah lama menunggu akhirnya pintu ruang operasi pun terbuka. Cinta kemudian didorong keluar dari ruang operasi. Mata cinta sudah mulai terbuka. Aku membelai pipinya. Cintaku yang dulu selalu ceria dan menggemaskan kini terbaring lemah tak berdaya. Aku menarik napas sedih. 

“Papa...,” bisik Cinta tiba-tiba.

Aku tertegun. Tidak percaya pada apa yang diucapkan Cinta barusan. Dua lelaki yang ada di sampingku bereaksi sama denganku. Aku jadi gugup. Farid bergerak mendekat. Dipegangnya tangan Cinta sambil tersenyum.

“Papa...” lagi Cinta memanggil.

“Cinta.., ini mama sayang!” Aku memegang pipinya.

“Papa,” panggil Cinta lagi.

Mata Farid mengerjap. Diremasnya tangan Cinta lembut. Cinta melirik Farid. Tampak Farid ingin mengatakan sesuatu. “Ini....,” tapi belum sempat Farid bicara Cinta sudah bersuara lagi.

“Om........!?”

Wajah Farid menegang. Sorot matanya tampak terluka. Lalu, perlahan mata Cinta mulai tertutup, kembali tertidur. Masih ada sedikit pengaruh obat bius. Aku menghela napas dalam-dalam. 

***

Aku menatap Cinta dengan hati trenyuh. Apa yang harus kukatakan padanya nanti jika dia menanyakan papanya lagi. Aku megusap-usap kepala Cinta. 

“Tidurlah!” kata Randu. 

“Ya, Niar. Kamu harus banyak istirahat.” Farid menimpali.

Aku terdiam. Randu dan Farid saling melirik, bersamaan dengan kesadaran Cinta mulai datang. Bocah itu membuka matanya perlahan. Menatapku lalu Farid, dan berhenti pada Randu.

“Papa....!” Gumaman Cinta yang tiba-tiba, namun bisa terdengar membuat napasku terhenti sesaat. Randu dan Farid tercekat. Terlebih Farid. Wajahnya pucat pias.

“Sayang...” aku memegang tangan Cinta. Tapi pandangannya tidak berpaling dari Randu.

“Papa...” Lagi Cinta memanggil pelan sekali. Randu tampak gelagapan

Aku menoleh pada Farid. O Tuhan! Apa yang akan terjadi. Aku kasihan pada laki-laki itu. Untuk beberapa saat kami hanya bisa membisu, larut dengan pikiran masing-masing. Namun aku mulai merasakan ketegangan mulai terjadi saat Farid mendekat hendak menyentuh Cinta, tapi Randu mencegahnya.

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Apa maksudmu?” Farid menatap Randu gusar.

“Kamu tidak akan melakukan hal yang bodoh itu kan?” Randu tampak marah.

“Jadi maksudmu aku harus membiarkan kesalahpahaman ini terjadi?”

“Untuk sekarang, ya!” tegas Randu. 

Kini kedua laki-laki itu saling menatap tajam. Aku terperanjat. Aku harus melakukan sesuatu sebelum sesuatu terjadi.

“Tolong kalian menjaga sikap kalian!” cegahku sambil memberanikan diri menatap kedua laki-laki itu. Padahal, sungguh mati, saat ini jantungku berdegup kencang. Tapi sesuatu yang ada dalam dadaku mampu memberiku kekuatan penuh untuk tidak goyah.

“Pikirkan baik-baik akibatnya sebelum kamu bertindak,” desis suara Randu tajam. Aku tahu dari sorot matanya Randu tidak main-main. “Apa yang akan kamu lakukan pada Cinta setelah itu.”

Farid menghembuskan napas kesal. Lalu melirikku dan Cinta. Perlahan tatapannya mulai melembut. Tapi aku melihat ada kilaun di sana. Farid mundur lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. Matanya nanar menatap Cinta yang kini berbinar menatap Randu di sampingnya.

