Mohon tunggu...
Safar Sirajuddin
Safar Sirajuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengajar

My life is brilliant my life is pure

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Adat Perpisahan

18 Januari 2015   04:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:54 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata yang terungkap di sela cahaya redup lampu tepian jalan malam itu. Tertegun ku menatap mu sambil menggenggam erat jemarimu.  Meneteslah sudah rasa itu, kau mungkin telah mengatakan “tidak” hari ini, tapi serasa itu hanya penyangkalan untuk dalamnya rasa yang kau miliki terhadapku. Waktu memang selalu pandai membuat sebuah keputusan, walau terkadang ujungnya tajam mengiris dan tumpul membentur. Matamu tidak mungkin membohongiku, kau telah lahir sebagai tulisan untuk tiap lembaranku. Aku selalu bisa membacamu. Tapi kali ini aku tak bisa membuka lembara berikutnya, ku ingin bahkan ku sangat mengimpikannya kau selalu berada di tiap lembaran yang ingin ku buka walau kau hanya memberikan titik jeda di setiap nafas yang ku hela. Cahaya redup masih mampu memantulkan betapa lembabnya  tepian jendela yang selama ini selalu ku pandangi. Tapi, kemarin kau telah memutuskan tak lagi membukakan jendela itu untukku, mungkin karena aku angin yang buruk sehingga aku selalu membuatmu benci dengan debu yang ku bawa. Hari ini, di bawah malam di samping pemberhentian, keputusanmu telah memaksaku melankolis di depanmu.Rasa takut membelit leherku, suaraku mendadak parauh dan sepertinya sesuatu melilit tenggorokanku. Mataku terasa berat, seperti ada yang ingin keluar diantara kedua bibir ini tapi semuanya menumpuk di tenggorokannku dan mencoba keluar lewat kedua mataku. Dari kejauhan, sebuah kendaraan  melaju pelan seketika mendekati pemberhentian. Depok, begitulah tulisan yang nampak di pojok kanan atas cermin putih sehingga nampaklah orang-orang di dalam kendaraan itu. Genggaman tanganmu tiba-tiba begitu kuat, linangannya kian kuat. Kini, aku mengangguk, aku tahu kamu mengerti maksudku. Ku coba tegapkan badan dan menghela nafas panjang sambil mencoba elonggarkan genggamanmu. Ku ingin kau merelakan seperti ku merelakanmu, menatapmu dengan tegar. Lalu kau mulai melepas pelan genggaman itu.  Tiba-tiba ragaku tidak bisa ku gerakkan, kau melangkah dengan pelan melewatiku, ku ingin berbalik tapi kepala ini membatu, kaki ini mengeras tanpa persendian. Aku masih sempat mendengar sedikit isakan darimu lalu kau menghilang dengan suaramu. Hanya ada desingan kendaraan yang menjauh di belakangku semakin lama semakin menjauh dan tetap tak bisa ku membalikkan badan hingga akhirnya suara bising itu hilang. Apa yang terjadi padaku? Mataku kemasukan debu dan membuat mataku berair. Sesaat badanku tak lagi kaku bahkan menjadi melempem seperti adonan yang begitu encer sehingga tak mampu membentuk dirinya sendiri. Sekarang ku berbalik dan pecahlah sudah kantung mataku, airnya begitu deras tapi ia tak bergemuruh hanya terasa sesak di dada dan membakar tenggorokan. Angin tiba-tiba bertiup sepoi mendinginkan panasnya udara di sekelilingku. Kini, kau benar-benar telah pergi, tiada kata pengharapan untukmu karena ku takut diri ini berharap telalu berlebih, gumamku dalam hati sambil melangkah menjauhi pemberhentian di bawah redup cahaya malam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun