Jam 00.15 wib (05/12) hp saya berdering. Keponakan saya memberi kabar bahwa dirinya dan ibunya sedang berada di UGD (Unit Gawat Darurat/Emergency) Rumah Sakit Fatmawati. Adik lelaki bungsunya kecelakaan motor tunggal. Karena tanpa helm, maka kecelakaan ringan itu menjadi gawat darurat lantaran kepala terbentur benda keras di jalan raya sekitar Sawangan Parung.
Saya tiba di UGD RS Fatmawati setengah jam kemudian. Saya lihat betapa sibuknya UGD disini. Tempat tidur pasien penuh, sehingga beberapa pasien lainnya antrian dengan hanya duduk di kursi roda walau kondisinya antara hidup dan mati. Dokter jaga pun seakan pasrah dengan keadaan itu.
Saya lihat seorang pasien kecelakaan penuh luka dan darah segar terus mengalir membasahi sekujur tubuh hanya terduduk lemas hampir setengah jam dikursi roda disaksikan sanak keluarganya yang juga pasrah dengan keadaan menunggu tempat tidur pasen kosong.
Begitulah terus saling bergantian anteri. Termasuk keponakan saya, Gandy Nagara usia 13 tahun, anak bungsu adik kandung saya Heno Ali. Teman sekolahnya yang mengantarkannya ke UGD Fatmawati malam itu bercerita hal yang sama. Malah lebih parah lagi. Karena benturan kepalanya parah dan berdarah, kondisi keponakan saya hanya megap-megap di kursi roda sambil kaki dan tangan bergerak tegang karena gangguan syarat di kepalanya akibat benturan tadi. Teman-temannya yang ikut bersama konvoi motor malam itu hanya menangis melihat kondisi teman sekolah SMP nya itu.
Beruntunglah kakak kandung dan ibunya keponakan saya itu tiba, tempat tidur pun dapat. Tapi itu pun belum mendapatkan pelayanan maksimal, Gandy Nagara dinyatakan hanya terbaring dengan mulut terkunci, tangan dan kaki bergerak tegang terus berjalan-jam. Ia hanya diberi inpus dan suntikan dengan dosis tinggi untuk menahan rasa sakit.
Saya pun protes pada dokter pria yang jaga malam itu. "Kok keponakan saya dibiarkan begitu saja" marah saya malam itu. Ia dengan lantang menjawab bahwa itu sudah maksimal. Kalau saya tambah lagi dosisnya bisa lewat, lanjut penjelasan sang dokter malam itu. Lalu saya bertanya kenapa luka tidak diobati atau diperiksa? Dokternya jawab, kami perlu penyangga lehernya, kalau tanpa penyangga leher kami tidak berani melakukan apapun karena khawatir mengganggu sistem syarat kepalanya.
Sang dokterpun membuat resep untuk membeli penyangga leher. Ibu keponakan saya pun memberikan resep dokter itu di apotek UGD Fatmawati yang hanya bersebelahan ruangan. Setelah dicek di komputer, ternyata alat itu tidak ada untuk ukuran "S". Kakak tertua keponakan saya yang korban itu pun berkeliling menyambangi apotik di sekitar Jalan Fatmawati. Ternyata nihil.
Karena sudah dua jam tidak ada kabar dari sang kakak naik motor beli penyangga leher ukuran S tadi, maka saya minta dibuat resep double dengan produk yang sama. Berhasil. Saya pun berangkat ke berbagai apotik 24 jam. Ternyata tidak menjual alat itu.
Upaya pun saya lanjutkan pencarian di berbagai apotik rumah sakit terdekat. Akhirnya saya dapatkan di apotik RS Pondok Indah harganya Rp265ribu. Betapa girangnya saya. Langsung dari Pondok Indah menuju Fatmawati dengan kecepatan tinggi. Tiba di UGD Fatmawati jam 03 pagi.
Begitu tiba, saya serahkan ke dokter jaga yang ternyata sudah berganti. Kini seorang dokter wanita. He he he....dengan nada kesal sang dokter itu bilang bahwa resep dokter tadi salah. Mana mungking penyangga leher ukuran S sedangkan anaknya sudah remaja. Lagi pula membutuhkan " hard" bukan "solf" seperti yang dibeli. Lalu saya tanya, apakah saya salah beli, tidak, yang salah adalah resepnya, kata dokter itu.
Saya tatap wajah keponakan saya itu yang tetap tak sadarkan diri sejak kecelakaan jam 10 malam itu. Tangan dan kakinya terus bergerak tegang menahan sakit luar biasa. Napasnya pun tersengal-sengal, bahkan kabarnya napasnya sempat terhenti.