Aku sependapat dengan Randu, tapi aku bisa mengerti perasaan Farid. Ada haru menyeruak dalam dadaku. Aku mendekatinya lalu duduk di dekatnya. Aku bingung apa yang harus kuucapkan. 

Farid makin gelisah melihat kedekatan Randu dengan Cinta. Aku berdoa mudah-mudahan Farid bisa menahan diri. Lelaki itu tiba-tiba berdiri kemudian melangkah ke pintu, membukanya lalu berbalik sejenak, menarik napas berat lalu berjalan keluar.

***

Laki-laki itu duduk di sana. Di bawah temaram lampu taman. Akhirnya aku menemukannya setelah lama berputar mencarinya. Dia sedang menutup wajahnya Bahunya terguncang hebat. Aku mendekat.

“Om...,” aku menyentuh bahunya ragu.

Farid mendongak. Aku ingin menghiburnya tapi tidak tahu bagaimana caranya. Aku duduk di sampingnya dan terdiam. Lama aku berpikir tapi akhirnya mulai bersuara.

“Aku janji...kelak Cinta akan tahu semuanya.” Aku memberanikan diri menyentuh tangannya. Mata Farid tampak sedikit terkejut. 

Aku memang seorang pengecut!” akunya bergetar. Matanya lalu menyipit seperti mengingat sesuatu. Lalu lelaki itu menarik napas berat. “Aku tidak suka dengan pilihan orang tuaku, tapi aku tidak berani menentangnya. Akhirnya aku yang menderita. Andai waktu bisa diputar kembali,” sesalnya.

Ada sedikit rasa marah dalam hatiku mendengar pengakuannya. Pengakuan yang sudah terlambat.

“Aku sudah berpikir untuk melakukan sesuatu saat tahu Cinta adalah anakku.” Farid menoleh padaku sesaat, kemudian memandang jauh ke depan. “Aku tidak ingin menjadi pengecut lagi,” sambungnya kemudian masih dengan suara bergetar.

Jantungku berdetak keras mendengar pengakuannya. Dia akan melakukan apa? Dia akan merebut Cinta dariku? Tanyaku di hati. Aku memberanikan diri menatap Farid.

“Maksud om?” tanyaku ingin tahu.

Farid tidak menjawab tapi tersenyum samar.

“Niar...,” panggil lelaki itu kemudian setelah agak lama terdiam. Aku menoleh. “Kamu...dengan Randu..., ada hubungan apa?” tanyanya tiba-tiba, membuatku tertegun.

“Kami adalah sepasang kekasih!” Jawaban dari belakang bangku membuat kami terkejut. 

Aku menoleh. Randu dengan tatapan tidak suka menghunus tepat di ulu hatiku. Randu menarik tanganku berdiri di sampingnya. Lalu matanya lurus tak berkedip mengarah ke Farid.

“Andi Farid Hasan! Seharusnya aku memukulmu sejak awal. Tapi aku tidak melakukannya karena Cinta!” Randu menggeretak gerahamnya menahan marah. “Kamu telah menghancurkan hidup kakakku. Tapi kamu tidak sadar juga!” 

Tiba-tiba Randu melepaskan genggamannya padaku dan hendak mendaratkan sebuah tinju ke arah Farid. Reflek aku memeluk pinggangnya dari belakang berusaha menahannya. Tapi malang bagiku, sikunya menyentuh keras wajahku. Sakit sekali rasanya. Saking tak tahan aku terduduk di tanah di atas lututku.

“Niar!” Teriakan Farid dan Randu terjadi bersamaan. 

Aku merasa keduanya kini mendekat padaku. Tapi mataku belum bisa membuka karena berusaha menahan rasa sakit yang teramat sangat yang menjalar di dahiku. Lalu...

Bugg! Bugg! Entah siapa yang memulai, kedua lelaki itu kini tiba-tiba sudah bergumul di depanku. Aku panik.

“Berhenti! Berhenti!” teriakku.

Satpam rumah sakit datang. Farid dan Randu kemudian dipisahkan. Aku menutup wajahku. Rasanya aku malu sekali mendapat tatapan orang-orang yang tiba-tiba saja sudah berkerumun. Aku dibawa ke ruang IGD untuk diobati jidatku yang lebam membiru.

