Pada suatu suntuk, kau datang bersama sepucuk kenangan tidak dengan judulnya. Berhamburan bunga yang mewangi, dingin dan berisik.
Ricik air masih menjadi teman,
bagi ampas kopi yang tak pernah diteguk.
Sementara kata masih kurangkai menjadi payung pembawa reda.
Kala itu riuh doa mengetuk pintu, menjelma menjadi secuil rima semoga.
yang menjadi penghibur sepah, penghanyut segala gundah.
Kopi tak perlu gula untuk mencari kekasihnya. Barangkali rintik-rintik gerimis dikirim untuk menyeduh kopi yang kerontang dengan rasa.
Hujan itu masih menusuk-nusuk sepi,
campur aduk menjadi puisi.
Hujan masih membasahi melati ditepi pagi, hingga tidur menjemput mimpi.
Hujan kala itu tak pernah letih, tapi engkau tidak pernah menjadi yang fasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H