***

Aku merasa kini kami menjadi bahan perbincangan hangat dalam rumah sakit ini.  Ke mana pun langkah kaki ini melangkah, selalu diikuti tatapan orang yang tiada berhenti.

Aku mengurung diri dalam kamar perawatan Cinta. Cintalah satu-satunya alasan yang membuatku bisa bertahan di tengah gemuruh yang terjadi dalam hatiku saat ini. Sejak kejadian tadi malam aku menjadi enggan bicara pada Randu dan Farid. Aku tak bicara ataupun menjawab tiap kali mereka bicara. Aku tahu ada rasa sesal dalam diri mereka, tapi aku butuh waktu untuk mengajak damai hatiku. Farid dan Randu menyadari itu.

Aku menghela napas lega saat tinggal aku dan Cinta dalam kamar. Tadi Randu dan Farid ada di sini turut menemaniku. Walau masih tampak kaku, kedua lelaki itu berusaha berdamai. Sebenarnya hatiku terasa sakit tiap kali melihat Randu. Lelaki itu lebih tampak terluka dengan situasi yang terjadi.

Aku mencium pipi Cinta. Bocah itu tersenyum. Duh, bocah ini begitu tabah. Meski dalam kondisi  sakit seperti ini dia masih sempat melemparkan senyumnya padaku. 

“Kenapa dahinya mama?” tanya Cinta tiba-tiba.

“Oo...e ini tadi malam lampu mati, trus mama tidak sengaja nabrak pintu,” jawabku gelagapan, berbohong.

“Sakit ya, ma?” Cinta menatapku sedih.

“Tidak.,” jawabku cepat sambil menggeleng kuat. Cinta agak tenang.

“Ma...kenapa kita tidak pulang saja,” tanya Cinta tiba-tiba setengah merengek. “Cinta tidak suka disuntik telus. Sakit ma....” Cinta melirik jarum infus yang terpasang di tangan kirinya.

“Sabar ya, sayang..,” bujukku. “Cinta kan masih sakit.” Aku berusaha tersenyum, mencoba mengenyahkan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak saat membayangkan penyakit Cinta. 

Sore ini hasil pemeriksaan cairan sum-sum tulang belakang Cinta akan keluar. Ah, aku jadi berdebar menantinya. Aku membuka tasku. Mengambil sesuatu dalam tasku. Menatapnya sesaat. Lalu aku menoleh ke arah pintu berharap tidak ada yang masuk.

“Tidurlah, nak. Supaya Cinta cepat sehat,” kataku dengan lembut. 

“Tapi, ma...Cinta tidak bisa tidur. Cinta udah bosan.”

Aku tersenyum.

 “Apa itu, ma?” tanya Cinta tiba-tiba sambil melirik benda yang ada di tanganku.

“O diary mama,” jawabku sambil buru-buru memasukkan benda berwarna orange itu ke dalam tasku.

“Boleh Cinta liat ma?”

Aku menatapnya ragu. Tapi akhirnya aku meraih benda itu dan memberikannya pada Cinta. 

Braakk! 

Tiba-tiba pintu terbuka lebar dengan seorang wanita cantik berdiri menatapku garang. Aku terkejut. Belum sempat aku berpikir, tiba-tiba wanita itu sudah ada di depanku dan...

Plak! Plak! Plak! Tamparan keras yang bertubi-tubi tiba-tiba mendarat di pipiku berulang-ulang. Aku linglung.

“Kamu rupanya perempuan itu!” teriaknya histeris. Sekian lama aku mencarimu, akhirnya kamu muncul juga. Dasar perempuan pelacur!” Wanita itu kembali menjambakku. 

Dalam kebingunganku aku mencoba menahan tangan wanita itu. Tapi terlambat, tubuhku hilang keseimbangan oleh sentakannya, hingga duduk terjatuh di lantai. Aku mencoba bangkit. Dan tiba-tiba...

“Fitriii!” Teriakan Farid yang keras menghentikan aksinya.

 Aku menoleh ke arah Farid. Bersamaan itu sesuatu yang berkilau berkelebat di depan mataku. Tapi aku tiba-tiba jatuh terjerembab ke belakang dengan kerasnya. Aku mendongak menahan sakit. Rupanya Farid yang mendorongku tadi. Lelaki itu berdiri di depanku membelakangiku, menghalangi pandanganku ke wanita itu. Tetes demi tetes darah jatuh ke lantai di dekat kaki Farid.

 “Apa yang kamu lakukan?” tanya Farid sambil tangan kirinya memegang perutnya. Aku menyadari Farid kini sedang berdarah.

Suara tangisan Cinta yang melengking membuatku mencoba bangkit dengan susah payah. Wanita itu gemetar menatap Farid yang tersungkur ke lantai. Pisau yang ada di tangannya tiba-tiba jatuh.

“Kau membunuh suamiku!” teriaknya kalap sambil menangis. Lalu dia berhenti sejenak. Kali ini matanya liar menatap Cinta. “Gara-gara kamu!” Desisnya sambil menyeringai. Lalu dia kembali memungut pisau yang sudah bercampur darah dan berbalik menyerang Cinta yang tampak pucat di sudut ranjang.

Aku terkesiap. Dengan sisa tenaga yang ada dan pandangan mataku yang mulai berputar. Aku bangkit memeluk Cinta.

Apa pun akan aku lakukan untukmu, anakku. Apa pun akan aku korbankan demi kamu. Aku tidak dapat menggantikanmu menerima sakit itu. Tapi aku dapat melindungimu dari wanita itu. Aku tidak akan membiarkan wanita itumenyakitimu.

Berhentilah menangis anakku! Ada mama di sini. Peluklah mama, Cintaku. Kau lihat itu, anakku! Kau lihat!? Wanita itu tampak pucat. Lebih pucat dari wajahmu. Dia takut melihat mama. Dia berlari seperti orang gila. Dia.... ketakutan.....

***

Dengan tangan gemetar Cinta menutup diary usang berwarna orange yang telah pudar oleh darah yang telah mengering. Cinta termenung menatap foto seorang wanita cantik yang di depannya. Kini dia tahu. Mengapa tiap kali dia menatap foto itu hatinya begitu nelangsa. Gadis itu menangis. Dia merindukan wanita itu.

“Mama....” bisiknya.

Cinta mengembalikan diary orange itu ke tempatnya sebelum papanya tahu. Papanya akan marah besar jika tahu dia telah melanggar perintahnya untuk tidak masuk ke dalam ruangan ini. Ada rasa sesal menggayut dalam sudut hatinya kini. 

Selama ini dia telah salah sangka pada papanya. Cinta mengira papanya telah menghianati mamanya. Cinta marah karena foto wanita itu mendapat tempat khusus dalam rumah ini. Ternyata selama ini papanya menyimpan deritanya sendiri.

Cinta mengendap-ngendap keluar. Sesosok tubuh tinggi yang sebagian rambutnya telah dipenuhi uban menatapnya kaku. Sosok itu telah lama berdiri di situ, memperhatikannya. Cinta hampir saja menabraknya.

“Papa...”Cinta terlonjak kaget.

Randu tersenyum. Diulurkannya tangannya ke arah Cinta. Lalu dipeluknya Cinta dengan penuh kasih. Dia tak akan bisa selamanya melarang Cinta masuk ke sini. 

“Papa menyayangimu...” bisiknya tersendat. 

“Cinta tahu..., maafkan Cinta, pa.” Cinta kembali meneteskan air mata.

Cinta melirik sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto mamanya, Widya, dengan omanya. Kini Cinta juga rindu pada seseorang. Cinta ingin mencarinya. Cinta yakin papa pasti mau membantunya.  Seraut wajah wanita tua yang sudah tidak terlalu jelas lagi dalam ingatannya berkelebat. Cinta tersenyum.

(Tamat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun